WahanaNews.co | Walaupun telah ditetapkan sebagai tersangka, Putri Candrawathi, istri eks Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo, bersikeras dirinya adalah korban pelecehan seksual oleh Brigadir Yosua.
Sedangkan penyelidikan kasus kekerasan seksual yang dilaporkan Putri telah dihentikan polisi.
Baca Juga:
Tersangka Razman Nasution Jalani Tes Kesehatan & Sidik Jari di Bareskrim
Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel mengakui bahwa memang ada potensi kekerasan seksual dalam kasus ini. Namun, ia menggarisbawahi, korbannya tidak mesti perempuan atau Putri Candrawathi. Korbannya bisa jadi laki-laki.
Sejak awal, Reza mengaku mempertanyakan versi kronologis yang beredar mengenai insiden tewasnya Brigadir Yosua di rumah dinas Ferdy Sambo di Duren Tiga, Jakarta Selatan, 8 Juli silam.
Reza pun menyorot narasi alasan pembunuhan yang selalu menyangkut dugaan kekerasan seksual.
Baca Juga:
Jaksa Penuntut Umum Kejari Bireuen Tangani Kasus Pelecehan Seksual Terhadap Anak
"Sejak awal, narasi yang terbangun oleh empat orang semuanya beraroma seks. Apakah ini kontak seks yang sifatnya konsensual, mau sama mau, yang dikemas menjadi perselingkuhan? Ataukah ini merupakan kontak seks yang tidak konsensual?” kata Reza dalam program “Sapa Indonesia Malam” Kompas TV, Senin (29/8/2022).
Terkait klaim Putri, Reza mempertanyakan mengapa Brigadir Yosua bisa nekat melakukan pelecehan seksual di tempat yang bukan menjadi area kekuasaannya, yakni rumah Irjen Ferdy Sambo.
Meskipun Putri kemudian mengubah keterangan bahwa dugaan pelecehan terjadi di Magelang, Reza mempertanyakan keterangan tersebut karena tempat kejadiannya adalah rumah pribadi Ferdy Sambo.
Apabila terjadi kekerasan seksual, Reza menyorot peta relasi kuasa dalam kasus tersebut. Menurutnya, di kediaman Ferdy Sambo, Putri memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding ajudan komandannya.
“Sekarang kita bayangkan, baik itu di Duren Tiga maupun di Magelang, kira-kira hitung-hitungan di atas kertas, siapa yang dominan? Siapa yang submissive (tunduk)?” kata Reza.
“Saya tidak membayangkan bahwa seorang brigadir berada dalam posisi yang superior. Demikian, kalau kita terapkan teori relasi kuasa, justru kemungkinan yang terjadi adalah pelecehan seksual, di mana korbannya adalah laki-laki, pelakunya adalah perempuan,” lanjut lulusan Universitas Melbourne Australia tersebut.
Meskipun demikian, Reza mengakui bahwa dugaan kekerasan seksual dalam kasus ini akan sulit dibuktikan karena Brigadir Yosua telah meninggal dunia.
Reza pun menambahkan, dibanding motif pembunuhan, berlangsungnya pembunuhan berencana Brigadir Yosua lebih penting untuk terungkap di pengadilan.
Untuk itu, ia berharap rekonstruksi kasus pembunuhan pada Selasa (30/8) besok akan membawa titik terang karena para tersangka akan dikonfrontasi keterangannya.
"Saya berharap proses rekonstruksi besok berbuah manis, karena penyusunan BAP hampir bisa dipastikan sepenuhnya mengandalkan daya ingat manusia, daya ingat si terperiksa, termasuk PC (Putri Candrawathi). Psikologi berpandangan daya ingat manusia rentan sekali mengalami fragmentasi, terpecah-belah, dan rentan juga mengalami distorsi, belok kanan belok kiri,” kata Reza.
“Dengan adanya rekonstruksi di TKP, apalagi kemudian dikonfrontasi dengan sesama tersangka atau saksi-saksi lain, maka diharapkan ini bisa mengoreksi atau mengonfirmasi ingatan-ingatan yang sudah disampaikan dalam penyusunan BAP,” lanjutnya.
Dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Yosua, Putri Candrawathi menjadi tersangka usai diduga terlibat mengikuti skenario Sambo untuk menutup-nutupi kasus.
Putri bersama Sambo pun turut menjanjikan uang kepada tersangka lain, yakni Bharada Richard Eliezer senilai 1 milyar rupiah dan Bripka Ricky Rizal serta Kuat Ma’ruf masing-masing 500 juta rupiah. [rin]