WahanaNews.co, Jakarta - Kementerian Agama memandang salam lintas agama yang berkembang di kalangan masyarakat sebagai praktik baik (best practice) dalam merawat kerukunan umat beragama.
Salam lintas agama diungkapkan bukan untuk merusak akidah antarumat, melainkan sebagai bentuk kesadaran akan sikap saling menghormati dan toleransi.
Baca Juga:
Kapolres Rohil Siap Ciptakan Pilkada Damai dan Bangun Sinergitas Bersama MUI
Hal ini dinyatakan oleh Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama, Kamaruddin Amin, menanggapi hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII yang berlangsung di Bangka Belitung.
Salah satu hasil dari ijtima ini adalah panduan hubungan antarumat beragama yang dikenal sebagai Fikih Salam Lintas Agama.
Dalam panduan tersebut, disebutkan bahwa pengucapan salam dari berbagai agama dengan alasan toleransi atau moderasi beragama tidak dianggap sebagai bentuk toleransi yang sah.
Baca Juga:
Palu Berzikir: Pemkot Palu Peringati 6 Tahun Gempa, Tsunami, dan Likuefaksi
Dalam Islam, pengucapan salam merupakan doa yang bersifat ubudiah dan harus mengikuti ketentuan syariat Islam. Oleh karena itu, pengucapan salam tidak boleh dicampuradukkan dengan salam dari agama lain.
Pengucapan salam yang berdimensi doa khusus dari agama lain oleh umat Islam dianggap haram. Mengucapkan salam yang mencakup salam dari berbagai agama tidak diakui sebagai bentuk toleransi dan moderasi beragama yang sah.
"Salam lintas agama adalah praktik baik kerukunan umat. Ini bukan upaya mencampuradukkan ajaran agama. Umat tahu bahwa akidah urusan masing-masing, dan secara sosiolologis, salam lintas agama perkuat kerukunan dan toleransi," tandas Kamaruddin Amin, di Jakarta, Jumat (31/5/2024).
Menurut Kamaruddin Amin, dalam praktiknya, salam lintas agama menjadi sarana menebar damai yang juga merupakan ajaran setiap agama. Ini sekaligus menjadi wahana bertegur sapa dan menjalin keakraban.
"Sebagai sesama warga bangsa, salam lintas agama bagian dari bentuk komitmen untuk hidup rukun bersama, tidak sampai pada masalah keyakinan," terang Kamaruddin.
Di negara bangsa yang sangat beragam/multikultural, lanjut Kamaruddin, artikulasi keberagamaan harus merefleksikan kelenturan sosial yang saling menghormati dengan tetap menjaga akidah masing-masing.
"Salam lintas agama adalah bentuk komunikasi sosial yang secara empiris terbukti produktif dan berkontribusi meningkatkan kualitas kerukunan umat beragama," tegasnya.
Ikhtiar merawat kerukunan penting terus diupayakan. Caranya dengan menguatkan kohesi dan toleransi umat, bukan mengedepankan tindakan yang mengarah segregasi.
"Ikhtiar merawat kerukunan ini berbuah hasil. Praktik baik warga telah meningkatkan indeks kerukunan umat beragama," sebut Kamaruddin.
Dalam tiga tahun terakhir, jelasnya, Indeks Kerukunan Umat Beragama (KUB) mengalami peningkatan. Pada 2021 sebesar 72,39, indeks naik menjadi 73,09 pada 2022. Sementara pada 2023, indeks KUB kembali naik menjadi 76,02.
"Ada tiga dimensi yang dipotret, yaitu toleransi dengan skor 74,47, kesetaraan dengan skor 77,61, dan kerja sama dengan skor 76,00. Ini indikator yang sangat baik," papar Kamaruddin.
Ditambahkan dia, Rasulullah sendiri pernah berucap salam kepada sekumpulan orang yang terdiri dari muslim dan non-muslim (Yahudi dan orang musyrik) (HR. Al-Bukhari).
Ketika ada yang mengingatkan terlarang hukumnya mengucapkan salam kepada non-muslim, sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas'ud, mengatakan, “Mereka berhak karena telah menemaniku dalam perjalanan”.
Sahabat lain, Abu Umamah al-Bahiliy, setiap kali berjumpa orang, muslim atau non-muslim, selalu berucap salam.
Dia bilang, agama mengajarkan kita untuk selalu menebar salam kedamaian (Tafsir al-Qurthubi, 11/111). Menurutnya, salam adalah penghormatan bagi sesama muslim, dan jaminan keamanan bagi non-muslim yang hidup berdampingan (Bahjat al-Majaalis, Ibn Abd al-Barr, 160).
Imbauan MUI mungkin relevan bagi yang merasa imannya akan terganggu bila ia mengucap salam lintas agama. Namun jangan larang atau ragukan iman orang yang berucap salam lintas agama.
"Dalam beragama diperlukan sikap luwes dan bijaksana sehingga antara beragama dan bernegara bisa saling sinergi," tandas Kamaruddin.
Masalah hukum salam lintas agama pernah dibahas juga dalam Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur pada 2019.
Dalam simpulannya disebutkan pejabat muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh", atau diikuti dengan ucapan salam nasional, seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua, dan semisalnya.
Namun demikian, dalam kondisi dan situasi tertentu demi menjaga persatuan bangsa dan menghindari perpecahan, pejabat muslim juga diperbolehkan menambahkan salam lintas agama.
[Redaktur: Elsya Tri Ahaddini]