WahanaNews.co | Di sudut pertigaan Jalan Ampera,
Pasar Minggu, Jakarta Selatan, berdiri baliho yang memampang wajah Joko Widodo - Ma"ruf Amin. Slogannya "Indonesia Maju". MPW Pemuda Pancasila (PP) DKI Jakarta
memasangnya sebagai realisasi dukungannya terhadap pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01.
Itu kemesraan di level
jalanan. Di forum resmi, Jokowi datang ke acara Deklarasi Relawan Pemuda
Pancasila DKI Jakarta di Istora Senayan pada Minggu (3/3/2019).
Baca Juga:
Pasca Disita, KPK Kembalikan 11 Mobil Mewah pada Ketum Pemuda Pancasila
Kantor Berita Antara melaporkan, kedatangan Jokowi pada pukul 15.30 WIB itu langsung mendapat sambutan dan jabat tangan dari para relawan, yang ditaksir berjumlah ribuan.
Sore itu, Jokowi mengenakan kemeja putih
lengan panjang. Panitia menggelorakan instrumen laguEnter Sandmandari
Metallica saat Jokowi memasuki ruangan acara.
Bak gayung bersambut,
pada sesi sambutan, Jokowi membincangkan topik-topik favorit Pemuda Pancasila. Mula-mula, ia menyinggung soal pentingnya
menjaga persatuan, keberagaman, dan persaudaraan, agar Pemilihan Umum di Indonesia tidak merusak ikatan
saudara sebangsa dan setanah air.
Baca Juga:
BPPH Pemuda Pancasila Imbau Masyarakat Jaga Moral Bangsa dengan Menghormati Para Pemimpin Negara
Suasana makin bersemangat
saat Jokowi memberi peringatan kepada semua pihak untuk tidak
coba-coba mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi lainnya.
"Jangan sekali-kali,
jangan ada yang mencoba mengganggu ideologi kita, Pancasila. Jangan sampai ada yang
berani mengganti ideologi kita, Pancasila. Saya yakin, yang berani akan berhadapan dengan Pemuda
Pancasila. Sekali layar terkembang?"
"Surut kita
berpantang!" para relawan menyahut penggalan slogan Pemuda Pancasila tersebut.
Jokowi kemudian
menyinggung kedekatannya dengan Ketua Umum Pemuda Pancasila, Japto Soerjosoemarno, terutama saat
Jokowi masih menjabat sebagai Wali Kota Solo.
Ia mengapresiasi
kepemimpinan Japto selama hampir empat dekade terakhir, sebab dianggap telah menjaga
Pancasila secara konsisten.
Japto, dalam
sambutannya, turut memuji Jokowi sebagai sosok yang jujur. Ia membandingkan
lesatan karier Jokowi dengan analogi seorang anak jenius asal Indonesia yang
mengikuti program akselerasi hingga bisa diterima di perguruan tinggi di
Amerika Serikat.
Menariknya, Japto
menyinggung bagaimana Jokowi bisa mencalonkan diri dan menang dalam pertarungan
pemilihan Gubernur Jakarta karena
diajak Prabowo Subianto.
Langkah tersebut, bagi Japto, menunjukkan kepintaran Prabowo, karena bisa memilih orang yang bisa
membuat Jakarta lebih baik.
"Pak Prabowo itu orang
pintar, masih dekat dengan saya, bapaknya Prabowo itu saksi nikah bapak-ibu saya," katanya, masih dalam
berita Antara.
Tiga puluh sembilan tahun adalah waktu yang amat panjang. Lebih panjang ketimbang kekuasaan
Soeharto selama menjadi Presiden. Tapi, selama itulah Japto memimpin Pemuda Pancasila. Posisinya kokoh sejak
Musyawarah Besar PP III di Cibubur, Ciracas, Jakarta Timur, pada 1981.
Japto otomatis memimpin
Pemuda Pancasila ke masa di mana Indonesia dipimpin oleh enam kepala negara
yang berbeda.
