WahanaNews.co | Keraguan publik mengenai sumbangan dana penanganan
Covid-19sebesar Rp 2
triliun yang dijanjikan oleh keluarga almarhum pengusaha Akidi Tio muncul
ketika sang anak bungsu, Heriyanty,dijemput
polisi pada Senin (2/8/2021)
kemarin.
Bukan tanpa sebab,
setelah satu pekan janji pemberian bantuan itu diserahterimakan secara simbolis
kepada Kapolda SumateraSelatan (Sumsel), Irjen Pol Eko Indra Heri, hingga kini dana bantuan
itu tak kunjung cair.
Baca Juga:
Kapolri Copot Kapolda Sumsel
Sempat menuai pujian
publik, terutama dari netizen di media sosial, belakangan
keluarga Akidi Tio membuat publik geram, karenasumbangan tersebut kini hanya dianggap
sebagai kebohongan belaka.
Salah satu yang skeptis
soal gembar-gembor sumbangan Rp 2
triliun itu adalah mantan Menteri Hukum dan HAM, Hamid Awaluddin.
Sebelum donasi Rp 2 triliun dari keluarga Akidiitu menjadi perkara di
kepolisian, Hamidmenjadi salah
satu yang bersuara menolak percaya lebih dulu hingga uangnyabetul-betul
nyata.
Baca Juga:
Kasus Akidi Tio: Didesak Copot Kapolda Sumsel, Ini Respons Polri
Melalui sebuah tulisan
di kolom media daring,Menkumham era SBY-JK (2004-2009) itu sempat
memaparkan keraguannya tersebut
disebabkan banyak faktor.
"Dari awal saya
tidak pernah percaya itu (sumbangan Rp 2
triliun). Karena,
orang yang berjanji itu inkonsisten dengan profilnya," kata Hamid, saat berbincang dengan wartawan, Selasa (3/8/2021).
Menurut dia, harta
kekayaan Akidi Tio dan keluarganya patut diragukan, karena selama ini jarang sekali didengar.
Hamid, sebagai mantan
pejabat publik pun,
menilai bahwa latar belakang keluarga pengusaha tersebut tak bisa membuktikan
kepemilikan harta
hingga Rp
2 triliun.
"Kita tidak pernah
mendengar ada perusahaannya [keluarga Akidi]. Beda, misalnya,
kalau yang menyumbang itu pemilik BCA, nah
semua orang [akan berkata], "oh iya iya".Enggak ada keraguan,"imbuhnya.
Sejumlah pertanyaan yang
harusnya terjawab sejak awal itu, disayangkan Hamid tak dilakukan pejabat
publik di Sumsel sejak awal,
saat menerima simbolis donasi untuk penanganan pandemi senilai Rp 2 triliun dari Akidi Tio.
"Agak terganggu
secara intelektual, kenapa kita mudah mempercayai yang begituan. Bukankah ada
serentetan kejadian masa silam, terjadi hal seperti ini dan itu tidak terbukti,
ya kan?" ujar Hamid.
Contoh Kebohongan di Masa Lalu
Sebenarnya, hampir tiap
era kedudukan Presiden di Indonesia memiliki kasus-kasus penipuan serupa yang
melibatkan pejabat publik.
Salah satu yang paling
heboh, misalnya, saat mantan Menteri Agama, Said Agil Al-Munawar, mempercayai kabar keberadaan harta karun di Istana
Batutulis, Bogor, Jawa Barat.
Kala itu, pemerintahan
Presiden Megawati Soekarnoputri yang berkuasa.
Said pun mengklaim harta
karun di Batutulistersebut
cukup untuk membayar utangluar negeri RI kala itu.
Said bersikeras untuk
menggali harta karun itu, namun menuai banyak protes, sehingga tak jadi dilakukan.
Hingga saat ini,
keberadaan harta karun tersebut tak terbukti.
Atau, sambung Hamid,
kasus lain yang mencuat pada 2008,
terkait penemuan blue energy di
Yogyakarta, yang disebut-sebut dapat menjadikan air sebagai
bahan bakar.
Penelitian ini didukung
kampus Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).
Kasus yang terjadi pada
masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono(SBY) - Jusuf
Kalla (JK) ini dibatalkan,
karena dalam perjalanannya tak dapat dibuktikan penelitian tersebut dan tidak
pernah ditemukan alat yang dapat mengonversi air menjadi bahan bakar.
"Makanya, ketika kasus [sumbangan Akidi Tio]ini muncul,
begitulah reaksi intelektual saya yang memprotes. Kenapa kita [elite] mudah
percaya, kasihan rakyatnya, ya
kan," timpal Hamid, dalam perbincangan itu.
Terkait soal kepercayaan
pada hal yang mustahil, namun digaungkan seolah jadi kebenaran oleh tokoh elite
hingga pejabat publik, sosiolog
dari Universitas Indonesia (UI),
Ida Ruwaida,mengatakan, itu tak lepas dari sifatmanusia secara umum
yang mudah percaya.
