Oleh IQBAL MOCHTAR
Baca Juga:
Basuki: Penundaan Kenaikan Tarif Tol Akibat Pandemi, Tak Selalu Salah Pemerintah
INDONESIA berhasil melewati gelombang kedua pandemi.
Setidaknya untuk saat ini.
Baca Juga:
Sri Mulyani Sampaikan Perkembangan Perekonomian Indonesia 10 Tahun Terakhir
Jumlah kasus baru dan kematian sudah menurun drastis.
Per 14 September, kasus baru berkisar 17 per satu juta penduduk; jauh lebih rendah dibandingkan pada puncak gelombang kedua yang berkisar 181 per satu juta penduduk.
Angka kematian juga menurun dari 6,5 menjadi 1,2 per satu juta penduduk.
Per 19 September, kasus baru berkisar 13 per satu juta penduduk.
Angka kematian juga menurun menjadi 0,8 per satu juta penduduk.
Meski angka kematian ini masih lebih tinggi dibandingkan sebelum gelombang kedua, perbaikan ini menggembirakan.
Positivity rate juga telah mencapai 3,7 persen; sudah di bawah standar “terkendali” yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), yaitu 5 persen.
Dengan data ini, wajar bila pemerintah mengklaim berhasil.
Setelah perbaikan kondisi, akankah Indonesia keluar dari pandemi?
Atau gelombang tambahan akan muncul?
Determinan Pandemi
Hingga saat ini, belum ada satupun negara di dunia yang berhasil keluar dari pandemi.
Sejumlah negara pernah didaulat sukses menanggulangi pandemi, namun beberapa waktu kemudian kembali rontok.
India dan Israel adalah dua contoh.
Perdana Menteri India berulang kali mengklaim di berbagai forum internasional bahwa negaranya telah mengalahkan pandemi.
Namun beberapa bulan kemudian, gelombang kedua menerpa dan membuat pelayanan kesehatan negeri ini nyaris kolaps.
Israel juga sama.
Setelah berhasil meningkatkan cakupan vaksinasi serta menurunkan kasus dan kematian, negeri ini mencoba mempraktikkan kehidupan normal.
Sayangnya, jumlah kasus dan kematian kembali membubung.
Perjalanan pandemi menyerupai fenomena yo-yo.
Naik turun.
Determinan utamanya meliputi empat faktor utama --yaitu protokol kesehatan, 3T (test, trace, and treat), pembatasan pergerakan dan vaksin, serta satu faktor perancu, yaitu mutasi virus.
Keempat faktor utama menentukan ekuilibrium pandemi.
Bila protokol kesehatan, 3T, pembatasan pergerakan dan cakupan vaksin diperkuat, maka kasus dan kematian menurun.
Bila diperlemah, keadaan sebaliknya terjadi.
Mutasi virus sendiri adalah faktor perancu ekuilibrium.
Ia merupakan game changer.
Bisa mengubah ekuilibrium yang ada.
Mutasi virus dapat menghasilkan varian yang lebih cepat bertransmisi, menimbulkan keluhan yang lebih berat serta membuat vaksin menjadi kurang efektif.
Ironisnya, mutasi virus berlangsung terus-menerus dan merupakan siklus alamiah virus (natural cycle of virus).
Karenanya, sebagian ahli menganggap pandemi tidak akan pernah benar-benar lenyap karena faktor mutasi virus ini.
Kenyataannya memang demikian.
Virus Covid-19 terus mengalami mutasi dan saat ini menimbulkan banyak jenis varian.
Belum selesai pergulatan dengan varian Delta, varian Mu kini menjadi sumber kekhawatiran.
Demikian seterusnya.
Intinya, walau ekuilibrium pandemi dapat ditata dengan empat faktor utama, mutasi virus dapat mengurai ekuilibrium ini setiap saat.
Karena perubahan faktor-faktor ini, hingga kini belum ada capaian pandemi yang stabil.
Masih labil dan bisa berubah.
Di India, jumlah kasus dan kematian pernah sangat rendah.
Kondisi ini bertahan hingga setengah tahunan.
