WahanaNews.co | Anggota Komisi X DPR RI, Ledia Hanifa Amaliah menyoroti soal maraknya pemberitaan tentang permohonan dispensasi nikah ratusan anak di Ponorogo, Jawa Timur.
Ledia menerangkan, kabar dispensasi nikah yang diajukan 191 anak yang belakangan juga viral di media sosial (medsos) itu baru di Ponorogo. Padahal, di provinsi dan kota-kota lain pun mengalami kasus yang sama.
Baca Juga:
Kementerian PU Siap Hadapi Mobilitas Masyarakat Saat Nataru 2025
"Sebut saja di kota pelajar Yogyakarta, untuk tahun 2022 lalu angkanya mencapai 556 anak. Lalu di dapil (daerah pemilihan) saya Kota Bandung, sampai September 2022 saja sudah ada 125 anak yang terdata mengajukan dispensasi pernikahan. Ini tentu kondisi yang sangat memprihatinkan," ungkap Ledia Hanifa dalam keterangannya, Senin (16/1/2023).
Berdasarkan laporan dari kantor pengadilan agama di berbagai wilayah, lanjut Ledia, angka pengajuan dispensasi nikah anak di Indonesia memang masih tinggi.
Contohnya, selama 2022, Kota Samarinda mencatat 681 ajuan. Lalu, Banda Aceh 507 ajuan, Blitar 489 ajuan, Kabupaten Bojonegoro 486 ajuan, Majalengka 467 ajuan, Kabupaten Batang 380 ajuan, Pekalongan 292 ajuan, Jepara 240 ajuan, Klaten 206 ajuan, Cianjur 177 ajuan, kabupaten Enrekang Sulsel 98 ajuan, Kolaka Utara Sulteng 52 ajuan, dan Lombok Tengah 47 ajuan.
Baca Juga:
Pj Bupati Abdya Sunawardi Hadiri Rapat Kerja dan Dengar Pendapat DPR RI
Ledia Hanifa juga mengingatkan bahwa pernikahan dini punya potensi besar pada muramnya masa depan anak bangsa.
"Pernikahan itu selaiknya kan dipersiapkan dengan sepenuh kematangan. Kematangan fisik, psikis, emosi termasuk ekonomi. Sementara ajuan dispensasi nikah mereka yang masih di bawah umur ini justru abai terhadap hal tersebut. Maka ancaman meningkatnya angka kemiskinan, perceraian, hingga kematian ibu dan bayi membayangi masa depan generasi kita," bebernya.
Apalagi, lanjut Ledia, dua alasan yang paling banyak melatarbelakangi pengajuan dispensasi nikah ini adalah hamil di luar nikah dan alasan keterbatasan ekonomi.
"Alasan hamil di luar nikah ini menjadi tamparan keras bagi kita semua karena menabrak norma agama, budaya, dan Pancasila yang berketuhanan yang maha esa. Artinya, ada persoalan mendasar yang harus diselesaikan, bukan sekedar dengan membahas batas usia pernikahan tapi pada persoalan bagaimana pendidikan agama, pendidikan karakter, pendidikan Pancasila, dan penguatan ketahanan keluarga ternyata tidak terimplementasi dengan baik," jelasnya.
Sekretaris Fraksi PKS ini menegaskan, agar angka pernikahan dini bisa diminimalisasi, upaya preventif harus dikuatkan dan menjadi fokus perhatian bersama antara pemerintah atau pihak eksekutif, legislatif, pendidik, keluarga, dan masyarakat umum.
Menurutnya, pendidikan agama, pendidikan karakter, dan pendidikan Pancasila harus dikuatkan dan disosialisasikan lebih intens tidak hanya kepada pelajar, tapi juga pada guru, orangtua, dan pemuka masyarakat. Pasalnya, kata Ledia, tanggung jawab pendidikan bukan hanya terletak pada pihak sekolah dan pendidik saja.
Selain itu, pergaulan bebas yang membuat anak hamil di luar nikah misalnya bisa jadi bukan semata karena anak salah gaul, tetapi mungkin juga karena orang tua yang abai pada nilai agama atau kurang pengawasan. Begitu juga kepedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitar yang mulai menipis sehingga berpikir yang penting bukan keluarga saya atau pada guru yang sibuk dengan beban tugas mengajar.
"Anak yang hamil di luar nikah itu kan ada progres awalnya, bukan ujug-ujug. Bukan perkosaan, tapi dari intensitas pergaulan yang longgar. Karenanya, ketika kita ingin angkanya bisa diturunkan, preventifnya yang harus ditingkatkan. Bagaimana anak dididik dengan pemahaman agama yang baik, dengan pendidikan karakter Pancasila, termasuk dengan keteladanan dari orang tua, guru, dan orang dewasa di sekitarnya,” tutup anggota legislatif dari dapil Kota Bandung dan Kota Cimahi ini. [sdy]