WAHANANEWS.CO, Jakarta - Gerakan nasional untuk menghentikan kebiasaan membuang sampah ke laut dan sungai mendapat dukungan penuh dari Organisasi Relawan Nasional MARTABAT Prabowo-Gibran.
Organisasi ini menegaskan bahwa kampanye penyelamatan lingkungan idealnya tidak berhenti pada imbauan moral, tetapi harus menjadi gerakan sosial yang melibatkan seluruh elemen masyarakat, termasuk organisasi keagamaan, komunitas lokal, dan jaringan relawan di tingkat akar rumput.
Baca Juga:
MARTABAT Prabowo-Gibran Imbau Koperasi Desa Merah Putih Alokasikan Dana untuk Bangun Bank Sampah
Ketua Umum MARTABAT Prabowo-Gibran, KRT Tohom Purba, mengatakan pihaknya menyambut positif momentum nasional yang sedang menguat, termasuk pasca-keputusan MUI yang menetapkan fatwa haram membuang sampah ke perairan.
Menurutnya, langkah MUI tersebut harus diterjemahkan menjadi aksi kolektif yang lebih luas agar perubahan perilaku masyarakat terjadi secara nyata.
“Kami di MARTABAT Prabowo-Gibran melihat persoalan sampah bukan lagi isu lingkungan semata, tapi isu peradaban. Karena itu, semua organisasi masyarakat semestinya berada dalam satu barisan untuk menghentikan kebiasaan membuang sampah sembarangan, terutama ke sungai dan laut,” ujarnya, Minggu (30/11/2025).
Baca Juga:
Berkontribusi Terhadap Lingkungan, ALPERKLINAS Apresiasi Kolaborasi PLN–KLH Bersihkan Sampah dan Tanam Pohon di Kali Ciliwung
Tohom menilai kampanye lingkungan harus disampaikan dengan bahasa yang mudah dipahami masyarakat, sekaligus melibatkan tokoh agama dan tokoh adat agar pesan moralnya lebih kuat.
Menurutnya, dampak sampah di laut dan sungai tidak hanya merusak ekosistem, tetapi juga mengancam kesehatan dan ekonomi rakyat kecil, terutama nelayan dan masyarakat pesisir.
“Ini masalah penyelamatan masa depan. Kerusakan lingkungan tidak pernah netral; yang paling menderita adalah kelompok paling lemah secara ekonomi,” kata Tohom.
Tohom yang juga Pengamat Energi dan Lingkunganini menambahkan bahwa kerusakan perairan akibat sampah plastik telah menjadi ancaman serius ketahanan pangan laut Indonesia.
Ia menyebut plastik mikro dan limbah rumah tangga yang terus masuk ke sungai menyebabkan kualitas air menurun dan ekosistem terancam punah.
“Persoalan ini bukan hanya soal kebiasaan buruk, tapi soal kurangnya kolaborasi antarorganisasi. Kalau MUI sudah mengeluarkan fatwa, maka ormas-ormas lain harus menjadikannya landasan bersama untuk mendorong gerakan sosial berskala nasional,” tutur Tohom.
Ia memandang bahwa kampanye anti-sampah harus bergerak dari berbagai penjuru: dari masjid, gereja, dan rumah ibadah; dari sekolah dan kampus; hingga komunitas pesisir dan pedesaan.
Inilah bentuk baru gerakan lingkungan yang tidak hanya berbasis regulasi, tetapi juga berbasis nilai moral, spiritual, dan kepedulian sosial.
“Kita perlu menciptakan budaya baru: budaya membuang sampah pada tempatnya sebagai bagian dari akhlak publik. Ini bukan sekadar program kebersihan, tetapi pendidikan karakter bangsa,” tegasnya.
Tohom mengungkapkan perlu ada edukasi publik dan kampanye media sosial untuk mempercepat perubahan perilaku masyarakat. Menurutnya, gerakan lingkungan tidak boleh terpisah dari gerakan sosial.
“Selama sampah masih dibuang ke sungai dan laut, maka kita sedang merusak rumah kita sendiri,” pungkasnya.
[Redaktur: Rinrin Khaltarina]