WahanaNews.co | Budayawan Batak Saut Poltak Tambunan buka suara terkait kematian Josua Hutabarat alias Brigadir J.
Menurutnya, kematian Brigadir J pantas diratapi oleh semua orang Batak di mana saja. Kejanggalan kematian Josua terungkap ketika peti jenazah dibuka menjelang pemakaman yang memperlihatkan jasad ajudan Irjen Ferdy Sambo itu mengalami penganiayaan.
Baca Juga:
Arnod Sihite Dilantik Ketua Umum PTSBS Periode 2024-2029: Ini Daftar Lengkap Pengurusnya
Membuka peti jenazah menjelang pemakaman itu dalam tradisi Batak disebut dengan istilah mangandung.
"Mangandung ini semacam ratapan terhadap orang yang meninggal dalam tradisi Batak. Mangandung ini menjadi bagian dari upacara kematian. Mangandung adalah untuk melepaskan semua beban orang yang ditinggal oleh jenazah sebelum dikubur," kata Poltak saat dihubungi pada Selasa 9 Agustus 2022.
Poltak menjelaskan dalam tradisi Batak dikenal istilah Siboru puas siboru Bakkara, Molo dung puas sae ma soada mara yang berarti rasa sakit hati atau rasa amarah apa pun itu dilontarkan seketika lepas lalu tidak menjadi beban lagi. Secara psikologis, Mangandug adalah cara orang Batak untuk melepas kesedihan.
Baca Juga:
Arnod Sihite Resmi Pimpin Parsadaan Toga Sihite Boru Sedunia, Fokus Lestarikan Budaya Batak pada Generasi Muda
"Jadi kalau kesedihan tidak diandungkan atau dikeluarkan atau diratapkan bisa jadi tidak bisa lepas pada belakang hari bisa jadi penyakit itu," ujarnya.
Kematian Brigadir J dalam Tradisi Batak Dinilai Tragis
Budayawan yang juga penulis buku berbahasa Batak ini juga mengungkapkan dalam tradisi Batak, status seseorang bisa dilihat bagaimana ia meninggal. Derajat seorang pun bisa dinilai dari bagaimana ia meninggal.
"Kalau orang Jawa itu status derajat itu terlihat ketika dia hidup, berdasarkan strata sosialnya dia bangsawan atau tidak. Orang Batak tidak begitu, orang Batak justru ketika dia meninggal statusnya akan kelihatan dari umur dan statusnya," ungkapnya.
Status yang dimaksud Poltak dalam hal ini adalah adanya hierarki kematian dalam tradisi orang Batak. Ada beberapa jenis kematian yang dinilai orang Batak sebagai kematian yang tragis.
Kematian yang tragis diantaranya adalah mati dalam kandungan, bayi, remaja, belum menikah, tidak punya anak, hingga tidak punya anak laki-laki. Kematian tersebut adalah kematian yang tidak diinginkan oleh orang Batak.
Kematian Brigadir Josua dalam tradisi Batak ini adalah jenis kematian mate ponggol yang artinya kematian seorang yang sudah berusia dewasa namun belum menikah. Dalam hierarki kematian orang Batak, mate ponggol adalah kematian yang paling tidak diinginkan orangtua karena dianggap orang tua tugasnya di dunia belum dianggap tuntas.
"Kematian Josua Hutabarat adalah kematian yang pantas diratapi oleh semua orang Batak di mana pun. Karena dia meninggal ketika sudah dewasa dan belum menikah. Itu namanya di Batak mate ponggol, mati dalam pertumbuhan sedang bertunas mau menikah lalu meninggal," kata Poltak.
Larangan Buka Peti Mencederai Hati Orang Batak
Poltak menambahkan, setiap orang Batak yang meninggal itu ada upacara adat dan perlakuan adatnya. Adanya larangan dari pihak Kepolisian untuk membuka peti tersebut sebenarnya mencederai hati orang Batak.
"Ibunya sudah melahirkan dia itu, apalagi sekarang di hadapan matanya ada peti jenazah tapi tidak boleh dibuka, tidak boleh dilihat. Itu sangat menyakitkan bagi seorang Ibu. Bagi pihak keluarga dan yang ditinggalkan itu sangat menyedihkan," kata Poltak.
Ditanya mengenai tanggapan ada orang Batak yang meninggal dan diperlakukan tidak baik seperti ini, Poltak mengungkapkan bahwa kejadian ini mestinya menjadi pelajaran oleh pihak kepolisian.
"Saya tidak tahu ini kode alam atau bagaimana. Saya budayawan Batak semestinya tidak perlu lagi merinci atau mengingatkan kepada kepolisian untuk bekerja secara transparan dan kredibel karena kode etik mereka juga ada. Hilangnya kepercayaan pada kepolisian adalah musibah besar bagi bangsa ini. Polisi harus menjaga citranya sebagai pengayom dan pelindung masyarakat," kata Poltak.
Dalam kasus pembunuhan Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat, Kapolri Jenderal Lityo Sigit Prabowo menyatakan tim khusus telah menetapkan Irjen Ferdy Sambo sebagai tersangka. Penetapan itu dilakukan setelah mereka melakukan gelar perkara pada Selasa pagi tadi.
Dalam gelar perkara itu ditemukan fakta bahwa tidak terjadi tembak menembak antara Brigadir Yosua dengan Bharada E alias Richard Eliezer Pudihang Lumiu. Kapolri menyatakan bahwa yang terjadi adalah Richard diperintah oleh Ferdy Sambo untuk menembak Yosua.
"Tadi pagi dilakukan gelar perkara dan timsus memutuskan saudara FS sebagai tersangka," kata Kapolri.
Atas perannya tersebut, Ferdy Sambo diancam dengan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 dan Pasal 56 KUHP dengan hukuman pidana maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, dan 20 tahun perjara.
Pasal yang dikenakan kepada Ferdy sama seperti yang dikenakan terhadap Brigadir Ricky Rizal, ajudan istrinya, Putri Candrawathi, yang telah ditetapkan sebagai tersangka sebelumnya. Sementara Bharada E dikenakan Pasal 338 juncto Pasal 55 dan 56 KUHP. Satu tersangka lainnya yang ikut terjerat kasus pembunuhan Brigadir J ini adalah Kuat, sopir Ferdy Sambo. [qnt]