WahanaNews.co | Terkait dugaan kekerasan seksual terhadap anak TK di Pekanbaru, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mendorong agar penanganan kasus kekerasan seksual tersebut tetap mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak.
Kasus yang ramai dibicarakan di sosial media ini diduga terjadi pada Oktober 2023 dan baru diketahui pada awal November 2023.
Baca Juga:
Kerja Sama Lintas Sektor Kunci Lindungi Anak dari Ancaman Dunia Digital
“Kami menyayangkan kejadian kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh anak berusia 5 (lima) tahun terhadap teman sekelasnya di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau. Melalui kasus ini kita perlu pahami bersama, mungkin ada sebab lain, termasuk anak yang mendapatkan pengasuhan tidak layak atau menjadi korban kelalaian pengawasan orang tua dan/atau lingkungan di mana anak beraktifitas dapat berpotensi menjadi pelaku kekerasan seksual,” kata Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA, Nahar, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Kamis (18/1/2024).
Nahar terus mendorong agar kasus ini didalami secara profesional dan ditangani dengan mengedepankan kepentingan terbaik bagi anak sehingga anak korban dan anak berkonflik dengan hukum tetap terpenuhi hak-hak dasarnya, di antaranya tetap dapat bersekolah dan bermain dengan teman-temannya tanpa mendapatkan stigma atau perundungan.
Selain itu, Nahar menekankan, peristiwa ini membawa dampak negatif terhadap kondisi psikologis dan perubahan perilaku pada anak korban dan anak berkonflik dengan hukum.
Baca Juga:
Kemen PPPA Sebut Puspaga Garda Terdepan dalam Penguatan Layanan Kesehatan Mental Keluarga
Karena itu, pemulihan bagi kedua anak pasca kejadian penting untuk dilakukan sebagai bentuk pemenuhan hak atas perlindungan.
“Dibutuhkan pendampingan yang bersifat rehabilitatif atau intervensi psikologis untuk pemulihan dari dampak negatif yang ditimbulkan dari peristiwa kekerasan seksual tersebut,” ujar Nahar.
Menurut Nahar, sejak kasus ini bergulir, Kemen PPPA telah berkoordinasi intens dengan Dinas pengampu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di tingkat Provinsi Riau dan Kota Pekanbaru terkait upaya penanganan dan pendampingan.
Berbagai langkah telah dilakukan, di antaranya konfirmasi dan edukasi kepada pihak sekolah; konfirmasi dan assessment kepada anak berkonflik dengan hukum, anak korban, dan orang tua keduanya; pendampingan visum dan pemeriksaan kesehatan anak korban.
Juga pendampingan psikologi bagi anak korban dan anak berkonflik dengan hukum; pendampingan dan edukasi hukum kepada orang tua anak korban dan anak berkonflik dengan hukum; serta mediasi kedua belah pihak.
Nahar mengatakan, kasus ini menjadi peringatan bagi seluruh pihak untuk meningkatkan pengawasan dan memberikan pengasuhan yang layak anak agar kasus serupa tidak berulang atau terjadi di tempat lain.
“Berdasarkan analisis kami, penting untuk meningkatkan pemahaman anak terkait hal-hal yang tidak boleh dilakukan, khususnya dalam konteks kekerasan seksual. Selain itu, orang tua, keluarga, pendidik, hingga masyarakat juga harus meningkatkan pengawasan terhadap anak atas perilaku-perilaku berisiko. Dalam hal ini, orang tua memegang peranan yang paling besar dalam proses pengasuhan dan pemberian edukasi sejak dini,” ungkap Nahar.
Lebih lanjut, Nahar menjelaskan, apabila ditemukan unsur pidana dalam proses penyelesaian kasus ini, maka anak berkonflik dengan hukum akan diproses menggunakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
“Penyidik, Pembimbing Kemasyarakatan, Pekerja Sosial Profesional, dan pihak lain yang dibutuhkan dapat mengambil keputusan untuk menyerahkan kembali anak berkonflik dengan hukum kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya dalam program pendidikan, pembinaan, dan pembimbingan di instansi pemerintah, Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), atau instansi yang menangani bidang kesejahteraan sosial untuk waktu paling lama 6 (enam) bulan,” pungkas Nahar.
Dalam kasus ini, Nahar mengapresiasi orang tua korban yang bertindak cepat menyampaikan laporan kepada pihak kepolisian dan UPTD PPA Kota Pekanbaru sehingga kedua belah pihak bisa mendapatkan penanganan yang sesuai dengan kebutuhannya.
Nahar pun mengajak orang tua, keluarga, pendidik, atau masyarakat yang mendengar, melihat, atau mengetahui kasus kekerasan kepada anak untuk berani melapor ke lembaga-lembaga yang telah diberikan mandat oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, seperti UPTD PPA, Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan Kepolisian untuk mencegah jatuhnya korban lebih banyak.
Selain itu, masyarakat juga dapat melapor melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08111-129-129.
[Redaktur: Zahara Sitio]