WahanaNews.co | Terlepas dari praduga tak bersalah terhadap setiap terduga pelaku selama belum ada keputusan yang tetap, terlihat banyak kejadian di ruang persidangan yang menimbulkan multitafsir soal playing victim.
Terutama tentang motif yang “terlalu” dipaksakan berupa tuduhan pelecehan dalam kasus kematian Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
Baca Juga:
Ferdy Sambo Dieksekusi ke Lapas Salemba, Putri Candrawathi di Pondok Bambu
Apalagi ketika rekonstruksi tak menguatkan tuduhan, namun tetap saja motif yang disodorkan kepada publik adalah "peristiwa pelecehan", ini sebuah fakta yang membingungkan.
Persoalan kuncinya adalah sangat sulit dikonfrontasi ketika korban sudah meninggal. Sementara keterangan saksi dan bukti seperti tak sepenuhnya dapat dijadikan sandaran dalam menentukan putusan pengadilan.
Seperti pernah dinyatakan Kabareskrim Komjen Agus Andrianto bahwa hanya Allah, Yosua, dan Putri Candrawathi yang mengetahui kejadian di Magelang.
Baca Juga:
MA Vonis Ferdy Sambo Jadi Seumur Hidup, Kamaruddin Duga ada Lobi-lobi Politik
Dua versi pelecehan
Satu hal yang menarik, Ferdy Sambo dan Putri Candrawathi dalam eksepsinya tetap menjadikan pelecehan seksual sebagai motif atau musabab peristiwa pidana tersebut terjadi, meskipun oleh publik dan sebagian besar ahli hukum, peristiwa pelecehan seksual tersebut dianggap "mustahil" terjadi.
Di sebalik itu berbagai bukti penting yang melemahkan tuduhan sepertinya diabaikan.
Seperti pertama; terkait relasi kuasa, mengapa sebagai Putri sebagai korban yang notabene adalah “bos” dari terduga pelaku, yaitu Brigadir Josua, tak bertindak dengan melaporkan langsung kepada suaminya yang juga Kadiv Propam agar segera dapat diambil tindakan.
Kedua; tidak membuat laporan pengaduan kepada pihak Kepolisian di Magelang, karena dasar laporan dapat menjadi bukti tuduhan yang kuat untuk menjebloskan pelaku.
Ketiga; korban masih berkomunikasi secara personal setelah kejadian kasus pelecehan tersebut. Lazimnya korban pelecehan seksual akan menghindari untuk bertemu kembali dengan pelaku.
Sehingga hal ini menguatkan dugaan banyak orang bahwa hal tersebut semakin menguatkan asumsi publik bahwa sebenarnya pelecehan seksual yang dituduhkan Putri tak pernah terjadi.
Keempat; tak ada upaya mendorong penyidikan dengan menggunakan tes DNA atas barang bukti kasus, jika pelaku sudah meninggal.
Kelima; pelaku masih bersama selama perjalanan menuju Jakarta dari Magelang. Keenam; pada hari ketika tuduhan pelecehan itu terjadi pada tanggal 4 Juli 2022, justru Putri masih berkomunikasi dengan Brigadir Josua dan adiknya dengan penuh kekeluargaan.
Ketika dikonfrontir, barulah tanggal kejadian itu dialihkan menjadi tanggal 7 Juli. Sampai di sini saja sudah cukup menarik versi skenario dramanya. Dengan beberapa catatan yang melemahkan tuduhan itu, mestinya penyidik Polri mendorong lebih jauh proses pemeriksaannya, seperti yang biasa dilakukan dalam menyingkap kasus.
Peristiwa dan laporan Putri itulah yang mendasari motif Ferdy Sambo membunuh Brigadir Josua. Merujuk pada dakwaan JPU, mantan Kadiv Propam Polri itu sangat marah untuk selanjutnya berencana membunuh Brigadir Josua setelah mendengar laporan dari Putri bahwa dirinya dilecehkan secara seksual oleh Brigadir Josua.
Ada dua versi kasus pelecehan yang kemudian berkembang menjadi dasar dari keseluruhan pemicu motif.
Hal ini pula yang membuat Kuasa Hukum Keluarga Brigadir Josua Komarudin Simanjuntak, berdasarkan bukti dan keterangan yang katanya “rahasia” menyatakan bahwa kejadian yang sebenarnya adalah bukan pelecehan yang dilakukan oleh Brigadir Josua pada PC, namun justru sebaliknya.
Pelecehan seksual memang benar terjadi, tetapi dalam format kebalikannya.
"Putri Candrawathi lah yang melakukan pelecehan seksual terhadap Brigadir Josua," ujar Kamaruddin.
Atau paling tidak Putri mengajak Josua untuk melakukan sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas seksual, tetapi ajakan itu ditolak oleh Josua karena satu dan lain hal.
