WahanaNews.co |
Bersama Anwar Kongo dan Pendi Keling, Sahara Oloan Panggabean alias Olo
Panggabean dikenal sebagai sosok "orang kuat" di Medan, Sumatera Utara.
Dulu, mereka sempat bersama-sama bergabung di dalam
satu organisasi masyarakat, Pemuda Pancasila.
Baca Juga:
Medan Masuk Daftar 15 Kota Termacet di Dunia, Ini Respons Bobby Nasution
Namun, pada 28 Agustus 1969, bersama sahabatnya,
Samsul Samah, Olo keluar dan membentuk Ikatan Pemuda Karya (IPK).
Perpisahan Olo dengan Anwar Kongo secara organisasi
itu bukanlah dipicu oleh konflik atau perseteruan, melainkan semata-mata demi
mengejawantahkan perbedaan kepentingan politiknya, sehingga masing-masing tokoh
memiliki wilayah kekuasaan yang berbeda.
Lantas, seperti apa sesungguhnya figure Olo Panggabean
tersebut?
Baca Juga:
Bobby Nasution Luncurkan 60 Bus Listrik, Transportasi Medan Makin Modern!
Sekitar tiga tahun silam, tepatnya di penghujung tahun
2017, cucu Olo Panggabean, Chris Panggabean, berkisah seputar jejak langkah sang
Opung dan menyampaikan perasaannya sebagai bagian dari anggota keluarga
tokoh masyarakat paling berpengaruh di Medan itu.
Menurut Chris, sejak kecil ia dipaksa
belajar membedakan antara fiksi dan kenyataan, terutama bila sudah menyangkut
cerita seputar Opung-nya tersebut.
Kawan sekelas,
tetangga, atau kerabat jauh, pernah bilang bahwa kakeknya itu adalah tokoh gangster.
Kenapa? Sebab,
Olo dinilai adalah pemimpin organisasi pemuda yang anggotanya lebih sering
pamer kekuatan di jalanan, serta kerap ikut serta apabila sedang ada hajatan
politik di Medan dan sekitarnya.
Itu baru cerita
dari satu versi. Kalau merujuk pada kabar burung lainnya, Olo pun kerap disebut
sebagai kriminalis kelas berat, pengusaha judi, kepala jaringan penagih utang,
dan macam-macam seliweran rumor lainnya.
Cerita tadi
beredar begitu liar, karena Olo lebih dikenal berkat reputasinya, namun tak
banyak orang yang punya akses untuk mengenalinya dengan sangat dekat.
Jadi, bisa dibayangkan,
seperti apalah perasaan Chris mendengar ragam cerita miring soal opung-nya
tersebut.
Meski
demikian, ada pula kawan atau kenalan Chris yang percaya bahwa Olo adalah
seorang pengusaha sukses.
Lebih dari
itu, sang opung pun dianggap beberapa orang sebagai filantropis yang
sangat sayang pada keluarga.
Nyaris semua
keluarga besar Olo Panggabean diajak tinggal di kediamannya yang mewah dan
dikenali banyak orang seantero Kota Medan, berjuluk Gedung Putih.
Chris ingat,
betapa ia merasa senang bisa tinggal dekat Opung. Apalagi, Olo sering
mengajak keluarganya pelesiran.
Ia yakin,
biaya pelesiran ini tak sedikit. Soalnya, dalam setahun, keluarga besar Olo
Panggabean bisa jalan-jalan enam kali ke Malaysia, Singapura, atau Australia.
Tidaklah mengherankan kalua kemudian
Chris tumbuh, sejak kecil hingga remaja, dengan mendengar
macam-macam rumor tadi. Dan, dia belajar tak memasukkannya dalam hati.
Tapi, ada satu
rumor yang mengganjal baginya. Rumor yang membuat imajinasinya menyala-nyala.
Yakni,
perkataan beberapa kenalan kalau Olo adalah lelaki sakti. Berkat kesaktian
itulah, kata mereka, Olo didapuk menjadi tokoh pemuda di Medan.
