WahanaNews.co | Sekretaris Perusahaan sekaligus Juru Bicara Bio Farma, Bambang Heriyanto, mengatakan, sejak 2020, Bio Farma
telah memproduksi kit RT alat tes polymerase
chain reaction (PCR) mBioCov19 dengan kapasitas kemampuan produksi 2 juta
per bulan.
Saat ini, harga kit
PCR masih dalam proses kajian bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Baca Juga:
Naikkan Harga Tes PCR di Luar Kewajaran, Laboratorium PLBN Entikong Ditutup
"Pasalnya, beberapa material memang
masih impor," kata Bambang, saat dihubungi wartawan, Minggu (15/8/2021).
Bambang kembali menegaskan, mesin
untuk produksi kit diagnostik dirancang open
system, sehingga bisa memakai mesin PCR mana pun selama mesinnya itu tidak close system.
Sebelumnya, Dewan Pakar Ikatan Ahli
kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, menilai, tes PCR mahal karena kemandirian alat kesehatan dan
farmasi sangat lemah.
Baca Juga:
Akhirnya Menko Luhut Buka Perannya di PT GSI Soal Tudingan Bisnis Tes PCR
Menurutnya, semua bahan baku farmasi
dan alat kesehatan di Indonesia harus melewati uji klinis, sensitivitas, dan
spesifikasi, sehingga harus memenuhi tidak hanya standar nasional, tetapi juga
standar internasional.
"Ini berkaitan dengan ranah
kesehatan itu sendiri yang memang berkaitan mekanisme internasional. Sebenarnya
banyak keahlian dan kepakaran yang mampu menciptakan alat untuk mendukung
layanan kesehatan di negara kita ini," katanya kepada wartawan, Sabtu (14/8/2021).
Antibodi
Ia mencontohkan, anak bangsa sendiri
yang menciptakan adanya tes GeNose, swab antibodi, dan lainnya.
Ini artinya, kompetisi
dalam negeri itu bisa, apalagi PCR tidak selalu susah-susah sekali sebenarnya,
hanya saja ini berkaitan dengan komitmen dan kemauan kemandirian bangsa.
"Andai saja sejak tahun lalu kita
bisa memprediksi Covid-19 ini berkepanjangan dan cukup mahal, belum lagi kaitan
dengan pengobatan, maka alat testing
dan tracing PCR ini harusnya ini
menjadi kemandirian dan semua itu digratiskan. Kenapa karena paradigma wabah
memerlukan upaya untuk menemukan kasus itu secara cepat dan masif dipopulasi,"
ungkap dia.
Oleh karenanya memerlukan alat testing yang murah bahkan terjangkau
sekali bagi warga.
Tetapi di negara Indonesia karena ada
faktor yang berkaitan dengan materiil, bahan baku juga berkaitan pelibatan
swasta dan juga pemerintah yang belum terbagi perannya dengan baik.
Belum lagi, lanjut dia, masalah dari
vaksinator karena PCR ini menghitung seluruh utility cost, tidak hanya unit
cost terkait dengan alat mesinnya, reagen,
SDM, tata prosedur dan lainnya, sehingga memang terbebani seolah-olah jauh
lebih mahal.
"Kisaran harga idealnya menurut
saya Rp 200-300 ribu. Itu harga sudah ideal karena ada utility cost yang lain di samping dari
alat, tetapi ada reagan yang bahan
pakai habis sifatnya. Kemudian juga ada SDM juga karena harus ada voluntary sebagai swabber juga sebagai tester,"
urai dia.
Jadi kalau bicara PCR itu ada 3
tahapan.
Pertama, tahapan
sampel atau pengambilan swab yang juga tenaga kesehatan tetapi bisa dilatih.
Kedua, ada
tenaga ekstraksi, yang kerjanya di lab dan ketiga interpretasi hasil.
"Oleh karenanya semua kebutuhan
itu harusnya minimal kalau kita bisa mandiri secara substansi dari alat itu
sendiri," sarannya.
Ia menegaskan, produksi mesin dan alat
PCR buatan dalam negeri tentunya menjamin lebih murah dan lebih terjangkau.
Artinya,
pemerintah harus mengenjot hal ini.
Sebenarnya, PCR itu
tidak hanya diperuntukkan Covid-19 saja, tetapi juga untuk penyakit
lain juga termasuk, bahkan untuk pengetesan Covid-19
menggunakan tes molecular.
"Artinya kalau kita mampu
mandiri, yang kita selesaikan bukan hanya persoalan Covid-19 saja, banyak
penyakit lain yang sudah eksis sebelumnya dan ini sebab efisiensi dalam bidang
kesehatan harus dan wajib ditopang dengan kemandirian alat kesehatan seperti
alat deteksi testing Covid-19 ini," tutup Hermawan. [dhn]