WAHANANEWS.CO, Jakarta - Tragedi ambruknya bangunan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Khoziny di Sidoarjo, Jawa Timur, pada Sabtu (4/10/2025) seakan menampar kesadaran publik tentang rapuhnya budaya keselamatan konstruksi di Indonesia.
Anggota Komisi V DPR RI dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Sudjatmiko, menegaskan bahwa dari perspektif teknik sipil, runtuhnya sebuah bangunan tidak mungkin terjadi secara tiba-tiba jika perencanaan, perancangan, hingga pelaksanaan pembangunan dilakukan sesuai prinsip standar konstruksi.
Baca Juga:
Ziarah Nasional HUT TNI ke-80, Korem 042/Gapu Tabur Bunga di TMP Satria Bakti Jambi
“Kejadian ini menjadi pelajaran bahwa tidak boleh lagi ada nyawa melayang akibat pembangunan yang dilakukan tanpa perencanaan memadai,” ujar Sudjatmiko, lulusan Sarjana Teknik, dalam keterangannya.
Ia menekankan perlunya perubahan nyata dalam praktik pembangunan pesantren di Indonesia agar peristiwa serupa tidak terulang lagi.
Pria berpengalaman di bidang konstruksi itu juga menyoroti kecenderungan sebagian pihak melabeli ambruknya bangunan sebagai “takdir” atau “musibah alamiah”, padahal dalam banyak kasus penyebab utamanya justru kegagalan konstruksi.
Baca Juga:
Tuduhan Mencuri Ponsel Berujung Tragis, Santri Dibakar di Ponpes Boyolali
Beberapa faktor yang kerap menjadi pemicu antara lain lemahnya perencanaan struktur, penggunaan material di bawah standar, minimnya pengawasan konstruksi, serta ketidaktahuan terhadap kondisi tanah di lokasi pembangunan.
“Tanpa kajian geoteknik, bangunan rentan amblas atau miring sebelum waktunya,” kata Sudjatmiko, menyinggung kondisi tanah di Sidoarjo yang sebagian berupa tanah lunak.
Ia menegaskan bahwa dalam disiplin teknik sipil, kegagalan struktur tidak pernah terjadi begitu saja karena dalam setiap desain sudah ada faktor keamanan (safety factor).
Bahkan jika material lebih lemah atau beban lebih berat dari perkiraan, seharusnya bangunan tetap mampu menahan hingga batas tertentu, sehingga runtuhnya gedung secara mendadak mengindikasikan adanya kesalahan serius sejak tahap awal pembangunan.
Selain itu, ia menekankan bahwa lembaga pendidikan dan keagamaan seperti pesantren menanggung beban sosial besar karena ratusan santri tinggal di asrama, masjid, dan ruang belajar dalam satu kawasan.
“Artinya, setiap kesalahan teknis bukan hanya soal bangunan roboh, melainkan juga soal nyawa manusia yang dipertaruhkan,” tandasnya.
Sudjatmiko kemudian mengingatkan agar tragedi di Ponpes Al Khoziny dijadikan pelajaran penting bagi ratusan ponpes lain di Indonesia yang sedang atau akan membangun fasilitas baru.
Ia pun menyampaikan sejumlah langkah mitigasi, mulai dari kewajiban melibatkan konsultan teknik sipil dan arsitek berizin sejak awal, penerapan standar mutu bahan sesuai SNI 1726:2019, hingga audit kelayakan bangunan yang bisa dilakukan pemerintah daerah bersama asosiasi profesi.
Selain itu, regulasi pembangunan fasilitas pendidikan berbasis komunitas harus lebih tegas, sehingga tidak ada lagi pembangunan tanpa izin mendirikan bangunan, perhitungan struktur, atau pengawasan profesional.
Ponpes juga perlu didampingi agar memahami pentingnya keselamatan konstruksi sebagai tanggung jawab moral dan spiritual.
“Kesadaran itu harus ditanamkan karena keselamatan santri sama pentingnya dengan tujuan pendidikan itu sendiri,” katanya.
Sudjatmiko menambahkan, pemerintah dapat menyediakan dana khusus bagi renovasi dan standarisasi pembangunan pesantren, agar fasilitas belajar yang aman bisa diwujudkan tanpa mengorbankan kualitas.
Menurutnya, hal itu bukan sekadar bantuan teknis, tetapi investasi besar untuk menjaga keselamatan generasi muda Indonesia.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]