WahanaNews.co | Hingga
saat ini Indonesia belum bisa lepas dari penarikan utang. Bahkan untuk tahun depan,
pemerintah ada niatan menambah utang lagi sebesar Rp 973,58 triliun.
Baca Juga:
Bersama Timpora Kantor Imigrasi, Pemerintah Kota Bekasi Siap Awasi Pergerakan Warga Asing
Rencana utang itu tertuang dalam Rancangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2022. Angka rencana penarikan utang itu
memang lebih rendah 5,2 persen dibandingkan outlook APBN 2021 sebesar Rp 1.026,98
triliun.
"Kebutuhan pembiayaan utang akan dipenuhi secara
pragmatis, oportunistik, fleksibel dan prudent dengan melihat peluang di pasar
keuangan," bunyi informasi dalam Buku II Nota Keuangan Beserta Rancangan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022.
Buku itu merinci sebagian besar pembiayaan utang akan
dipenuhi dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) neto. Totalnya, Rp991,3
triliun.
Baca Juga:
Menko Marves Sebut Prabowo Umumkan Susunan Kabinet 21 Oktober
Rencana penerbitan SBN itu naik dari outlook APBN 2021 yang
Rp992,8 triliun. Selain penerbitan SBN, pemerintah juga akan mencari pinjaman
baik dalam negeri maupun luar negeri.
Sejumlah ekonom sepakat Indonesia memang masih membutuhkan
pembiayaan utang guna menambal defisit anggaran tahun depan yang diproyeksi
mencapai Rp868 triliun atau 4,85 persen dari PDB . Namun sejatinya, target
rencana penarikan utang sebenarnya masih bisa dikurangi.
Alternatif yang mereka sampaikan adalah dengan menekan
pos-pos belanja bersifat birokratis, konsumtif, serta non prioritas.
Target Pembayaran
Bunga Utang Naik Jadi Rp 405 T pada 2022
"(Target penarikan utang) masih bisa direduksi lagi.
Masih bisa dilakukan penyesuaian lagi, sehingga beban utang bisa lebih rendah,
masih ada waktu kan. Mulai dari pengaturan defisit APBN kemudian belanja yang
dianggap tidak urgent (penting) itu masih ada ruang," ujar Ekonom Center
of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira Adhinegara kepada
CNNIndonesia.com, Selasa (17/8).
Ia memperkirakan prioritas penggunaan anggaran dalam APBN
2022 kemungkinan besar masih terkuras untuk sektor kesehatan dan pemulihan
ekonomi nasional (PEN).
Karenanya, belanja non prioritas seperti infrastruktur
sebaiknya dipangkas. Tahun depan, pemerintah mengalokasikan anggaran
infrastruktur sebesar Rp384,77 triliun.
Selain itu, Bhima melihat masih ada ruang pemangkasan
anggaran dari belanja pegawai dan barang. Dalam RAPBN 2022, belanja pegawai
dari seluruh K/L disiapkan sebesar Rp266,41 triliun dan belanja barang K/L
Rp336,03 triliun.
Apabila dijumlahkan, anggaran kedua belanja itu mencapai
31,09 persen dari total belanja pemerintah pusat yang Rp1.938,3 triliun.
Dalam beberapa tahun terakhir, ia menuturkan kedua pos
belanja itu mendapat jatah paling besar. Selain keduanya, alokasi prioritas
belanja pemerintah adalah pembayaran bunga utang, yang ditargetkan naik 10,65
persen menjadi Rp405,9 triliun pada 2022 mendatang.
"Mau tidak mau pemerintah harus menyesuaikan dari sisi
belanja, khususnya belanja birokrasi ditekan. Misalnya, kenaikan gaji ASN
sebaiknya ditunda dulu biar belanja pegawai lebih hemat. Lalu, Rp384 triliun
dialokasikan untuk infrastruktur, itu sebaiknya bisa ditunda dulu
sebagian," ujarnya.
