WahanaNews.co | Menteri Dalam Negeri
(Mendagri) Tito Karnavian
mengeluarkan Instruksi Mendagri Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penegakkan Protokol
Kesehatan untuk Pengendalian
Penyebaran Covid-19.
Langkah itu diambil, salah satunya, pasca-terjadinya pembiaran kerumunan
massa yang terjadi dalam rentetan acara pentolan Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq Shihab.
Baca Juga:
COVID-19 Ngamuk di India, Kasus Melonjak Ribuan Persen dalam 3 Minggu
Instruksi Mendagri 6/2020 itu
dikeluarkan di Jakarta pada Rabu (18/11/2020) dan diteken oleh Tito.
Dalam Instruksi Mendagri tersebut, dijelaskan adanya peraturan
perundang-undangan yang dibuat, berupa Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri,
Peraturan Daerah, dan Peraturan Kepala Daerah. Hal tersebut dibuat untuk penanganan
pandemi Covid-19.
Sesuai dengan peraturan
perundang-undangan itu, maka Mendagri menginstruksikan Gubernur dan Bupati/Wali
Kota untuk menegakkan secara konsisten protokol kesehatan Covid-19 guna
mencegah penyebaran Covid-19 di daerah masing-masing.
Baca Juga:
Korupsi Pengadaan APD: Eks Pejabat Kemenkes dan Dua Direktur Dipenjara
"Berupa memakai masker,
mencuci tangan dengan benar, menjaga jarak dan mencegah terjadinya kerumunan
yang berpotensi melanggar protokol tersebut," demikian tertulis dalam
Instruksi Mendagri yang dikutip pada Rabu (18/11/2020).
Kemudian, para pimpinan daerah
yang disebut juga diinstruksikan untuk melakukan langkah-langkah proaktif guna mencegah penularan Covid-19
dan tidak hanya bertindak responsif atau reaktif. Menurutnya, mencegah lebih
baik ketimbang menindak.
"Pencegahan dapat dilakukan
dengan cara humanis dan penindakan termasuk pembubaran kerumunan dilakukan
secara tegas dan terukur sebagai upaya terakhir," ujarnya.
Dalam instruksinya, Tito
mengingatkan kepada kepala daerah untuk menjadi teladan bagi masyarakat dalam
mematuhi protokol kesehatan Covid-19, termasuk tidak ikut dalam kerumunan yang
berpotensi melanggar protokol kesehatan.
Jika kepala daerah yang disebutkan
melanggar peraturan, maka ada sanksi yang bisa diterapkan dengan dasar Pasal 67
huruf b Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 yang berbunyi, "mentaati seluruh ketentuan
peraturan perundang-undangan, maka kepala daerah""
Sesuai dengan Pasal 78
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014, kepala daerah bisa diberhentikan.
Hal tersebut berlandaskan karena
dinyatakan melanggar sumpah atau janji jabatan kepala daerah/wakil kepala
daerah.
Selain itu dikarenakan tidak
melaksanakan kewajiban kepala daerah dan wakil kepala daerah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 67 huruf b tadi.
"Berdasarkan instruksi pada
Diktum keempat, kepala daerah yang melanggar ketentuan peraturan
perundang-undangan dapat dikenakan sanksi pemberhentian," tegasnya. [dhn]