WahanaNews.co | Sejumlah pimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang lolos dalam peristiwa 30 September 1965 atau G30S, menyiapkan taktik perjuangan bersenjata (Perjuta) di Blitar Selatan, Jawa Timur.
Oleh sebab itu, kawasan Blitar Selatan tersebut dipilih PKI untuk bangkit kembali.
Baca Juga:
Jokowi Bersihkan Nama Soekarno dari G30S PKI
Diketahui, Perjuta yang melibatkan kekuatan rakyat secara penuh, merupakan praktik dari tesis Kritik Oto Kritik (KOK) Sudisman. Yakni sebuah tesis perlawanan yang terinspirasi dari tulisan Mao Tse Tung.
Lalu seperti apa situasi sosial dan alam Blitar Selatan pada tahun 1967-1968 itu?
Rewang, salah seorang pimpinan PKI yang tertangkap di Blitar Selatan menyebut Blitar Selatan sebagai kawasan pegunungan tandus. Tanahnya mirip pegunungan seribu di sebelah selatan Solo dan Yogyakarta.
Baca Juga:
PKI Bunuh Gubernur Jatim di Ngawi
"Sebagian daerah di Blitar bagian selatan, terhitung merupakan lahan baru dari bekas hutan jati," kata Rewang dalam buku Saya Seorang Revolusioner, Memoar Rewang.
Untuk menyambung hidup, mayoritas penduduk Blitar Selatan bergantung pada aktifitas bercocok tanam. Mereka melakukannya di sawah dan ladang yang memiliki sifat pengairan tadah hujan.
Dalam setahun penduduk Blitar Selatan hanya mengenal satu kali musim tanam dengan ketela pohon atau singkong sebagai tanaman utama. Singkong menjadi makanan pokok penduduk.
"Pada musim tanam, yang ditanam penduduk adalah padi gogo dan jagung. Sebagai tanaman selingan adalah kacang tanah dan kedelai".
Rewang menyebut kehidupan penduduk Blitar Selatan sangat miskin. Sehari-hari mereka makan tiwul yang dikonsumsi dua kali sehari. Nasi hanya diperuntukkan anak-anak di bawah usia 5 tahun.
Kemiskinan membuat pakaian yang dikenakan penduduk selalu terlihat lusuh dan tak pernah ganti. Begitu juga dengan pendidikan anak-anak Blitar Selatan. Rata-rata hanya mengenyam sekolah sampai Kelas IV SD.
"Kehidupan masyarakat di Blitar Selatan termasuk terbelakang jika dibandingkan dengan masyarakat di desa-desa lain di Jawa Timur," demikian kata Rewang seperti dikutip dari Saya Seorang Revolusioner, Memoar Rewang.
Kedatangan para pimpinan PKI di Blitar Selatan mulai akhir 1967, disambut hangat. Hal itu mengingat mayoritas penduduk Blitar Selatan merupakan konstituen PKI. Pada Pemilu 1955, PKI mendulang suara besar.
Di Blitar Selatan juga banyak tinggal orang-orang yang dulunya tergabung dalam Batalyon Brantas yang berideologi kiri. Mereka direkrut dari masyarakat setempat di sepanjang sungai Brantas.
"Di Blitar Selatan, semua penduduknya sangat mendukung PKI. Malah hampir semua penduduk desa di Blitar Selatan, mengaku menjadi anggota PKI," kata Rewang.
Masing-masing para pimpinan PKI bertempat di satu kepala keluarga di wilayah Kemantren Maron dan Ngeni, yakni semacam kecamatan yang terdiri dari belasan desa. Setiap bulan dilakukan rotasi. Para pimpinan PKI pindah dari satu kepala keluarga ke kepala keluarga yang lain.
Untuk keamanan, setiap pindah tempat, nama mereka juga berganti. Namun upaya untuk bangkit kembali di Blitar Selatan tidak berumur panjang. Penduduk yang awalnya memihak PKI berbalik arah, tidak lagi bersimpatik karena aksi perampokan yang dilakukan kader PKI.
Penduduk Blitar Selatan berbalik mendukung operasi militer yang digelar rezim Soeharto. Kegagalan kebangkitan PKI juga dipercepat dengan penghianatan yang dilakukan kader setelah tertangkap.
Pada tahun 1968, proyek PKI di Blitar Selatan praktis hancur lebur. Dalam sebuah serangan, pimpinan PKI Oloan Hutapea dan Surachman tewas. Semua tokoh PKI yang lain, termasuk Rewang, ditangkap.
"Saya tertangkap pada 21 Juli 1968 saat operasi pagar betis hampir berakhir. Saya ditangkap oleh anggota Batalyon 511 yang berkekuatan kira-kira setengah regu," kata Rewang seperti dikutip dari Saya Seorang Revolusioner, Memoar Rewang. [rsy]