Tapi ketika protokol kesehatan dan pembatasan pergerakan dilanggar, terutama saat festival keagamaan, kasus dan kematian kembali meroket.
Ini diperberat lagi oleh penyebaran varian Delta.
Di Israel, jumlah kasus dan kematian sempat sangat rendah selama beberapa bulan.
Tapi ketika negeri ini mencoba melakukan uji coba kembali ke kehidupan normal, termasuk dengan membolehkan kegiatan sosial tanpa protokol kesehatan ketat, maka kasus dan kematian kembali meroket.
Gelombang Ketiga
Kasus India, Israel, serta negara lain yang pernah dianggap sukses menangani pandemi, seharusnya menjadi peringatan (warning) bagi Indonesia.
Bahwa capaian yang diperoleh sekarang masih belum stabil.
Masih sangat rentan terhadap perubahan.
Sewaktu-waktu kasus dan kematian dapat meroket kembali dan mengantarkan Indonesia memasuki gelombang ketiga pandemi.
Kemungkinan terjadinya gelombang ketiga bukan hal absurd.
Ada tiga kondisi yang membuat Indonesia rentan terhadap hal ini.
Pertama, cakupan vaksinasi Covid-19 Indonesia yang masih rendah.
Hingga 15 September, jumlah penduduk yang memperoleh vaksinasi pertama berkisar 76 juta (28 persen penduduk) dan vaksinasi kedua 43 juta orang (16 persen penduduk).
Padahal cakupan vaksinasi menentukan lebih stabilnya ekuilibrium pandemi.
Negara dengan tingkat vaksinasi rendah, ekuilibriumnya rapuh.
Angka kasus, perawatan rumah sakit dan kematian mudah meningkat tajam.
Apalagi bila prokes, pembatasan wilayah dan 3T tidak dilakukan ketat.
Bila Israel saja yang profil vaksinasinya sangat cemerlang bisa mengalami lonjakan kembali kasus (resurgence), mengapa hal itu tidak mungkin terjadi di Indonesia?
Kedua, masifnya infodemik dan “covidiot” (istilah untuk mereka yang mengabaikan peringatan terkait kesehatan atau keselamatan publik dan ikut menyumbang pada penyebaran Covid-19).
Penyebaran kedua fenomena ini mengglobal; bukan hanya di Indonesia.
Infodemik dan covidiot benar-benar menghambat dan merusak penatalaksanaan pandemi.
Keduanya menggerus aspek kognisi dan menimbulkan retardasi pengetahuan.
Muncullah penolakan penatalaksanaan Covid-19, termasuk vaksinasi.
Ketika makin banyak orang berdeviasi, muncullah infodemik masif dan herd covidiotity.
Reproduction rate Covid-19 pun meningkat dan cakupan vaksinasi rendah.
Terjadi peningkatan transmisi. Orang tertular dan meninggal dalam periode singkat.
Inilah gelombang ketiga.
Parahnya lagi, infodemik dan covidiot sangat marak di Indonesia.
Sebuah studi pernah melaporkan bahwa Indonesia termasuk enam negara termarak tingkat infodemik dan covidiot-nya.
Ketiga, Indonesia merupakan hub transportasi dan konektivitas sosial di Asia, terutama Asia Tenggara.
Dengan posisi ini, Indonesia berpotensi mengalami penyebaran varian virus secara cepat dan masif.
Faktanya, varian virus sebelumnya tidak membutuhkan waktu lama untuk menyebar di Indonesia.
Varian Delta pertama kali diidentifikasi di India bulan April lalu.
Hanya dalam periode tiga bulan, varian ini telah masuk dan menyebar di Indonesia.
Hal yang sama pun dapat terjadi pada varian-varian lain.
Bisa menyebar dengan cepat di negeri ini.
Keempat, euforia vaksin.
Banyak orang menganggap bahwa setelah memperoleh vaksin mereka bisa kembali ke kehidupan normal.
Bisa kumpul-kumpul, tidak perlu menggunakan masker dan tidak akan terinfeksi Covid-19 lagi.
Apalagi akhir-akhir ini media marak menggaungkan berita membaiknya kondisi pandemi di Indonesia.
