WahanaNews.co | Fakta mengejutkan terungkap dari laporan serikat buruh.
Mereka menyampaikan, masih banyak anggotanya yang terkonfirmasi positif Covid-19 dan terpaksa tetap bekerja.
Baca Juga:
PPKM Berakhir Hari Ini, Diperpanjang Lagi Gak Ya?
Ketua Federasi Serikat Buruh Persatuan
Indonesia (FSBPI), Dian Septi Trisnanti, mengatakan, saat ini banyak perusahaan yang
mengubah status buruhnya menjadi pekerja kontrak atau borongan.
Dengan perubahan status itu membuat
pemberian upah buruh sesuai dengan jam kerja harian.
Maka, bila
tidak masuk kerja, mereka khawatir tidak dapat upah.
Baca Juga:
Selama PPKM Darurat, Penerimaan Pajak Kota Bogor Hingga Agustus Baru 30%
Dari situlah para buruh memaksa diri
untuk tetap bekerja, meskipun positif Covid-19.
"Pekerja kontrak dan borongan
akan terpaksa tetap bekerja, meski sakit, karena takut kehilangan upah. Klaster
pabrik sangat agresif, buruh TGSL (tekstil, garmen, sepatu, dan kulit), dalam
dua minggu saja di Cakung, Tangerang, Subang, dan Solo, ribuan
anggota kita terpapar," ungkap Dian, dalam
konferensi pers virtual, Senin (19/7/2021).
Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri
Federasi Serikat Pekerja Tekstil, Sandang, dan Kulit Serikat Pekerja Seluruh
Indonesia (FSP TSK-SPSI), Dion Wijaya,
mengatakan, perubahan status pekerja banyak dilakukan perusahaan kepada buruh
sejak Omnibus Law UU Cipta Kerja
disahkan.
"Dengan status itu, maka semakin tertekan para pekerja garmen, khususnya
pekerja perempuan. Dengan status begitu, meski
mereka terpapar, mereka terpaksa kerja, karena dengan status itu mereka khawatir nggak dapat upah," kata Dion, dalam
diskusi yang sama.
Mirisnya lagi, bila
buruh ketahuan perusahaan terpapar, dia akan diminta pulang untuk isolasi
mandiri.
Namun, buruh tidak mendapatkan
fasilitas apapun dari perusahaan.
"Mereka mungkin bisa bekerja
kalau cuma gejala saja belum dicek, tapi yang terpapar itu kalau ada yang tes
massal disuruh pulang dan isoman. Tapi tanpa ada fasilitas di perusahaan, ini
muncul problem," ungkap Dion.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja
Tekstil, Sandang, dan Kulit Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FSP
TSK-KSPSI), Helmy Salim, menambahkan, sudah
banyak bukti dari laporan buruh di lapangan yang mengaku bila harus isolasi
mandiri di rumah mereka tak mendapatkan upah.
Buruh akan mengambil risiko untuk
tetap bekerja selama gejala Covid-19 belum parah dan memilih untuk
tidak mendeteksinya.
Apabila dinyatakan positif Covid-19 tidak akan melapor kantor.
"Mereka memilih masuklah, mengambil risiko masuk meski sakit, mereka pikir gejala nggak
seberapa, kecuali sudah parah banget baru mereka nggak akan masuk. Sudah
banyak contoh di perusahaan, kalau isoman sama seperti dirumahkan tanpa upah,"
ungkap Helmy.
Buruh juga mengungkapkan bahwa banyak
pabrik tidak patuh aturan PPKM Darurat.
Di mata para buruh, PPKM Darurat tidak berlaku.
Mereka menilai, di
pabrik-pabrik tempatnya bekerja sama sekali tidak menerapkan aturan PPKM
Darurat.
Semua aturan dan protokol kesehatan
tidak ada yang berlaku di pabrik industri tekstil, garmen, sepatu, dan kulit
(TGSL).
Dian mengatakan, banyak pabrik di daerah sentra tekstil masih mempekerjakan
pekerjanya 100%.
Sebagai informasi, dalam aturan PPKM
Darurat untuk sektor industri orientasi ekspor dapat beroperasi dengan
kapasitas maksimal 50% staf di fasilitas produksi/pabrik, serta 10% untuk
pelayanan administrasi perkantoran.
"Pada sektor manufaktur TGSL,
PPKM nyaris tidak berlaku bagi ratusan ribu atau bahkan jutaan pekerjanya. Di
banyak sentra industri sektor ini misal, Cakung, Tangerang, Subang, Sukabumi,
dan Solo, puluhan pabrik masih beroperasi 100%," ungkap Dian.
Dian mengatakan, para pekerja terpaksa untuk tetap bekerja, jika tidak mereka akan
kehilangan pekerjaan.
Para pekerja bahkan harus melakukan
lembur.
Buruknya lagi, protokol kesehatan sama
sekali tidak dilakukan di pabrik.
Untuk hand sanitizer dan fasilitas cuci tangan saja sama sekali tidak
disediakan perusahaan.
Belum lagi beberapa fasilitas seperti
tes Covid-19 berkala ataupun vitamin untuk menjaga imunitas para buruh.
"Jutaan pekerja bekerja penuh
waktu, bahkan melakukan lembur. Mereka bekerja dalam ruang tertutup dan padat,
tanpa alat pelindung diri baik APD, masker, hand
sanitizer, fasilitas mencuci tangan. Tidak ada juga fasilitas kesehatan
memadai seperti klinik, tes Covid-19, atau vitamin penunjang,"
papar Dian.
Pengakuan sama diungkap oleh Ketua
Bidang Perempuan dan Anak Serikat Pekerja Nasional (SPN), Sumiyati.
Menurutnya, selama
ini pabrik-pabrik sama sekali tidak punya sensitivitas terhadap Covid-19.
Dia menilai,
operasional berjalan seperti biasa, dan menurutnya pengusaha tak mau mengalah
dengan PPKM Darurat.
"Kami lihat juga beberapa pabrik
operasional berjalan seperti biasa. Mereka nggak mau ngalah dengan PPKM ini,
semua rutinitas seperti biasa. Tidak ada protokol berjalan dengan baik,"
ungkap Sumiyati.
Pengadaan hand sanitizer, masker, hingga suplemen vitamin yang seharusnya
didapatkan demi menjaga keamanan, keselamatan, kesehatan kepada para buruh juga
tak pernah diberikan.
Bahkan untuk masker saja, banyak buruh
yang menggunakannya secara berulang.
"Banyak buruh menggunakan masker
berulang dicuci dipakai, karena beban. Vitaminnya juga tidak diminum, karena
tidak disiapkan," kata Sumiyati.
Sumiyati juga menyatakan, harusnya perlindungan pekerja dijamin oleh perusahaan.
Hal itu merupakan amanat UU
Ketenagakerjaan, menurutnya.
"Saya ingatkan lagi UU
Ketenagakerjaan. Dijelaskan pemberi kerja diwajibkan berikan perlindungan
kesejahteraan, keselamatan, dan kesehatan kerja bagi tenaga kerja baik mental
dan fisiknya," ungkap Sumiyati. [dhn]