WahanaNews.co | Di
mata ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef)
Faisal Basri, pemerintah tidak memiliki urgensi untuk merevisi Undang-undang
(UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP)
di tengah pandemi covid-19.
Baca Juga:
Basuki: Penundaan Kenaikan Tarif Tol Akibat Pandemi, Tak Selalu Salah Pemerintah
Faisal menganggap pengenaan pajak pada sejumlah sektor baru
bukan satu-satunya cara meningkatkan kas negara saat perekonomian anjlok
dihajar pandemi. Revisi UU KUP yang menambah objek pajak justru memperlihatkan
ketidakadilan pemerintah.
"Kenapa warga di negara Eropa dan Skandinavia enggak
demo meski pajak mereka tinggi? Karena pemerintah sudah all out melayani
masyarakat mulai dari sekolah gratis, tunjangan sosial, hingga layanan
kesehatan yang mumpuni," kata Faisal dalam webinar Urgensi Reformasi
Fiskal di Tengah Pandemi pada Minggu (4/7).
Faisal menuturkan ada beberapa cara yang bisa diterapkan
pemerintah untuk meningkatkan dana kas negara selain menarik pajak dari
masyarakat.
Baca Juga:
Sri Mulyani Sampaikan Perkembangan Perekonomian Indonesia 10 Tahun Terakhir
Ia mengatakan pemerintah seharusnya menghemat belanja barang
termasuk belanja persenjataan dan alat utama sistem pertahanan (alutsista),
hingga mengkaji kembali rencana pembangunan infrastruktur yang tidak mendesak.
Ia bahkan turut mendesak pemerintah menunda rencana
perpindahan ibu kota setidaknya lima tahun ke depan jika benar-benar ingin
meningkatkan anggaran negara.
"Jangan keluarkan Perpres 1.800 triliun itu. Tunda
pembangunan ibu kota baru setidaknya lima tahun," papar Faisal menyinggung
dokumen Kementerian Pertahanan soal rencana pembelian alutsista senilai Rp1,7
kuadriliun yang baru-baru ini bocor ke publik.
Selain itu, Faisal juga mendesak pemerintah mereformasi
subsidi energi dan listrik yang bernilai ratusan triliun. Menurutnya,
masyarakat yang benar-benar kurang mampu saja yang bisa menikmati subsidi
listrik ini.
Dari segi penerimaan, Faisal menuturkan pemerintah juga
masih bisa mencari sumber tambahan pemasukan kas negara selain dari pajak.
Misalnya, meningkatkan bea cukai rokok dan menghapus pengenaan pajak final
perusahaan konstruksi yang menjadi penyumbang PDB terbesar keempat.
Selain itu, pemerintah dapat menghentikan obral fasilitas
keringanan pajak seperti tax holiday, khususnya di sektor pertambangan dan yang
berlokasi di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).
"Pemerintah juga bisa menaikkan tarif pajak final di
sektor keuangan dan menaikkan tarif pajak pribadi bagi kaum super-rich menjadi
40 persen karena di RUU KUP hanya 35 persen," ujar Faisal.
Senada dengan Faisal, Kepala Center of Macroeconomics and
Finance INDEF M Rizal Taufikurahman mengatakan tak ada urgensi bagi pemerintah
merevisi UU KUP. Menurutnya, UU KUP yang sudah ada juga masih belum maksimal
pelaksanaannya.
"Revisi UU ini maksa sekali, betul-betul menunjukkan
pemerintah yang memaksakan kepada wajib pajak dengan besaran yang sangat
tinggi. Sebuah urgensi yang tidak menangkap kondisi perekonomian terutama bagi
masyarakat menengah ke bawah," kata Rizal.
"Revisi UU KUP ini terkesan bahwa pemerintah ingin
sekali mencari pendapatan yang instan dalam jangka sangat pendek ya kalau yang
saya tangkap. Saya melihat pemerintah menggunakan kondisi pandemi sebagai
alasan seolah-olah ini urgen sekali," ucapnya menambahkan.
Rizal mengatakan revisi UU KUP sangat miskin uji publik
termasuk dalam meminta masukan dan saran berbagai lapisan masyarakat yang
nantinya kena wajib pajak.
Wacana pemerintah akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai
sejumlah barang dan jasa yang sebelumnya bebas dari objek pajak mengemuka
belakangan ini.
Hal itu terungkap setelah draf Undang-Undang Nomor 6 tahun
1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) beredar ke publik.
Rencana pengenaan
PPN terhadap sembako tersebut akan diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU.
Dalam draf beleid tersebut, barang kebutuhan pokok serta
barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang
yang tidak dikenai PPN.
Menteri Keuangan Sri MulyanI Indrawati menjelaskan salah
satu alasan pemerintah merevisi UU KUP adalah tidak lepas dari kebutuhan akan
peningkatan kemampuan fisikal untuk membiayai pembangunan jangka panjang serta
menjaga kesinambungan APBN. [dhn]