Berita ini membangkitkan respons psikologis seolah-olah pandemi telah berakhir dan masyarakat bisa hidup normal lagi.
Beberapa daerah mulai melonggarkan protokol kesehatan.
Sejumlah industri mulai menggeliat dengan meminimalkan protokol kesehatan.
Taman Impian Jaya Ancol mulai buka kembali.
Baru-baru ini sebuah cafe besar di Jakarta terpaksa disegel karena telah membuka kegiatan bisnisnya secara penuh dengan mengabaikan prokes.
Euforia vaksin menyebar. Dan ini dapat meluluhlantakkan hasil baik yang ada saat ini.
Turbulensi Pandemi
Pergerakan pandemi mengikuti fenomena yo-yo.
Profil kasus dan kematian akan terus bergerak naik turun tergantung ekuilibrium faktor utama dan perancu.
Tidak akan stabil sebelum faktor-faktor utama dan perancu menjadi terkontrol dan stabil.
Fenomena ini telah dialami oleh berbagai negara di dunia.
Intinya, jangan terlalu cepat puas dan bahagia dengan capaian yang ada.
Tambahan gelombang pandemi adalah ancaman nyata dan Indonesia sangat rentan mengalami hal tersebut.
Daripada bereuforia dengan hasil saat ini, Indonesia perlu mengantisipasi munculnya gelombang ketiga.
Persiapan harus dilakukan sejak dini; bukan ujug-ujug saat gelombang ketiga sudah menerpa.
Ketersediaan rumah sakit dan tenaga kesehatan (nakes) serta kecukupan obat-obatan dan alat-alat kesehatan harus diantisipasi sejak sekarang.
Cakupan vaksinasi harus terus digenjot.
Tidak perlu terpengaruh oleh pandangan bahwa varian yang muncul akan kebal terhadap vaksin.
Karena nanti akan ada cara menangani hal tersebut; mungkin dengan booster atau dengan modifikasi vaksin.
Saat sekarang yang diperlukan adalah mencapai kekebalan komunal (herd immunity) secepatnya, dengan memvaksinasi paling tidak 70 persen penduduk.
Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta instansi terkait, harus bekerja keras meredam infodemik dan covidiot.
Semua metode harus digunakan.
Bila perlu, dapat dibentuk tim anti-infodemik hingga tingkat kecamatan.
Pendekatan persuasif harus dikedepankan.
Terhadap covidiot yang mbalelo, pendekatannya harus lebih serius.
Bila perlu dengan denda atau hukuman.
Masyarakat harus disadarkan bahwa hasil yang dicapai saat ini masih belum stabil.
Bisa menjadi upside down dalam hitungan minggu.
Pemerintah dan masyarakat harus sadar ini belum saatnya mengendurkan protokol kesehatan.
Program 3M (memakai masker, mencuci tangan, serta menjaga jarak/menghindari kerumunan), 3T dan vaksinasi harus terus jalan.
Tidak ada pengenduran.
Jalur masuk ke Indonesia harus mendapat perhatian khusus.
Semua daerah tanpa kecuali.
Fokusnya bukan cuma pada bandara tetapi juga pelabuhan dan jalan darat yang mungkin.
Pengetatan syarat masuk dan skrining mesti dilakukan.
Karena ini menjadi tameng utama mencegah masuknya varian-varian baru berbahaya.
Ini penting, karena sekali varian ini masuk penyebarannya akan sulit dibendung.
Indonesia masih berada dalam badai pandemi.
Belum saatnya melepas sabuk pengaman (seat belt) dan rileks.
Di depan masih ada bongkahan awan bergelombang yang berpotensi menimbulkan turbulensi.
Jadi, tetaplah menggunakan sabuk pengaman dan selalu waspada akan turbulensi. (Iqbal Mochtar, Dokter dan Doktor Bidang Kedokteran dan Kesehatan, Ketua Perhimpunan Dokter Indonesia Timur Tengah)
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul “Gelombang Ketiga Pandemi, Ancaman atau Ilusi”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/21/gelombang-ketiga-pandemi-ancaman-atau-ilusi/.