WahanaNews.co | Ramai diberitakan Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) masuk dalam daftar salah satu organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan yang mendapatkan jatah Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) dari pemerintah.
Ketentuan Ormas Keagamaan yang mendapatkan WIUPK tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Baca Juga:
PMKRI Pertanyakan Kinerja Ketua KNPI Sorong Selatan
Ketua Presidium PP PMKRI, Tri Natalia Urada mengonfirmasi tidak ada pembicaraan soal penawaran pemerintah dalam pengelolaan tambang dengan PMKRI selama ini.
Jikapun ada penawaran, PMKRI pasti menolak.
“Pertimbangan kami yang paling mendasar adalah, kami tidak mau independensi PMKRI sebagai organisasi mahasiswa terkooptasi dengan kepentingan-kepentingan usaha tambang. Berbagai persoalan yang diakibatkan oleh operasi industri pertambangan akan terus kami sikapi dan kritisi,” kata Tri.
Baca Juga:
Dolfinus Dere Resmi Nahkodai Dewan Pimpinan Cabang PMKRI Sorong Selatan
Jika merujuk pada data dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menunjukkan bahwa saat ini terdapat sebanyak 7.993 izin mineral dan pertambangan (Minerba) dengan luas 10.406.060 hektare.
Alhasil operasi ini berdampak pada kerusakan lingkungan yang panjang dan belum dipulihkan.
Atas nama kemajuan ekonomi, pembukaan lahan skala besar justru mencemari air, udara, dan laut yang berdampak pada terganggunya kesehatan warga, kerusakan pangan lokal, terutama sekitar tapak tambang.
“Jadi jika PMKRI turut terlibat dalam urusan tambang, ini sama halnya kami melestarikan persoalan-persoalan yang ada dan akan sangat paradoks dengan kerja-kerja yang kami lakukan selama ini, yaitu menjaga kedaulatan lingkungan,” tambahnya.
Tri juga menilai, rencana ini juga akan berisiko menimbulkan konflik agraria baru dengan masyarakat dan mempertajam ketimpangan sosial.
Berdasarkan data KPA, sepanjang 2023, tambang menyebabkan 32 letusan konflik agraria di 127.525 hektar lahan dengan 48.622 keluarga dari 57 desa terdampak tambang.
“PMKRI tidak memiliki kapasitas SDM dan teknologi yang mumpuni untuk mengurus tambang. Tetapi sebagai elemen masyarakat sipil, kami memiliki komitmen dan sikap yang konsisten untuk melakukan checks and balances atas berbagai kebijakan yang timpang, teruma terhadap industri-industri ekstraktif seperti tambang,” ungkapnya lagi.
Tri berharap pemerintah menghentikan rencana ini dengan segera merevisi PP Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
[Redaktur: Zahara Sitio]