WahanaNews.co | Ketua
KPK Firli menyampaikan potensi terjadinya kecurangan atau fraud terkait
pelaksanaan vaksin berbayar.
Baca Juga:
Soal OTT Capim KPK Johanis Tanak dan Benny Mamoto Beda Pandangan
"Saya menyampaikan materi potensi fraud mulai dari
perencanaan, pengesahan, implementasi dan evaluasi program," kata Firli
dalam keterangannya, Rabu (14/7/2021).
Dalam rapat tersebut, Firli menyampaikan saran strategis
untuk menyikapi potensi terjadinya fraud jika vaksinasi mandiri dilaksanakan
berbayar ke masyarakat serta vaksinasi selanjutnya. Meski, tidak memiliki
kapasitas mengintervensi pembuat keputusan, Firli menyampaikan saran tersebut
untuk mencegah terjadinya korupsi.
"Saya ingin memastikan tidak ada korupsi. Sehingga saya
tidak memasuki domain kementerian. Tetapi, kemarin saya sudah memberikan
masukan, latar belakang, regulasi, dasar hukum, kerawanan fraud di tiap tahapan
(perencanaan, pengesahan, implementasi, dan evaluasi pengawasan). Kerawanan
terjadi fraud, dan langkah yang perlu dilakukan. Semua telah sampaikan,"
kata Firli.
Baca Juga:
Korupsi APD Kemenkes, KPK Ungkap Satu Tersangka Beli Pabrik Air Minum Kemasan Rp60 Miliar
KPK, kata Firli memahami permasalahan implementasi vaksinasi
saat ini sekaligus mendukung upaya percepatan vaksinasi.
Namun, KPK menilai penjualan vaksin gotong royong kepada
individu melalui Kimia Farma berisiko tinggi dari sisi medis dan kontrol
vaksin, meski telah dilengkapi Peraturan Menteri Kesehatan. Salah satunya
lantaran potensi munculnya reseller.
"Sebab efektifitas rendah dan jangkauan Kimia Farma
terbatas," katanya.
Dikatakan, perluasan penggunaan vaksin gotong royong kepada
individu direkomendasikan hanya menggunakan vaksin gotong royong dan tidak
boleh menggunakan vaksin hibah baik bilateral maupun skema Covax. Selain itu,
perlu dibukanya transparansi data alokasi dan penggunaan vaksin gotong royong
secara rinci (by name, by address dan badan usaha).
Kemudian, kata Firli, pelaksanaan vaksin gotong royong
kepada individu hanya dapat melalui lembaga/intitusi yang menjangkau
kabupaten/kota, seperti rumah sakit swasta seluruh Indonesia atau Kantor
Pelayanan Pajak.
Hal ini lantaran Kantor Pajak memiliki database wajib pajak
yang mampu secara ekonomis atau lembaga lain selain retail seperti Kimia Farma.
"Perbaikan logistik vaksin untuk mencegah vaksin
mendekati kadaluarsa dan distribusi lebih merata," katanya.
Lebih jauh Firli mengatakan, sesuai Perpres Nomor 99 Tahun
2020, Menkes diperintahkan untuk menentukan jumlah, jenis, harga vaksin, serta
mekanisme vaksinasi. Kemudian, perlu dibangun sistem perencanaan, pelaksanaan,
pengawasan dan monitoring pelaksanaan vaksin gotong royong secara transparan,
akuntabel dan memastikan tidak terjadinya praktik-praktik fraud.
"Jangan ada niat jahat untuk melakukan korupsi,"
tegas Firli.
Ditekankan, data merupakan kata kunci dalam pelaksanaan
vaksin gotong royong. Untuk itu, Kementerian Kesehatan harus menyiapkan data
calon peserta vaksin sebelum dilakukan vaksinasi.
Dalam kesempatan ini, Firli menekankan KPK tidak mendukung
pola vaksin gotong royong melalui Kimia Farma karena efektifitasnya rendah
sementara tata kelolanya beresiko.
KPK, kata Firli mendorong transparansi logistik dan
distribusi vaksin yang lebih besar.
"Sebelum pelaksanaan vaksin mandiri, Kemkes harus
memiliki data peserta vaksin dengan berbasis data karyawan yang akuntabel dari
badan usaha, swasta, instansi, lembaga organisasi pengusaha atau
assosiasi," katanya. [dhn]