Ditambahkan dia, Rasulullah sendiri pernah berucap salam kepada sekumpulan orang yang terdiri dari muslim dan non-muslim (Yahudi dan orang musyrik) (HR. Al-Bukhari).
Ketika ada yang mengingatkan terlarang hukumnya mengucapkan salam kepada non-muslim, sahabat Nabi, Abdullah Ibnu Mas'ud, mengatakan, “Mereka berhak karena telah menemaniku dalam perjalanan”.
Baca Juga:
Kapolres Rohil Siap Ciptakan Pilkada Damai dan Bangun Sinergitas Bersama MUI
Sahabat lain, Abu Umamah al-Bahiliy, setiap kali berjumpa orang, muslim atau non-muslim, selalu berucap salam.
Dia bilang, agama mengajarkan kita untuk selalu menebar salam kedamaian (Tafsir al-Qurthubi, 11/111). Menurutnya, salam adalah penghormatan bagi sesama muslim, dan jaminan keamanan bagi non-muslim yang hidup berdampingan (Bahjat al-Majaalis, Ibn Abd al-Barr, 160).
Imbauan MUI mungkin relevan bagi yang merasa imannya akan terganggu bila ia mengucap salam lintas agama. Namun jangan larang atau ragukan iman orang yang berucap salam lintas agama.
Baca Juga:
Palu Berzikir: Pemkot Palu Peringati 6 Tahun Gempa, Tsunami, dan Likuefaksi
"Dalam beragama diperlukan sikap luwes dan bijaksana sehingga antara beragama dan bernegara bisa saling sinergi," tandas Kamaruddin.
Masalah hukum salam lintas agama pernah dibahas juga dalam Bahtsul Masail Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur pada 2019.
Dalam simpulannya disebutkan pejabat muslim dianjurkan mengucapkan salam dengan kalimat "Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh", atau diikuti dengan ucapan salam nasional, seperti selamat pagi, salam sejahtera bagi kita semua, dan semisalnya.