Konon, tubuh
sang opung kebal bacokan, mau pakai kelewang ataupun katana paling tajam
sekalipun.
Khusus untuk rumor
yang satu ini, Chris biasanya akan meresponsnya dengan tertawa keras sekali.
Sebab, sewaktu
masih kecil, Chris sempat percaya bila kulit Olo memang tak akan mempan digores
benda tajam.
"Waktu
kami sudah dewasa, kami sadar bahwa semua itu ternyatabullshit,"
kata Chris, sambil tertawa.
"Dia cuma
sangat pintar mengatur strategi, dan diabusinessmanyang
pandai. Dia tidak punya ilmu kebal," tegasnya.
Faktanya, apa
yang disangkakan terhadap Olo itu nyaris semuanya benar --kecuali rumor soal
badannya yang kebal tadi.
Olo memang memiliki
reputasi sebagai preman. Dia dituduh melakukan pemerasan, menarik uang
keamanan, dan menjalankan usaha yang bertumpu pada imej seram tersebut.
Dualisme sosok
Olo inilah --jadi preman yang luwes terjun di dunia politik dan kemasyarakatan,
sambil terus menyandang cap sebagai sosok disegani-- yang membuatnya menjadi
legenda di antara "tokoh-tokoh pemuda" Indonesia lain.
Penduduk Ibu
Kota mungkin rutin mendengar nama besar John Kei atau Hercules, yang sudah
menyerupai mitos.
Namun, dua
nama besar "tokoh pemuda" di Jakarta tadi tak menduduki posisi yang sentral
dalam konsolidasi kekuasaan Ibu Kota --sebab masih ada pemerintah pusat di
Jakarta.
Sementara di
kota-kota yang lebih kecil, preman bisa menajamkan pengaruh dengan lebih
bertaji.
Sama seperti
Gun Jack di Yogyakarta, Olo Panggabean adalah sosok orang kuat dengan reputasi
bak selebritas, disegani kawan maupun lawan.
Sosok seperti
Olo adalah objek pengamatan Ian Wilson, peneliti dari Asia Research Centre,
Murdoch University.
Akademisi ini
bertahun-tahun mendalami relasi gangster dan politik di Indonesia.
Seperti diketahui,
preman berakar dari kata Bahasa Belanda, vrjiman (artinya orang bebas).
Wilson
menjelaskan, kebebasan itu bukan berarti sekadar leluasa membikin onar atau
menjalankan organisasi kriminal.
Bebas pada era
kolonial artinya tidak harus menjalani kerja paksa, sebab mereka memiliki modal
lain di mata penguasa Belanda, yakni modal mengendalikan massa, pengaruh
terhadap masyarakat.
"Jadi,
sejak dulu, preman selalu berada dalam kontradiksi. Orang yang bebas dari
tekanan norma sosial, tapi juga menjadi pengatur norma bagi masyarakat lainnya.
Karena itu sosok preman akan menjadi alat politik penting bagi rezim yang
berkuasa," kata Wilson.
Medan pun,
dari pengamatan Wilson, merupakan kota menarik, karena peran sentral ormas
dalam kehidupan sehari-hari.
Di Medan,
preman seperti Olo terlibat aktif dalam kancah politik lokal. Ormas yang
dikuasai Olo atau Anwar Kongo sudah menyerupai kelompok paramiliter yang siap
memihak partai tertentu.
Preman-preman
ini akan bertugas mengorganisir demo, mengumpulkan dukungan bagi tokoh politik
tertentu, hingga mengamankan lokasi kampanye politik.
"Sepengamatan
saya di Medan, banyak sekali sosok yang sekarang berkuasa di parlemen atau
masuk ke struktur partai, punya latar belakang dunia preman, terutama yang
sifatnya organisasi kepemudaan," kata Wilson.
