WahanaNews.co, Jakarta - Pada Pilpres 2024, pasangan calon presiden Anies Baswedan dan calon wakil presiden Muhaimin Iskandar mengungkapkan rencana untuk membentuk Badan Penerimaan Negara jika mereka memenangkan pemilihan.
Namun, rencana ini mendapat kritikan dari sejumlah ekonomi. Salah satu kritik utama adalah terkait efektivitas lembaga tersebut dalam meningkatkan rasio pajak, yang merupakan perbandingan atau persentase penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto (PDB) suatu negara, seiring dengan biaya yang akan dikeluarkan.
Baca Juga:
Survei LSI: 54 Persen Responden Bukan Penerima Bansos Dukung Prabowo-Gibran
Salah satu kritik ini datang dari Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad. Menurutnya, kelembagaan khusus ini tidak akan signifikan meningkatkan penerimaan pajak, karena masalah utamanya bukanlah pada kelembagaan.
"Kalau kita lihat di fiskal kan tax ratio kita itu 10,4% pada 2022, kalau Anies itu targetnya 13-16%, Ganjar-Mahfud tidak ada tax ratio. Tapi kan ini luar biasa lompatannya, tentu saja kalau kita lihat menurut saya bukan tergantung kelembagaannya," kata Tauhid kepada CNBC Indonesia dikutip Kamis (26/10/2023).
Tauhid juga mencatat bahwa Kementerian Keuangan telah melakukan reformasi yang sangat intensif terhadap lembaga pemungut pajak, yaitu Direktorat Jenderal Pajak (DJP), terutama dalam hal intensifikasi dan ekstensifikasi pajak.
Baca Juga:
Bawaslu RI Tanggapi Kritik dalam Film Dokumenter 'Dirty Vote'
"Saya kira karena reformasi perpajakan itu sudah mulai dilakukan dari perluasan intensifikasi perpajakan ya, kemudian ekstensifikasi ada sumber-sumber pajak yang selama ini belum terbayar, belum tergali misalnya soal digital, e-commerce dan sebagainya termasuk penggunaan teknologi," tegas Tauhid.
Kemudian, dari sisi reformasi penegakan hukum juga tengah dijalankan pemerintah. Oleh sebab itu ia menilai, reformasi itu yang kini perlu diperkuat tanpa harus menambah beban anggaran baru untuk membentuk lembaga seperti Badan Penerimaan Negara, meski dari sisi penguatan kebijakan akan lebih kuat jika badan itu terbentuk.
"Tapi problemnya cost-nya ketika terpisah semakin tinggi pasti akan tambah personil, kedua punya otoritas lebih tinggi, ini terkait kontrolnya dan sebagainya. Strukturnya akan melebar, dan sebagainya, pasti akan naik posisi orang tadinya eselon 1 jadi selevel menteri," ucap Tauhid.