Dalam kesepakatan itu, kata dia, masyarakat Papua seharusnya mendapatkan pembagian sebesar 10 persen saham. Alokasi itu berasal dari Pemerintah Pusat dari pencaplokan 51,2 persen saham.
"Dari 10 persen itu dibagi lagi, pemerintah Provinsi 3 persen dan Kabupaten Timika dapat 7 persen. Dalam 7 persen itu sudah termasuk masyarakat adat, pemilik hak ulayat dan korban permanen," jelasnya.
Baca Juga:
Haris dan Fatia Divonis Bebas, Luhut : Kami Hormati Putusan Hakim
FPHS, kata dia, kemudian dibentuk sebagai wadah bagi masyarakat adat yang tergolong sebagai pemilik hak ulayat.
Pemerintah Provinsi, kata dia, sempat menyatakan secara verbal bahwa masyarakat adat yang diwadahi dengan FPHS akan mendapat 4 persen dari alokasi saham itu.
"Tapi tidak dituang dalam suatu keputusan tertulis. Itulah kemudian, kita tuh sudah disampaikan verbal tapi tulisan itu belum keluar sampai sekarang," ucapnya lagi.
Baca Juga:
Hari Ini, Sidang Vonis Haris Azhar dan Fatia Kasus Pencemaran Nama Baik Luhut
Seharusnya, ucap dia, ada perusahaan daerah yang diberikan tugas untuk mengelola saham itu. Perusahaan diisi oleh unsur pemerintah provinsi, kabupaten dan masyarakat korban permanen dan pemilik hak ulayat.
"Itu duduk sebagai komisaris di situ dan mengelola secara bersama dan dipertanggungjawabkan dalam perusahaan namanya perusahaan daerah PT Papua Divertasi Mandiri. Sekarang mau jalan, dua unsur sudah ada provinsi dengan kabupaten, sekarang masyarakat itu belum ada," cetus Yohan lagi.
Oleh sebab itu, hingga saat ini pengalokasian saham tersebut ke masyarakat adat berlarut hingga saat ini dan belum berjalan. Hal tersebut, kata dia, yang kemudian diadvokasi oleh Haris Azhar.