WahanaNews.co | Bendera pelangi LGBT di kantor Kedutaan Besar Inggris di Jakarta telah memicu protes dari sana-sini.
Namun, sebagaimana kantor kedutaan besar negara lainnya, kantor Kedutaan Besar Inggris di Indonesia juga dilindungi kekebalan diplomatik.
Baca Juga:
Diduga Terlibat LGBT Seorang Polisi di Sulawesi Tenggara Terancam Dipecat
Informasi mengenai pengibaran bendera LGBT di Kedutaan Inggris yang beralamat di Jakarta Selatan itu diketahui lewat informasi via akun Instagram resmi Kedutaan Inggris.
Bendera warna-warni itu dikibarkan dalam rangka hari internasional anti-homofobia pada 17 Mei lalu.
Di sisi lain, wilayah kedubes itu punya kekebalan diplomatik, yakni pembebasan terhadap tuntutan hukum atau kewajiban tertentu dari negara penerima. Hal ini dijamin oleh Konvensi Wina mengenai Hubungan Diplomatik Beserta Protokol Opsionalnya tahun 1961.
Baca Juga:
Mahkamah Agung Rusia Resmi Larang Segala Bentuk Aktivisme LGBT
Indonesia meratifikasi Konvensi Wina 1961 itu dan menjadikannya undang-undang pada 25 April 1982 dan diteken oleh Menteri Sekretaris Negara Sudharmono, disahkan pada 25 Januari 1982 ditandatangani Presiden Soeharto.
Dalam Konvensi Wina, April 1961, yang diratifikasi Indonesia itu, dijelaskan bahwa gedung kedutaan disebut sebagai 'tempat misi', meliputi pula lahan di sekitar lokasi serta tempat tinggal kepala misi diplomatik, terlepas dari siapa pun pemiliknya.
Kekebalan Kedubes
Soal kekebalan tempat misi, termasuk kantor kedutaan besar (kedubes), diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 41.
Ada aturan bahwa tempat misi kebal (imun) dari upaya hukum (terutama Pasal 22 ayat 3). Berikut bunyinya:
Pasal 22
1. Tempat misi tidak dapat diganggu gugat. Agen dari Negara penerima tidak boleh memasuki mereka, kecuali dengan persetujuan kepala misi.
2. Negara penerima berada di bawah tugas khusus untuk mengambil semua langkah yang tepat untuk melindungi tempat misi terhadap gangguan atau kerusakan dan untuk mencegah gangguan perdamaian misi atau penurunan martabatnya.
3. Tempat misi, perabotan mereka dan properti lainnya di atasnya dan sarana pengangkutan misi harus kebal dari pencarian, permintaan, lampiran atau eksekusi.
Pasal 41
1. Tanpa mengurangi hak-hak istimewa dan kekebalan mereka, adalah kewajiban semua orang yang menikmati hak istimewa dan kekebalan tersebut untuk menghormati hukum dan peraturan Negara penerima. Mereka juga memiliki kewajiban untuk tidak ikut campur dalam urusan internal Negara itu.
2. Semua urusan resmi dengan Negara penerima dipercayakan kepada misi oleh Negara pengirim dilakukan dengan atau melalui Kementerian Luar Negeri Negara penerima atau kementerian lain yang mungkin disepakati.
3. Tempat misi tidak boleh digunakan dengan cara apa pun yang tidak sesuai dengan fungsinya misi sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi ini atau oleh peraturan umum lainnya hukum internasional atau dengan perjanjian khusus yang berlaku antara pengirim dan negara penerima.
Namun pakar hukum internasional dari Universitas Indonesia (UI) Profesor Hikmahanto Juwana menjelaskan kedubes suatu negara harus menghormati nilai-nilai moral yang berlaku di negara penerima.
Di Indonesia, LGBT belum bisa diterima. Karena itu, Kedutaan Besar Inggris perlu menghormati norma itu.
"Apa yang dilakukan oleh Kedubes Inggris di atas tentu tidak sesuai dengan fungsi Pasal 3 ayat 1 Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik," kata Hikmahanto kepada wartawan, Sabtu (21/5/2022).
Begini bunyi Pasal 3 ayat 1, Konvensi Wina 1961:
Pasal 3
1. Fungsi misi diplomatik antara lain meliputi:
(a) mewakili Negara pengirim di Negara penerima;
(b) melindungi di Negara penerima kepentingan Negara pengirim dan warga negaranya, dalam batas-batas yang diizinkan oleh hukum internasional;
(c) berunding dengan Pemerintah Negara penerima;
(d) memastikan dengan segala cara yang sah kondisi dan perkembangan di Negara penerima, dan melaporkannya kepada Pemerintah Negara pengirim;
(e) mempromosikan hubungan persahabatan antara Negara pengirim dan Negara penerima, dan mengembangkan hubungan ekonomi, budaya dan ilmiah mereka.[rsy]