WahanaNews.co | Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
mendapati sejumlah temuan saat memeriksa Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) Provinsi DKI Jakarta
tahun anggaran 2020.
Temuan
tersebut terkait dengan adanya pelaksanaan pengadaan masker N95 dan alat rapid
test Covid-19 sebesar Rp 7,04 miliar yang dinilai sebagai pemborosan anggaran.
Baca Juga:
Aktivis LSM Soroti Dugaan Korupsi di Sejumlah Intansi Pemkab Taput
Terkait
hal itu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengeklaim bahwa tidak ada aturan yang
dilanggar dalam pengadaan tersebut.
Harga
barang yang dibeli pun sudah sesuai dengan ketentuan dari pemerintah pusat.
Pemborosan
anggaran dalam pengadaan masker N95 dan alat rapid test Covid-19 itu pun
menjadi sorotan beberapa waktu terakhir.
Baca Juga:
Ternyata Ini yang Membuat Sandiaga Uno Gugat Indosat!
Dua Pemborosan Temuan BPK
Salah
satu pemborosan anggaran yang ditemukan BPK dalam LPKD Provinsi DKI Jakarta
ialah pengadaan masker N95 yang nominalnya mencapai Rp 5,85 miliar.
Tak
sampai di situ, BPK juga menemukan pemborosan anggaran lain berupa pengadaan
alat tes cepat atau rapid test
terkait Covid-19 senilai Rp 1,19 miliar.
Dua
temuan tersebut dituangkan BPK dalam Buku II Laporan Hasil Pemeriksaan atas
Laporan Keuangan Pemda DKI Jakarta Tahun 2020.
"Terdapat pemborosan atas pengadaan respirator
(masker) N95 TA (Tahun Anggaran) 2020 senilai Rp 5.850.000.000," tulis
BPK.
"Pemborosan atas pengadaan rapid test
Covid-19 TA (Tahun Anggaran) 2020 Senilai Rp 1.190.908.000," tulis sub-judul
laporan BPK tersebut.
Pengadaan
masker dan alat rapid test itu
dilakukan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sebanyak dua kali, dengan waktu dan
harga yang berbeda.
Atas
pemborosan itu, BPK meminta Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan,
menegur anak buahnya agar lebih teliti saat membuat pengadaan barang.
"BPK merekomendasikan Gubernur agar
memerintahkan Kepala Dinas Kesehatan untuk menginstruksikan PPK supaya lebih
cermat dalam meneliti data-data pengadaan atas barang yang sama dari penyediaan
lain sebelumnya untuk dipakai sebagai acuan dalam penunjukan langsung,"
tulis BPK.
Klaim Tak Ada Pelanggaran
Wakil
Gubernur DKI Jakarta, Ahmad Riza Patria, mengatakan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah memberikan
penjelasan kepada BPK terkait temuan pemborosan anggaran tersebut.
Dia pun
mengeklaim bahwa BPK sudah mengetahui pengadaan barang tersebut dan menyatakan
tidak ada ketentuan yang dilanggar.
"Iya,
terkait pembelian masker, rapid test,
itu sudah dijawab, dan BPK sudah mengetahui. Itu tidak ada masalah. Tidak ada
ketentuan yang dilanggar," ujar Riza kepada wartawan, Minggu (8/8/2021).
Menurut
Riza, masker dan alat rapid test
Covid-19 yang dibeli Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah sesuai dengan
standar harga yang diatur oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Oleh
sebab itu, Riza menyebutkan bahwa tidak ada aturan yang dilanggar dalam
pengadaan masker senilai Rp 5,85 miliar dan alat rapid test Covid-19 sebesar Rp 1,19 miliar tersebut.
"Harga
yang ada juga sudah sesuai dengan harga dari Kemenkes. Kami mengikuti harga
yang ditentukan oleh pusat melalui Kemenkes. Jadi, sesuai dengan aturan dan
ketentuan yang ada," ungkap Riza.