Selama itu juga Pemuda
Pancasila meraih perluasan kekuasaan hingga ke daerah-daerah, sekaligus reputasi sebagai ormas
yang mampu menjalin kedekatan dengan elite politik.
Pemuda Pancasila
sebenarnya sudah elite berkat status orang-orang yang mendirikannya. Salah
satunya adalah Abdul Haris Nasution, seorang perwira yang sejak awal 1950-an
menceburkan diri ke dalam persaingan politik nasional.
Loren Ryter, dalam
makalahnya diJurnal Indonesiabertajuk "Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Soeharto"s New
Order" (No. 66, Oktober 1998), mengatakan, Nasution saat itu terdesak oleh
kekuatan sayap kiri yang sedang menguat. Partai Komunis Indonesa (PKI)
menelurkan pergerakannya hingga ke akar rumput melalui organisasi onderbouw Pemuda Rakyat (PR).
Nasution tak tinggal
diam. Pada 1959, ia mendirikan organisasi pemuda di bawah IPKI (Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia), partai yang didirikannya bersama Kolonel Gatot Subroto dan
Kolonel Azis Saleh untuk mempromosikan agenda-agenda militer dalam kehidupan
sipil. IPKI sendiri didirikan
Nasution pada 1954, dua tahun setelah ia dicopot dari posisinya sebagai Kepala
Staf Angkatan Darat (KSAD).
Nasution menamai
organisasinya itu Pemuda Pancasila. Hari lahirnya dipilih tanggal 28 Oktober 1959, bertepatan
dengan peringatan Hari Sumpah Pemuda ke-31.
Pemuda Pancasila segera
menarik perhatian anak-anak tentara, sebagaimana IPKI juga berisi banyak mantan
pejuang atau tentara. Kawan-kawan mereka juga diikutsertakan, dan tak butuh
waktu lama bagi organisasi ini untuk berkembang sampai menjadi ancaman bagi pamor organ kepemudaan lain, termasuk Pemuda Rakyat.
Nama Pemuda Pancasila
makin harum usai huru-hara pembantaian anggota PKI dan mereka yang dituduh
punya afiliasi dengan PKI. Berbagai sumber menyebut keterlibatan anggota Pemuda
Pancasila sebagai pelaku dalam kejadian tersebut.
Sejak itu pula Pemuda
Pancasila mendukung propaganda anti-komunis pemerintah, menebalkan fobia akan
bangkitnya gerakan kiri sebagai ancaman bagi republik karena akan mengganti
ideologi Pancasila. Retorika yang sama dipakai hingga empat dekade berselang,
alias hingga hari ini.
Ian Douglas Wilson, dalam bukunya, Politik Jatah Preman (2018), mendeskripsikan kedekatan Pemuda
Pancasila dengan elite politik selama era Orde Baru sebagai patronase. Artinya,
agar posisinya aman, ormas mesti menjalin beking jaringan politik "bukan hanya dengan
'negara', tapi juga Soeharto."
"Kunci bertahan hidup
bagi preman adalah berorganisasi dan pernyataan kesetiaan penuh kepada Golkar,
militer, dan presiden. Organisasi-organisasi lebih besar dengan jangkauan
nasional seperti Pemuda Pancasila selamat dari masa-masa Petrus nyaris tak
tersentuh," catat Ian.
Pemuda Pancasila, dengan demikian, "berafiliasi dan mengidentifikasikan
diri dengan kekuatan-kekuatan yang sama yang memiliki kuasa untuk memberangus
mereka," mengutip Loren. Dampaknya, banyak preman lokal yang terikat ke
ormas-ormas tertentu pada era Orba, termasuk ke Pemuda Pancasila.
Setelah kejatuhan
Soeharto, lahir ormas-ormas (kepemudaan) baru. Banyak di antaranya yang
menjunjung narasi lokalitas, dan otomatis menjadi pesaing Pemuda Pancasila.
Bukan kompetisi ideologis, melainkan perebutan lapak penghidupan yang merentang
di segala bisnis.