"Apalagi jika
sumber informasinya adalah orang-orang yang dikenal, terkenal, atau tokoh
berpengaruh. Bahkan,
uniknya, di era digital ini, masyarakat pun mudah percaya dengan
informasi-informasi yang belum tentu akurat... Apalagijikainformasi
tersebut disebarkan oleh
orang-orangyangmenurutmerekapatut dipercaya," kata
Ida, saat dihubungi wartawan, Rabu (4/8/2021).
Ia pun mencontohkan
kasus-kasus lain yang sering muncul di publik, seperti penipuan arisan, penggandaan uang, dan
lain-lain.
Semua itu, sambungnya,
memiliki garis merah,
yakni berkaitan dengan ekonomi.
"Orientasi material
atau kesejahteraan secara ekonomi menjadi isu mendasar dalam masyarakat kita,
apalagi dalam situasikrisis/pandemi seperti ini," sambung Ida.
Untuk mengatasi hoaks di
masyarakat, kata dia, pejabat publik sangat berperan penting untuk
mengontrolnya lewat edukasi kepada warga.
Abai Cek dan Ricek
Dalam kasus Akidi, Hamid
meyakini, pejabat publik bersangkutan telah abai melakukan
konfirmasi dan penelusuran sebelum dengan bangga memublikasikannya
kepadapublik, termasuk lewat media masa.
Padahal, menurut dia, negara memiliki sumber daya yang mumpuni untuk
menelusuri kebenaran sumbangan itu.
Banyak cara yang dapat dilakukan
untuk memastikan uang yang akan disumbangkan benar-benar nyata sebelum
membeberkannya kepada masyarakat luas.
"Kan gampang sekali mengeceknya. Pertama, melalui transaksi di PPATK. Kan uang Rp 100
ribu saja bisa terdeteksi di situ.
Kedua,
kroscek dengan pajaknya, ya toh?"
kata Hamid.
Sosiolog dari
Universitas Andalas,
Indradin, menilai,
apa yang terjadi pada perkara keluarga Akidi Tio di Sumsel itu menunjukkan
kondisi negara yang sudah terkuras anggarannya untuk penanganan pandemi,
sehingga pejabat publik,
sampai sebagian masyarakat,
ada saja yang percaya bila muncul orang
yang mengaku ingin berdonasigunamembantu.
"Salah pihak
penerima juga,
terlalu lugu, karena jumlah yang fantastis itu rasanya sulit dipercaya untuk
orang Indonesia," kata dia,
saat dihubungi wartawan,
Rabu (4/8/2021).
Namun,
Indradinjuga mengaku heran,
tak ada cek ricek dilakukan institusi Polda Sumsel sebelum rencana pemberian
sumbangan itu digembar-gemborkan secara resmi oleh institusi tersebut.
"Mestinya, jumlah yang fantastis itu, atau dalam tanda petik
tidak masuk akal terjadi di Indonesia,
mestinya ditelusuri dulu sebelum dinyatakan diterima," tambahnya.
"Ini sama saja
dengan percaya takhayul,"
imbuhnya.
Gembar-gembor dana
sumbangan Akidi Tio tersebut
tak lepas dari hasil publikasi Polda Sumatera Selatan (Sumsel) yang dilakukan
saat pengusaha itu menyerahkan "uang" secara simbolis dengan menggunakan styrofoam yang dilapisi kertas
bertuliskan nilai sumbangannya
pada pekan lalu.
Disebut-sebut, Akidi Tio
merupakan teman lama Kapolda Sumsel, Irjen Pol Eko Indra Heri, saat masih bertugas di Aceh.
Kedekatan itu yang
membuat pengusaha asal Langsa ini mau menyumbangkan nilai fantastis untuk
membantu penanganan pandemi.
"Kita sangat
menyesalkan kecerobohan Kapolda Sumsel ini, sehingga tidak hati-hati menerima
sumbangan sosial," kata peneliti
kepolisian dari Institute for Security
and Strategic Studies (ISESS),
Bambang Rukminto,
saat dihubungi wartawan,
Selasa (3/8/2021).
Serupa pernyataan Hamid
sebelumnya, Bambang mengatakan,Irjen
Pol
Eko selaku Kapoldamemiliki
sumber daya yang cukup untuk melakukan penelusuran terkait kepastian ada atau
tidaknya uang yang hendak disumbangkan.
Penelusuran perlu juga
dilakukan untuk mengecek latar belakang dari uang bernilai fantastis
itubilamananantinya benar diserahkan sebagai bantuan sosial.
Pasalnya, uang yang
disumbangkan juga harus tak melawan hukum atau didapat secara ilegal.
"Ada Dit Intelkam
yang bisa melacak rekam jejak penyumbang, ada Ditreskrimsus yang bisa meminta
bantuan perbankan untuk melacak ada atau tidaknya uang Rp 2 triliun itu. Semua sumber daya bisa dikerahkan
untuk memastikan uang itu ada atau tidak," ucap Bambang.
