WahanaNews.co | Presiden Joko Widodo alias Jokowi mengalokasikan dana dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Hal ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.
Baca Juga:
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung, Ini Fakta-fakta Aktualnya
"Pendanaan lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat 1 huruf c dapat berupa pembiayaan dari APBN dalam rangka menjaga keberlanjutan pelaksanaan proyek strategis nasional dengan memperhatikan kapasitas dan kesinambungan fiskal," bunyi Pasal 4 ayat (2), dikutip Sabtu (9/10/2021).
Pembiayaan dari APBN tersebut dilakukan dengan penyertaan modal negara (PMN) kepada pimpinan konsorsium, dan penjaminan kewajiban pimpinan konsorsium.
PMN yang diberikan kepada pimpinan konsorsium diberikan untuk menambal kekurangan kewajiban penyetoran modal dan memenuhi kewajiban perusahaan patungan.
Baca Juga:
Proyek Kereta Cepat, Tenaga Lokal Sudah Gantikan Tukang Las China
Hal ini berbeda dari aturan lama, yaitu Pasal 4 Perpres 107 Tahun 2015, yang berbunyi:
"(2) Pelaksanaan penugasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 tidak menggunakan dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta tidak mendapatkan jaminan Pemerintah."
Luhut Pimpin Komite
Selain pembiayaan, lewat Perpres Jokowi juga menunjuk Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan, sebagai pimpinan Komite Kereta Cepat Antara Jakarta dan Bandung.
Sebelumnya, ketua komite tersebut dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto.
Nantinya, BUMN yang ditugaskan dalam konsorsium kereta cepat Jakarta-Bandung akan menyampaikan laporan secara rutin kepada Luhut.
Sebagai informasi, konsorsium BUMN ini bernama PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia (PSBI).
Konsorsium terdiri dari PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, PT Kereta Api Indonesia (Persero), PT Jasa Marga (Persero) Tbk, dan PT Perkebunan Nusantara VIII (Persero) atau PTPN VIII.
Konsorsium ini memiliki 60 persen saham di operator proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC).
Lalu, 40 persen saham KCIC digenggam oleh Beijing Yawan HSR Co.Ltd.
Biaya Membengkak
Sebelumnya, Direktur Keuangan & Manajemen Risiko KAI, Salusra Wijaya, mengatakan, kebutuhan investasi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung membengkak dari US$ 6,07 miliar atau sekitar Rp 86,67 triliun (kurs Rp 14.280 per dolar AS) menjadi US$ 8 miliar atau setara Rp 114,24 triliun.
Estimasi ini sedikit turun dari perkiraan awal pembengkakan mencapai US$ 8,6 miliar atau Rp 122,8 triliun.
Hal ini karena perusahaan disebut melakukan efisiensi, seperti memangkas biaya, pembangunan stasiun, dan lainnya.
Namun, ia menyebut, kebutuhan investasi proyek akan meningkat karena Indonesia belum menyetor modal awal senilai Rp 4,3 triliun.
Padahal, setoran itu seharusnya dilakukan sejak Desember 2020.
Jumlah itu belum termasuk estimasi tanggung jawab sponsor dalam membiayai pembengkakan biaya (cost overrun) sebesar Rp 4,1 triliun.
Untuk itu, KAI mengajukan penundaan setoran menjadi Mei 2021.
Namun, hingga saat ini, belum ada kejelasan dari konsorsium kontraktor High Speed Railway Contractors Consortium (HSRCC), baik terkait penundaan setoran maupun permintaan restrukturisasi kredit proyek.[dhn]