"Di
berbagai budaya, kita kerap menganggap dunia gangster dan politik tidak
sepatutnya bercampur jadi satu. Namun, hubungan keduanya di Indonesia tidak
hitam-putih seperti itu, jauh lebih rumit, bahkan sudah biasa bila preman
mengambil peran aktif dalam politik," imbuhnya.
Tak salah bila
mengasumsikan premanisme gaya "orang kuat" seperti dijalankan Olo merupakan
wujud khas struktur politik modern Indonesia.
Lantas,
bagaimana Olo bisa menjadi begitu legendaris? Seperti apa Olo dalam kehidupan
sehari-harinya?
Chris
bercerita, Olo tumbuh besar di Petisah, lingkungan di pusat Kota Medan yang
disebutnya sebagai ghetto. Di sanalah Olo mengasah bakatnya mencari
penghasilan di jalan.
Menginjak usia
kepala dua, Olo sudah punya penghasilan yang lumayan dari jasanya mengamakan
beragam usaha sekitaran Jalan Sekip.
Di usia semuda
itu, Chris bilang opung-nya memiliki pasukan yang bisa dikerahkan kapan
saja terjadi kericuhan di daerah kekuasaannya.
Nama Olo naik
tingkat, dari penguasa jalanan menjadi sosok penting percaturan politik lokal,
setelah mendirikan ormas kepemudaan.
Lewat ormas
itu, Olo melakukan penggalangan dana bagi kandidat anggota DPR, sembari
melakukan beberapa aksi sosial.
Berkat
kebiasaan dermawan inilah, Olo, satu dari delapan bersaudara, jadi anak
kesayangan ibunya.
Salah satu
aksi dermawan Olo yang paling terkenal adalah saat membiayai ongkos operasi
pemisahan bayi kembar siam, Angi-Anjeli, di RS Singapura pada 2004.
"Dia suka
menolong siapa saja," katanya.
"Dia enggak
peduli apakah orang politik atau penjual sate. Kalau mereka minta bantuan, dia
pasti bantu," tandas Chris.
Olo juga rajin
menggelar pesta besar-besaran di rumahnya, mengundang musisi untuk bermain ke
rumahnya, dan memborong es krim untuk anak-anak tetangganya.
Opung Chris ini sesekali
membantu beberapa musisi lokal Medan menembus kancah musik nasional dan jadi
seleb betulan.
Menurut Chris,
hubungan Olo dan musisi-musisi itu serupa dengan relasi Don Corleone dan Johnny
Fontane seperti di filmThe Godfather.
Yang pasti,
sosok Olo dianggap positif oleh beragam penganut agama dan kelompok etnis di
Sumut.
Medan adalah
salah satu kota paling majemuk di Indonesia. Sekitar 60 persen penduduk kota
ini adalah kaum muslim, sementara 29 persen lainnya menganut agama Kristen.
Medan juga
dihuni oleh beragam etnis minoritas, termasuk di antaranya keturunan India dan
Cina, yang hidup dan bekerja berdampingan dengan suku Batak, pendatang asal
Jawa, dan suku Minangkabau.
Keragaman juga
mendarah daging dalam keluarga Olo. Sang opung adalah penganut Kristen,
kendati demikian Chris dan ayahnya memeluk Islam.
Menurut Chris,
tak ada yang meributkan soal perbedaan agama dalam keluarga Olo. Malah, mereka
bergantian merayakan hari besar kedua agama.
Olo meninggal
di usia 67, setelah mengidap bermacam komplikasi penyakit, pada 2009. Segenap
warga Medan berduka cita. Ribuan orang datang saat dia dimakamkan.
Chris ingat,
karangan bunga yang diterima keluarga Olo berjajar sampai empat kilometer.
"Dia selalu
bilang kalau kita harus jadi pria sejati," kata Chris.
"Maksud Opung
soal pria sejati itu bukanlah tentang perkelahian. Maksudnya, cowok harus
melindungi pacar dan menjaga keluarganya dengan benar. Saya pengin jadi pria
sejati seperti Opung.But it ain"t easy being that dope," tutur
Chris. [yhr]