Menurutnya, jika
sebelumnya terbukti uang tersebut tak benar-benar ada, peristiwa itu tak hanya
mempermalukan Irjen Eko selaku Kapolda Sumsel secara pribadi, namun mencoret
nama baik institusi Polri.
Bambang menilai, Kapolda dalam perkara ini telah melampaui
kapasitasnya sebagai aparat penegak hukum (APH).
Dia menilai, sosok
jenderal bintang dua itu tak perlu menerima sumbangan yang kemudian memunculkan
masalah baru.
Selain itu, kata dia,
polisi bukan pada tugasnya untuk menerima dana sosial.
"Tupoksi kepolisian
adalah sebagai penjaga Kamtibmas sekaligus penegak hukum. Hal-hal seperti
inilah yang memunculkan konflik kepentingan di kepolisian," jelas Bambang.
Ke depannya, kata dia,
perlu dilakukan pembenahan,
sehingga kepolisian dapat menghindari penerimaan sumbangan-sumbangan sosial
serupa.
Menurutnya, lebih baik
jika hal tersebut diarahkan kepada pihak yang lebih berwenang di Pemerintah
Daerah.
"Kapolri lebih baik
segera menarik Irjen Pol Eko
Indra Heri dari jabatan Kapolda Sumsel,
agar tidak terjadi konflik kepentingan terkait penyelidikan dan
penyidikan," kata dia.
"Sekaligus menjaga
agar tidak ada abuse of power,"
tambahnya.
Sementara itu, HamidAwaluddin, meskipun menyesali tak ada
cek ricek dilakukan Kapolda Sumsel selaku penegak hukum atas janji sumbangan Rp 2 triliun
dari Akidi Tio, dia mencoba berpikir positif.
Menurutnya, pejabat
publik tersebut itu langsung
mempercayai perkataan Heriyanty, selaku putri dari almarhum Akidi Tio, mungkin terbawa euforia dana yang begitu
banyak untuk dapat membantu masyarakat Sumsel di tengah pandemi.
"Niat untuk
membebaskan rakyat dari keterhimpitan, saya melihat dari situ saja," kata
dia, yang kini juga tercatat sebagai salah satu ketua di
Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat
tersebut.
Hamid kini beranggapan
bahwa Heriyanty hanya memanfaatkan momentum pandemi dan kepercayaan pejabat
tersebut untuk menjustifikasi kekayaannya.
Hal itu tak lepas pula
kasus-kasus hukum yang belakangan terkuak, di mana diduga Heriyanty terlilit utang dan terlibat penipuan.
Hal itu pun merujuk pada
kasus di mana Heriyanty dilaporkan ke Polda Metro Jaya, yang lalu
dicabut kemudian oleh pelapornya.
"Dengan dia
mengumumkan begitu, dia ingin meyakinkan kepada orang yang ditipu, "jangan takut
loh, saya banyak uang ini". Dia mau meminjam tangan negara, menjustifikasi.
Itulah Pak Gubernur, itulah Pak Kapolda," kata
Hamid.
Indradin, selaku
sosiolog, juga mencoba melihat dari sisi seperti yang diduga
Hamid: mengenai kesulitan pemerintah tangani
pandemiCovid.
"Menurut saya, kalau yang menerima percaya, itu masuk akal. Pemerintah saat ini sedang
membutuhkan bantuan berbagai pihak, karena keuangan negara terkuras dalam
penyelesaian masalah musibah Corona. Kemudian kejadian ini [keluarga Akidi]
tidak ada yang menyangka kalau palsu, karena jarang terjadi sebelumnya,"
ujar Indradin.
Polda Sumsel Buka Posko Pengaduan Korban Anak Akidi
Tio
Kisah sumbangan Akidi
Tio ini belum usai.
Kepolisian masih
melakukan penelusuran terkait keberadaan uang Rp 2
triliun tersebut.
Bukan hanya itu, Mabes
Polri pun telah mengirim tim internal,
yang terdiri tas Itwasum dan Divpropam,
untuk memeriksa Kapolda Sumsel dan jajaranya terkait dugaan hibah bodong
AkidiTio.
Selain itu, Polda Sumsel
juga membuka posko pengaduan bagi masyarakat yang pernah merasa ditipu atau
menjadi korban Heriyanty.
Sebelumnya,
GubernurSumsel,
Herman Deru, yang hadir saat acara penyerahan simbolis bantuan
dari Akidi Tio melalui Kapolda Sumsel itu, mengaku diundang secara mendadak.
"Saya waktu itu
hanya diundang saja. Kalau saya ditawari, pasti harus dilacak dulu dari mana sumbernya.
Meskipun ada yang mau memberi bantuan, kalau saya tidak akan pernah mau terima,kecuali bentuknya material (barang),"
ungkap Herman, Senin (2/8/2021)
siang.
Selanjutnya, dia meminta
Polda Sumsel mengusut tuntas perkara dugaan penipuan yang dilakukan keluarga
almarhum Akidi Tio karena telah menimbulkan kegaduhan se-Indonesia. [dhn]