WahanaNews.co | Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya menegaskan bahwa klaim yang menyatakan semua salam termasuk dalam ibadah adalah tidak tepat.
Menurut Gus Yahya, salam sejahtera yang sering digunakan dalam berbagai tradisi keagamaan tidak selalu dianggap sebagai bagian dari ibadah formal.
Baca Juga:
Kapolres Rohil Siap Ciptakan Pilkada Damai dan Bangun Sinergitas Bersama MUI
“Karena ada klaim bahwa assalamualaikum adalah ibadah, maka diklaim salam yang lain juga ibadah. Padahal tidak ada ibadah itu. Tanya teman-teman Kristen apakah salam sejahtera masuk dalam liturgi (peribadatan Kristen)?” kata Gus Yahya dalam Halaqah Ulama yang diselenggarakan RMI PBNU, di kantor PBNU Jakarta, belum lama ini.
Halaqah tersebut menyikapi fatwa MUI terkait ijtima ulama soal larangan salam lintas agama. Hadir sebagai narasumber halaqah tersebut Rais Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) dan Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla (Gus Ulil).
Gus Yahya menekankan bahwa penggunaan salam dalam pidato atau pertemuan tidak selalu bermakna ibadah, melainkan bisa menjadi tanda kerukunan antarumat beragama.
Baca Juga:
Palu Berzikir: Pemkot Palu Peringati 6 Tahun Gempa, Tsunami, dan Likuefaksi
Gus Yahya menyebut, Paus tidak pernah membuka pidato pakai shalom begitu juga yang lain, makanya timbul pertanyaan, apakah ini mencampuradukkan ibadah atau tidak?
“Saya ajukan pertanyaan, apakah boleh memulai pidato dengan ungkapan yang secara simbolis dimaksudkan untuk menunjukkan kerukunan antarumat beragama?” kata Gus Yahya.
Lebih lanjut, Gus Yahya mengklarifikasi mengenai salam "Namo Buddhaya" yang sering dianggap sebagai ibadah dalam Buddhisme.
Menurutnya, Buddhisme tidak mengenal konsep ibadah dalam pengertian teistik seperti dalam agama-agama lain.
Meditasi adalah praktik utama dalam Buddhisme, bukan penyembahan kepada Siddhartha Gautama, yang hanya dianggap sebagai panutan.
“Jangan dikira orang Buddha menyembah Buddha, enggak. Buddha cuma pemikirannya dianggap panutan oleh para penganut Buddhisme. Jadi kalau dianggap mencampuradukkan ibadah, ibadah apa yang dicampur?” jelasnya.
Gus Yahya juga menyoroti pentingnya perubahan mindset di kalangan ulama dan pemikir Islam soal lintas agama.
Ia menilai bahwa sebagian besar fuqaha masih terpengaruh oleh mindset era Turki Utsmani dan belum sepenuhnya menginternalisasi konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Ke depan ini menjadi krusial lagi karena sekarang ini berbagai aktor yang sangat kuat bertarung melakukan mainstreaming dari gagasan-gagasan agar menjadi mindset dari masyarakat," ungkapnya.
Gus Yahya mengajak semua pihak untuk berpikir jernih dan tidak terjebak dalam upaya mainstreaming yang tidak jelas asal-usulnya sehingga seolah-olah gagasan tersebut merupakan bagian dari fatwa agama.
“Gagasan-gagasan yang asal-usulnya tidak jelas seperti sekularisme dapat menjadi bagian dari strategi mainstreaming yang mempengaruhi tokoh agama dan ulama untuk memberikan persetujuan, sehingga seolah-olah gagasan tersebut merupakan bagian dari agama. Ini sejak lama, dan kita harus berpikir jernih dalam soal itu,” tandasnya.
Sementara itu, Rais Syuriyah PBNU KH Abdul Ghofur Maimoen (Gus Ghofur) berpendapat bahwa persoalan mengenai fiqih adalah persoalan yang rumit sehingga kerap menimbulkan perbedaan pendapat.
“Kalimat assalamualaikum wa rahmatullahi wa barakatuh itu adalah doa, doa yang dalam keputusan MUI itu dianggap ibadah, doa itu ibadah tapi fiqihnya sendiri itu ada persoalan yang rumit,” terangnya.
Gus Ghofur mengatakan, terkait persoalan ayat-ayat mutasyabihat (ayat yang maknanya belum jelas) dalam fiqih, sebaiknya semua pihak menahan diri agar tidak saling mengkafirkan dalam menyikapi perbedaan.
"Perbedaan antara MUI dan Kementerian Agama sebaiknya dianggap biasa saja. Karena dalam MUI dan Kementerian Agama itu hidup dalam satu ruang yaitu pemerintah. Kita bisa mencontoh perbedaan Fatwa Al-Azhar dan Arab Saudi dalam hal ini. Al-Azhar lebih longgar dalam memberikan fatwa dibandingkan pemerintah Saudi," pungkas Gus Ghofur.
Adapun Gus Ulil menegaskan bahwa salam lintas agama yang diucapkan saat seseorang berpidato adalah wujud dari upaya memupuk persaudaraan kebangsaan
Gus Ulil menyebut bahwa persaudaraan kebangsaan atau ukhuwah wathaniyah merupakan salah satu dari trilogi ukhuwah (persaudaraan) yang dikemukakan Rais Aam PBNU 1984-1991.
"Salah satu cara untuk memupuk persaudaraan kebangsaan dunia kebijakan yang ditempuh oleh negara adalah mengadakan salam lintas agama,” ungkap Gus Ulil.
Gus Ulil juga menekankan pertimbangan mengenai bentuk negara. Ia mengatakan, jika seseorang sudah menerima bentuk negara maka harus juga menerima konsekuensinya dalam hidup bernegara.
"Nah, bagi saya, kita punya hajat di Indonesia ini, yaitu hajat kita memupuk persaudaraan kebangsaan, ukhuwah wathaniyah. Yaitu mengucapkan salam, memang salam yang dibicarakan dalam kutipan Al-Qurthubi tadi itu salam 'asalamualaikum' tetapi salam lintas agama itu kan kalau mau diteliti satu persatu ya intinya salam,” terang Gus Ulil.
Gus Ulil juga mengungkapkan bahwa sebagian besar para ulama IsIam dan para tokoh di dunia IsIam juga menerima berbagai konsekuensi dari diterimanya bentuk negara bangsa (nation state).
“Konsekuensinya antara lain yang paling penting adalah menyangkut kedudukan hukum fiqih bukan syariat, bukan kedudukan hukum fiqih di dalam negara bangsa,” tambahnya.
Namun, Gus Ulil juga menjelaskan bahwa tidak semua hal yang disahkan oleh negara ini sudah pasti sah. Sebab, umat Islam juga bisa saja menawar apabila kebijakan-kebijakan yang diputuskan ada yang berlawanan dengan ajaran-ajaran Islam.
[Redaktur: Zahara Sitio]