Dan kemudian sampailah cerita versi “fiksi” ini kepada sambo. Bahkan dalam perkembangannya di awal kasus justru muncul dugaan adanya hubungan khusus Putri dan Kuat Makruf (KM).
Namun kini hanya menjadi kisah pelengkap penderita kasus yang terus bergulir di persidangan.
Playing victim saksi kunci
Dengan menjadikan pilihan kasus pelecehan di Magelang sebagai satu-satunya motif, untuk mendorong para terdakwa mendapat pengurangan hukuman, semuanya hanya tinggal menunggu pembuktian.
Siapa sebenarnya yang sedang kena “prank” Putri dalam kasus ini. Sedangkan Putri Candrawati sebagai “saksi kunci” dalam kasus ini tetap bersikukuh pada pendiriannya.
Namun dalam beberapa kesempatan, Putri mempertunjukkan gesture yang berbeda sebagai korban kasus pelecehan yang cenderung trauma mendalam.
Ada kecenderungan justru sedang memainan peran playing victim. Anggota tubuh, selain mulut, mengirim pesan kepada orang lain, yang disebut sebagai gesture.
Istilah lain yang dipakai adalah 'bahasa tubuh' atau body language. Victim mentality atau playing victim adalah sifat yang menganggap dirinya sebagai korban dari tindakan negatif orang lain.
Seseorang yang memiliki sifat ini akan merasa menjadi korban saat sesuatu tidak berjalan sesuai rencana. Seseorang yang sering melakukan playing victim mengklaim segala sesuatu yang terjadi pada dirinya adalah kesalahan orang lain dan dia adalah korbannya.
Orang dengan sifat ini umumnya terus-menerus mengeluh tentang hal-hal buruk yang terjadi dalam hidupnya. Ketidakmampuan mengendalikan keadaan sering kali membuatnya melepaskan tanggung jawab.
Seseorang yang memiliki gangguan kepribadian ini lebih mudah memandang semuanya secara negatif. Bahkan, dapat memaksakan pola pikirnya pada orang lain.
Pada intinya, playing victim artinya sifat yang membuat seseorang memilih untuk tidak bertanggung jawab, menyalahkan orang lain, dan menciptakan berbagai alasan untuk mendukung keyakinannya bahkan saat sebenarnya dialah pelakunya.
Hal ini menjadi perhatian publik, karena dalam berbagai kejadian terkaitan kasus, PC sebagai korban seperti bermain-main bahasa tubuhnya. Gesture tubuhnya menunjukkan tanda-tanda yang tidak alamiah sebagai korban, sebagaimana sering diidentifikasi oleh para pakar.
Perlakuan pelecehan yang menimpanya, justru tak membuatnya merasa terpukul dan malu, namun justru menjadi semacam alasan penguat pembenaran atas kejadian tindakan pelecehan yang diterimanya.
Pelecehan akan menjadi kuncinya sebagai peluang untuk lolos dari hukuman lebih berat. Pada akhirnya laporan dugaan pelecehan itulah yang menjadi motif bagi Sambo untuk membunuh tanpa klarifikasi setelah mendapat laporan dari PC yang menimbulkan banyak teka-teki.
Mengapa Sambo dengan pengalamannya yang luas bertindak begitu gegabah?
Mengapa pengakuan sepihak Putri soal pelecehan tidak dikonfirmasi ke Brigadir J?
Semuanya menjadi teka-teki. Atau sebenarnya semua telah dilakukan, namun berbagai rangkaian dari skenario besar itu ada yang luput ke telinga penyidik?
Bahkan rangkaian kejadian yang mengarah pada perencanaan pembunuhan sepertinya juga dipenuhi banyak tanda tanya, ketika banyak saksi yang menemukan kejanggalan, seperti penggunaan sarung tangan hitam Sambo yang tidak biasa. Fakta itu berdasarkan saksi di persidangan terbukti disarankan oleh Putri.
Untuk keperluan apa?
Begitu juga penyitaan senjata Brigadir Josua ketika sampai di Jakarta dan fakta lainnya yang kemudian mengarah pada tindakan obstruction of justice.
Putri juga mendengar seluruh rencana pembunuhan Brigadir J. Fakta di persidangan juga mengungkap Putri ucapkan terima kasih setelah Brigadir J ditembak mati.
Berselang dua hari setelah pembunuhan berencana terhadap Yosua terjadi, yaitu tepatnya pada 10 Juli 2022, di rumah pribadi Sambo di Jalan Saguling 3 Nomor 29.
Apabila analisa ini benar, bisa saja mengarahkan pada tuduhan bahwa yang sebenarnya menjadi "the ultimate" dalang dari kasus pembunuhan Brigadir Josua adalah Putri Candrawathi. Biarlah pengadilan yang akan membuktikannya nanti.( Kompas )
[zbr]