WahanaNews.co | Terkait rencana kenaikan tarif kereta rel listrik commuter line menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Diketahui, usulan kenaikan tarif KRL commuter line Jabodetabek masih dalam proses pengkajian oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Kenaikan tarif sebesar Rp 2.000 itu merupakan tarif dasar perjalanan 25 kilometer pertama.
Baca Juga:
Maxim Resmi Luncurkan Layanan Bike Express di Kota Palu, Solusi Perjalanan Ojek Online yang Lebih Cepat
Sementara untuk 10 kilometer selanjutnya tetap dikenakan tambahan tarif sebesar Rp 1.000. Dengan begitu, ke depan perjalanan awal dengan KRL untuk 25 kilometer pertama akan dikenakan tarif Rp 5.000, jika sampai 35 kilometer maka tarifnya bakal menjadi Rp 6.000, sampai 45 kilometer bakal menjadi Rp 7.000 dan seterusnya.
Penolakan pengguna KRL Kabar mengenai kenaikan tarif KRL menuai penolakan pengguna setia KRL commuter line.
Fajar salah satu pengguna moda transportasi KRL mengaku berkeberatan dengan usulan kenaikan tarif KRL. Menurut dia, tarif KRL yang murah justru membuat masyarakat ingin menggunakan transportasi umum.
Baca Juga:
Sukses Transportasi PON XXI, Dishub Sumut Bubarkan Tim Pelaksana
"Justru karena harganya murah, kita mau naik transportasi umum. Kalau naik, mending bawa motor pribadi nanti saya," kata Fajar, kemarin.
Senada dengan Fajar, penolakan juga datang dari Dena, warga Tangerang yang biasa menggunakan KRL. Ia menilai, kondisi perekonomian masyarakat yang belum stabil sehingga menolak adanya rencana kenaikan tarif KRL.
"Sekarang harga minyak goreng, cabai lagi pada naik. Masa mau naikkin tarif KRL. Jadi pusing kita," ujar Dena.
Hasil survei YLKI Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, sebagian besar masyarakat setuju dengan adanya rencana kenaikan tarif KRL asal diiringi dengan peningkatan pelayanan.
Hal tersebut berdasarkan survei yang dilakukan oleh YLKI pada Oktober 2021 terhadap 2.000 responden di Jabodetabek dan Rangkasbitung. Terdapat dua aspek penting bagi pemerintah untuk mempertimbangkan kenaikan tarif KRL, yaitu ability to pay (ATP) atau kemampuan untuk membayar dan Willingness To Pay (WTP) atau keinginan untuk membayar.
Dari hasil survei tersebut, ada ruang bagi pemerintah untuk menaikkan tarif KRL menjadi Rp 5.000 pada 25 kilometer pertama. Sedangkan untuk tarif 10 kilometer pertama direkomendasikan agar tidak naik tarifnya.
"Karena aspek ATP-nya lebih rendah daripada tarif eksisting," kata Tulus Abadi dalam keterangannya, Minggu (16/1/2022). Atas dasar tersebut, menurut dia, untuk mengimbangi kenaikan tarif, pemerintah harus meningkatkan pelayanan pada moda transportasi KRL.
"Sebagaimana aspirasi 1.065 responden atau lebih dari 50 persen, agar KAI/PT KCI harus tingkatkan pelayanan," tutup Tulus. [bay]