Ia mengatakan langkah itu perlu dilakukan pemerintah karena
ada beberapa risiko yang dikhawatirkan terjadi jika penarikan utang tidak
diimbangi dengan pengelolaan secara prudent. Risiko pertama, tambahan utang
berpotensi menjadi beban bagi perekonomian, alih-alih menggerakkannya.
Kemenkeu Siapkan Rp 266
Triliun untuk Gaji PNS 2022
Tanpa pengelolaan yang prudent, kenaikan utang yang tidak
diimbangi kemampuan bayar hanya akan mengerek beban pembayaran bunga utang.
Konsekuensinya, ruang fiskal semakin sempit sehingga pemerintah tidak memiliki
banyak ruang untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian anggaran apabila terjadi
gejolak.
"Ini yang cukup dikhawatirkan sehingga bisa mengarah
bagi overhang, artinya utang bukan lagi menjadi leverage bagi perekonomian,
tapi justru bisa turunkan potensi pertumbuhan ekonomi. Sebab, lebih berat bayar
bunga utang dan belanja yang sifatnya konsumtif," ujarnya.
Kedua, risiko global yang membayangi ekonomi dalam negeri
tahun depan. Risiko itu berbentuk pengetatan kebijakan moneter AS (tapering off).
Infografis Alokasi Belanja Negara yang Digelontorkan Jokowi
di RAPBN 2022. (CNNIndonesia/Basith Subastian).
Kebijakan itu diprediksi meningkatkan risiko di pasar
keuangan karena modal bisa mengalir kembali ke negara maju apabila terjadi
gejolak.
Dengan posisi utang yang mayoritas penarikannya dilakukan
dalam bentuk SBN, ini cukup berisiko. Apalagi, tahun depan, pemerintah
menargetkan pembiayaan utang bersumber dari SBN (neto) Rp991,3 triliun.
Menurutnya, pemerintah lebih memilih penerbitan SBN untuk pembiayaan
utang lantaran penggunaan dananya lebih fleksibel. Hal ini berbeda dengan utang
dari pinjaman multilateral atau bilateral yang alokasinya spesifik untuk
program tertentu, memiliki disiplin fiskal ketat, serta proses lama.
"Semakin dominan SBN ini imbasnya adalah akan lebih
riskan pada stabilitas moneter dan keuangan. Sebab, ketika kepemilikan asing
mengalami penurunan tajam karena gejolak eksternal tadi, ini akan memicu
gangguan pada nilai tukar rupiah," ujarnya.
Selain itu, ia mengatakan tingkat suku bunga SBN lebih
tinggi ketimbang pinjaman bilateral dan multilateral. Oleh sebab itu, ia
mengusulkan agar pemerintah mencoba alternatif pembiayaan defisit anggaran dari
sumber non utang.
Salah satunya, kata Bhima, adalah dana filantropis dalam
negeri.
"Dalam situasi pandemi, jumlah orang kaya di Indonesia
tambah 65 ribu orang. Mereka seharusnya didorong membentuk dana filantropis
untuk pemulihan ekonomi dan penanganan pandemi," ujarnya.
Sejalan dengan itu, pemerintah mau tidak mau harus mendorong
penerimaan pajak secara tepat sasaran. Dalam arti, pungutan pajak tidak hanya
menyasar wajib pajak yang patuh, tetapi meningkatkan kepatuhan dari wajib pajak
badan maupun individu lainnya yang masih rendah.
Sepakat, Ekonom Institute for Development of Economics and
Finance (Indef) Nailul Huda menilai masih ada ruang untuk melakukan refocussing
anggaran. Dengan demikian, jumlah utang pun bisa ditekan.
Mengamini pernyataan Bhima, ia menyatakan pemerintah
sebaiknya memangkas anggaran infrastruktur tahun depan karena dianggap belum
prioritas.
"Maka memang sangat penting refocusing anggaran
dilakukan saat ini. Ruang untuk refocusing ini sangat terbuka. Alokasi
infrastruktur, perjalanan dinas, dan sebagainya masih bisa digunakan untuk
penanganan pandemi," tuturnya.
Selain refocusing anggaran, ia menuturkan pemerintah bisa
mengoptimalkan penggunaan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) maupun saldo
anggaran lebih (SAL) dari APBN. Sebetulnya, langkah ini sudah direncanakan oleh
Menteri Keuangan Sri Mulyani untuk mengurangi kebutuhan penarikan utang di 2021
sebesar Rp150,8 triliun.
"Masih terdapat sisa anggaran yang artinya uang tidak
digunakan sepenuhnya. Patut dipertanyakan penganggaran di APBN ketika ada SiLPA
kita malah utang," ujarnya.
Menurutnya, permasalahan utang tidak bisa dianggap enteng.
Apalagi, defisit keseimbangan primer semakin lebar, akibat pandemi covid-19.
Keseimbangan primer adalah selisih dari total pendapatan
negara dikurangi belanja negara di luar pembayaran bunga utang. Keseimbangan
primer bernilai negatif atau mengalami defisit jika total pendapatan negara
lebih kecil daripada belanja negara di luar pembayaran bunga utang.
Nailul mengatakan defisit keseimbangan primer
mengindikasikan bahwa untuk membayar utang, pemerintah harus menarik utang
baru, alias gali lubang tutup lubang. Hingga Juni 2021, keseimbangan primer
minus Rp116,3 triliun. Sepanjang tahun ini, keseimbangan primer diprediksi
defisit Rp633,11 triliun.
"Jika masalah utang ini tidak diselesaikan maka bisa
menimbulkan masalah yang pelik, salah satunya ketidakstabilan perekonomian
terlebih apabila utang mendekati jatuh tempo. Bukan tidak mungkin, kejadian
seperti krisis moneter 1997/1998 bisa terulang," ujarnya.
Utang Masih Aman
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal punya
pandangan berbeda. Menurutnya, tambahan utang tersebut masih aman lantaran
masih di bawah batas aman sesuai Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2003 tentang
Keuangan Negara, yaitu 60 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Per Juni 2021 lalu, utang pemerintah pusat mencapai
Rp6.554,56 triliun. Sedangkan, rasio utang terhadap PDB mencapai 41,35 persen
"Sangat aman, karena kita tidak melihat nilai absolut.
Publik selalu salah paham ketika melihat utang Rp6.000 triliun besar. Tapi, kan
dibandingkan PDB itu masih di bawah 40 persen dalam konteks itu sebenarnya
masih ama," ujarnya.
Ia tidak menampik bahwa kenaikan utang memiliki konsekuensi
tambahan pembayaran bunga utang. Namun, menurutnya prioritas dalam jangka
pendek adalah mendorong pemulihan ekonomi dari dampak pandemi covid-19, salah
satunya pemberian stimulus fiskal.
Untuk itu, penarikan utang masih dibutuhkan oleh Indonesia.
Apabila stimulus tidak digelontorkan maka pemulihan ekonomi semakin lambat.
"Prioritas kita sekarang bagaimana yang bermasalah
adalah ekonomi jangka pendek, berarti harus kita tangani segera, kalau tidak
akan lebih bermasalah lagi buat perekonomian. Ada konsekuensi, tapi kan ini
nanti ada intervensi lain tapi kita bicara prioritas," ujarnya.
Dengan pertimbangan itu, ia juga tidak mempermasalahkan
mayoritas sumber utang berasal dari penerbitan SBN. Sebab, apabila hanya
mengandalkan pinjaman multilateral dan bilateral prosesnya akan lama.
Terlebih, semua negara membutuhkan pendanaan akibat pandemi,
sehingga Indonesia masih harus bersaing dengan sejumlah negara lain yang
membutuhkan. Meskipun suku bunganya lebih rendah, namun pemakaian dana pinjaman
tersebut tidak fleksibel. Padahal pemerintah membutuhkan dan untuk menangani
dampak covid-19 dan pemulihan ekonomi.
"Saya rasa tidak ada salahnya ketika pemerintah
menambah SBN karena itu merupakan pilihan yang saya rasa paling rasional,"
ujarnya. [dhn]