Mulanya, sering ada konfrontasi. Lama kelamaan, tensinya menurun, karena wilayah kekuasaannya telah dibagi-bagi. Jika pun muncul bentrok,
perkaranya soal sepele, serta tidak seberdarah-darah era terdahulu.
Ian, mengutip Loren,
menyebut Pemuda Pancasila sukses menerjemahkan logika jago ke dalam format
organisasi modern. Strukturnya yang hierarkis juga membuka kesempatan bagi
preman tingkat jalanan untuk mendaki karier menuju jabatan fungsionaris
lembaga, lalu birokrat pemerintah, hingga akhirnya politikus.
Sistem tersebut, pada akhirnya, turut menjaga kekuatan lobi Pemuda
Pancasila di lingkaran elite-elite nasional, karena beberapa alumninya juga aktif
dalam platform politik yang sama, baik eksekutif maupun legislatif.
Pemuda Pancasila di era
reformasi bukan lagi platform yang dimonopoli Golkar seperti di era Soeharto
berkuasa. Kini ia menjalin kongsi dengan elite politik lintas partai politik. Tapi politisi elite Golkar
tercatat kerap berupaya memperbaiki citra "ormas preman" yang tak kunjung
luntur.
Pada Maret 2013, Majalah Tempo pernah mewawancarai mantan Ketua Pemuda
Pancasila, Yorrys Raweyai, yang menyebutkan alumni Pemuda
Pancasila banyak yang jadi "orang besar", termasuk tokoh nasional, politikus,
menteri, dan pengisi jabatan-jabatan penting di tubuh pemerintahan.
Oleh sebab itu, Yorrys menampik citra buruk yang
disematkan publik ke Pemuda Pancasila dengan mengaitkan ormas kepada dunia
premanisme atau kekerasan. Ada perubahan di tubuh organisasi, terutama
pasca-reformasi, dari "yang dulunya adu otot, sekarang jadi adu otak," katanya.
Mundur ke tahun 2009,
Wakil Presiden Jusuf Kalla, yang saat itu juga menjabat sebagai Ketua Umum
Partai Golkar, menghadiri Mubes Pemuda Pancasila VIII di Asrama Haji, Pondok
Gede, Jakarta.
Majalah Tempo
melaporkan, dalam kesempatan
tersebut Jusuf Kalla didapuk sebagai warga kehormatan Pemuda Pancasila, usai dipasangkan jaket bercorak loreng berwarna oranye-hitam.
Jusuf Kalla berpidato
banyak hal. Tapi, yang paling menarik, adalah bagaimana ia mengulas terminologi "preman" yang berasal dari kata free
man atau manusia bebas. Kalla
mengartikannya sebagai pekerja bebas di luar tubuh pemerintah alias aktif di
sektor swasta. Negara membutuhkan mereka, katanya, sebab berani mengambil
risiko berdagang.
"Kita butuh
'preman' untuk melaksanakan ekonomi, melaksanakan pasar. Kita butuh orang yang
punya sifatadventureuntuk melakukan pendekatan yang
adil," katanya.
Lima tahun berselang,
ia berpasangan dengan Joko Widodo dalam pertarungan Pilpres 2014, dan menang.
Mendekati masa
penghabisan jabatan, jelang Pilpres 2019, Kalla makin sering membuat komentar
yang kritis terhadap Jokowi. Saat orang-orang mengira hubungan keduanya retak,
Jokowi membuat kejutan dengan melenggang ke Istora Senayan: mengamankan suara
Pemuda Pancasila di genggaman tangannya.
Begitulah Pemuda Pancasila, yang 28 Oktober 2020 ini akan genap berusia
61 tahun. Organisasi ini senantiasa tak berada terlalu jauh dari pusaran
kekuasaan, bahkan sering dibilang ikut "menentukan" arah kekuasaan. Namun,
istimewanya, ia tak pernah tewas tergulung oleh gelombang kekuasaan, termasuk
di periode-periode genting seperti 1965 dan 1998. [qnt]