Terpisah,
Kepala Inspektorat DKI Jakarta, Syaefuloh, menyatakan bahwa temuan BPK tersebut masuk dalam klasifikasi
administratif yang bersifat rekomendasi untuk perbaikan ke depannya.
"Sejumlah
temuan yang ramai diperbincangkan publik kemarin termasuk ke dalam klasifikasi
temuan administratif," ujar Syaefuloh dalam keterangannya, Minggu (8/8/2021).
Klaim Tak Ada Kerugian Daerah
Syaefuloh
juga mengeklaim bahwa tidak ada kerugian daerah dalam temuan pemborosan yang
dimaksud BPK dalam hasil pemeriksaan LKPD Provinsi DKI Jakarta 2020.
Menurut
dia, temuan yang disampaikan itu merupakan rekomendasi BPK kepada pemerintah
daerah untuk melakukan perbaikan administrasi ke depannya.
"Kalau
kita mencermati rekomendasi BPK di dalam LHP-nya, itu tidak ada rekomendasi
untuk menyetorkan. Rekomendasinya bersifat perbaikan sistem ke depan," kata
Syaefuloh.
Temuan
administratif, kata Syaefuloh, tidak berdampak terhadap kewajaran dan opini BPK
mengenai laporan keuangan pemerintah daerah.
Dengan
demikian, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tetap memperoleh opini wajar tanpa
pengecualian dari BPK, lantaran tidak ada kerugian daerah atas temuan
pemborosan anggaran yang dimaksud.
"Pada
pemeriksaan yang dilakukan BPK, pasti terdapat temuan, tidak hanya di Pemprov
DKI Jakarta, tetapi juga di provinsi-provinsi lain dan instansi/lembaga negara
di tingkat pusat," kata Syaefuloh.
Syaefuloh
menambahkan, rekomendasi dari hasil pemeriksaan BPK itu telah ditindaklanjuti
oleh organisasi perangkat daerah (OPD) terkait.
Hal itu
dibuktikan dengan adanya instruksi maupun teguran Kepala Dinas terhadap para Pejabat Pembuat Komitmen
(PPK) untuk lebih tertib administrasi.
"Dari
hasil pembahasan itu, Alhamdulillah, BPK menyatakan bahwa ini sudah selesai
ditindaklanjuti," pungkas Syaefuloh.
Penjelasan Dinkes DKI
Kepala
Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Widyastuti, menyebutkan, temuan audit BPK tentang pemborosan anggaran
pengadaan alat rapid test dan masker
N95 hanya persoalan administrasi.
Widyastuti
berujar, dalam proses pengadaan barang pada 2020 tersebut tidak ditemukan
kerugian negara.
"Itu
kegiatan di tahun 2020 dan sudah dilakukan pemeriksaan oleh BPK dan tidak
ditemukan kerugian negara. Jadi tidak ada kerugian negara, itu hanya masalah
administrasi saja," kata Widyastuti, Jumat (6/8/2021).
Dia
menjelaskan, temuan BPK terkait pemborosan anggaran muncul karena dalam proses
pengadaan kedua, Dinkes DKI memilih barang dengan kualitas sama, tetapi
harganya lebih mahal dibandingkan pengadaan sebelumnya.
Widyastuti
beralasan, pengadaan itu dilakukan untuk menyesuaikan kebutuhan di lapangan.
"Kami
sesuaikan dengan spesifikasi yang diminta dengan masukan dari user," ucap dia.
Untuk
masker N95, jelas dia, usai pengadaan pertama, terdapat berbagai keluhan dari user atau pengguna masker tersebut.
Terlebih
lagi, saat awal pandemi, masker sulit didapatkan.
Sementara
itu, untuk peralatan tes cepat Covid-19, Widyastuti menyebutkan, saat itu belum
ada pengadaan rutin.
"Selain
itu, kondisi saat itu juga terjadi fluktuasi harga dan kami tidak pernah
mengerti. Karenanya, kami meminta pendampingan oleh pemeriksa, Inspektorat,
Kejaksaan, untuk proses di DKI Jakarta saat itu," ucap dia. [qnt]