Hasil survei SIGAB menyatakan bahwa frekuensi penggunaan e-commerce bagi konsumen difabel mencapai 50% setiap minggunya. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya sangat potensial bagi konsumen difabel menjadi konsumen aktif dengan jumlah transaksi yang besar di sektor e-commerce.
Dalam keseharian, sejumlah hambatan juga masih ditemui konsumen disabilitas ketika menggunakan aplikasi jual beli online. Hambatan tersebut berupa akses informasi yang kurang tentang fungsi-fungsi pada aplikasi maupun informasi mengenai produk barang dan jasa yang ditawarkan karena platform tersebut kurang kompatibel dengan perangkat lunak screen reader yang dimiliki para konsumen tunanetra.
Baca Juga:
Mudahkan Pelanggan Bayar Listrik, PLN Mobile Jalin Kolaborasi dengan MotionPay
Selain platform yang tidak terakses, layanan purnajual juga kerap bermasalah bagi konsumen difabel. Misalkan layanan penukaran barang maupun pengaduan jika barang atau jasa tidak seperti yang dijanjikan. Menurut penelitian SIGAB, dari 160 difabel dengan berbagai ragam disabilitas, sebanyak 68 di antaranya mengalami kendala saat mengakses e-commerce.
Responden yang paling banyak mengalami hambatan adalah disabilitas sensorik penglihatan, yaitu 59 orang. Kendala yang mereka alami adalah kesulitan mengakses tombol navigasi di laman dan aplikasi. Sementara bagi ragam disabilitas daksa, durasi pembayaran yang terlalu singkat menjadi salah satu hambatan dalam proses jual beli online.
Aktivitas e-commerce yang menggunakan layanan telepon tanpa teks menjadi hambatan bagi penyandang disabilitas pendengaran. Kendala ini kerap terjadi dalam mekanisme pengaduan barang rusak yang harus konfirmasi melalui percakapan telepon.
Baca Juga:
Wamendag Roro Serahkan Penghargaan Perlindungan Konsumen 2024 kepada Para Kepala Daerah
Apa yang Harus Dilakukan?
Indonesia adalah salah satu negara yang mulai mengembangkan pembangunan kota berbasis inklusif pasca ratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD).