Pernyataan ini menegaskan bahwa pada titik tertentu, terdapat faksi dalam tubuh JI yang masih melihat batas moral dan geopolitik yang tidak bisa mereka langgar.
Namun, fakta bahwa tawaran tersebut sampai ke tahap pertimbangan serius menunjukkan betapa rapuhnya kondisi negara kala itu, dan betapa dekatnya Indonesia dengan potensi menjadi ladang perang ideologis bersenjata.
Baca Juga:
3 Terduga Teroris Ditangkap, Polisi: Barbuk yang Diamankan Senapan PCP dan 105 Butir Amunisi
Dalam forum yang sama, eks Amir terakhir Jemaah Islamiyah, Ustaz Para Wijayanto, menyampaikan alasan dibalik keputusan JI untuk membubarkan diri dan bergabung kembali dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam pernyataannya yang jujur dan reflektif, Para mengungkap bahwa evaluasi internal telah menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil anggota JI yang melakukan kekerasan, tetapi dampaknya sangat destruktif.
"Kita mulai meneliti ulang perbuatan yang sudah dilakukan anggota JI. Pendekatan ini menggunakan prinsip Pareto: hanya 20 persen yang berbuat, tapi menciptakan 80 persen masalah," jelasnya.
Baca Juga:
Densus 88 Ringkus Lima Terduga Teroris di Tiga Tempat
Menurut Para, ada empat alasan mendasar yang membuat JI akhirnya membubarkan diri.
Salah satunya adalah kecenderungan ekstrem dalam penafsiran agama, termasuk praktik takfiri, mengafirkan sesama Muslim di luar kelompok.
Ajaran ini, kata Para, diperparah dengan masuknya doktrin keras dari kitab "Al Jami Fi Thalabil Ilmi Syarif" karya Abdul Kadir bin Abdul Aziz yang memopulerkan istilah "thaghut" dan menghalalkan darah serta harta orang yang dianggap kafir.