Pertama, tindakan negara yang secara normatif merupakan bagian dari tindakan pelanggaran HAM yang berat.
"Tindakannya antara lain pembunuhan, penyiksaan, penculikan atau penghilangan orang secara paksa, pengusiran, penganiayaan dan/atau kekerasan, serta perkosaan dan kekerasan seksual lainnya," mengutip laporan ringkasan eksekutif PPHAM.
Baca Juga:
Situasi HAM di Papua Tahun 2023, Ini Hasil Pengamatan Komnas HAM
Kedua, tindakan lainnya yang meneguhkan terjadinya pelanggaran HAM yang berat, antara lain pengambilalihan properti secara paksa, kerja paksa, penjarahan, perusakan, dan pembakaran properti (rumah, maupun rumah ibadah).
"Penghilangan status kewarganegaraan, pengancaman, pemberian stigma dan diskriminasi sistematis, serta penghilangan hak-hak sipil politik dan sosial-ekonomi."
Tim PPHAM juga mengelompokkan korban pelanggaran HAM berat ke dalam tiga kategori, antara lain (1) korban langsung (2) korban tidak langsung dan (3) korban yang tidak teridentifikasi (unidentified victims).
Baca Juga:
Persoalkan Pelanggaran HAM, Anggota TNI Tantang BEM UI KKN di Wilayah KKB
Sejauh ini, Presiden Jokowi telah mengakui ada 12 pelanggaran HAM berat yang pernah terjadi di masa lalu.
"Dengan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara RI mengakui bahwa pelanggaran HAM berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Rabu (11/1).
Kasus pelanggaran HAM berat yang diakui Jokowi pernah terjadi yakni peristiwa 1965-1966, penembakan misterius pada 1982-1985, peristiwa Talangsari di Lampung pada 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada 1989.