Oleh IHZA AULIA SURURI TANJUNG
Baca Juga:
Edy Rahmayadi Ziarah ke Makam Mantan Ketua DPRD Propsu di Karo
ISLAM merupakan agama yang universal dan lengkap (syamil).
Ajaran-ajarannya yang bersumber dari Alquran dan Hadits telah dibekali dengan kompatibilitas yang baik, sehingga mampu menyesuaikan dan menyerasikan keadaan seiring perkembangan zaman.
Baca Juga:
Jadi KSAD, Jokowi Dikabarkan Lantik Letjen TNI Maruli Simanjuntak Hari Ini
Tidak hanya itu, Allah SWT juga mengirim utusan-Nya yang bertugas menyebarkan dan menjadi contoh dari muslim sejati, yakni Baginda Muhammad SAW.
Beliau merupakan refleksi dan contoh yang sempurna dari nilai-nilai ajaran Islam.
Tidak hanya menjadi teladan bagi umat Islam, tetapi juga bagi seluruh umat manusia, menebar kenyamanan bagi seluruh makhluk hidup muslim maupun kafir.
Kehadirannya menjadi rahmat dan nikmat bagi alam semesta (QS Al-Anbiya: 107).
Sejak dahulu, hidup berdampingan dan beriteraksi dengan orang yang berbeda agama kerap kali ditemui.
Bahkan, pernah seorang Yahudi meminta kepada Rasulullah SAW --menawarkan jasa-- untuk mengairi kebunnya (al-Musaaqoh).
Lalu, Rasulullah menyetujuinya dan membagi dua hasil kebunnya dengan mereka sebagai bayarannya (HR Abu Daud, 157/3).
Ber-muamalah (menjalin hubungan sosial dengan non-Muslim) bukanlah sebuah pantangan dalam Islam, walaupun dalam konteks muamalah tertentu, ada ulama yang berpendapat makruh.
“Hubungan keagamaan yang ada, tak lantas menghilangkan hubungan kemanusiaan’ yang mendasari lahirnya kehidupan di dunia ini,” tulis Prof Quraish Shihab dalam bukunya, Wasatiyyah.
Dalam firman Allah SWT An-Nisa: 105 ditegaskan, “Sesungguhnya Allah telah menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) dengan hak (benar) supaya engkau mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah perlihatkan kepadamu dan janganlah engkau menjadi penantang terhadap orang yang tidak bersalah karena (ulah) para penghianat.”
Ada sebuah riwayat yang menjadi asbabun nuzul (sebab turunnya) ayat tersebut.
Seorang muslim melemparkan tuduhan pencurian terhadap seorang Yahudi, padahal justru dialah pencurinya.
Rasulullah SAW yang dimintai keputusan ketika itu belum mengetahui duduk persoalannya cenderung untuk membenarkan sang muslim tersebut.
Tentu, kecenderungan yang lahir dari sangka baik beliau kepada umatnya yang muslim.
Maka turunlah ayat tersebut sebagai isyarat teguran kepada Rasulullah SAW, sebab kecenderungan hati beliau dapat mengantar pada ketidakadilan terhadap non-Muslim.
Kejadian pada ayat di atas sangat jelas mengajarkan kepada kita bahwa Islam menjunjung tinggi hak dan keadilan kepada seluruh manusia, Muslim maupun non-Muslim.
Bahwa kecenderungan hati yang alamiah kerap muncul karena faktor kedekatan agama.
Tapi seringkali --secara tidak sadar-- justru membuat diskriminatif dalam bersikap dan bertindak.
Pakar Tafsir, Prof Quraish Shihab, dalam bukunya, Wasatiyyah, memaparkan secara luas tentang hubungan sosial dalam masyarakat dengan berbagai agama dan kepercayaan.
Setidaknya, penulis dapat menyerap bahwa ada tiga petunjuk dan etika yang Allah SWT tegaskan demi melanggengkan hubungan timbal balik yang harmonis antara umat beragama:
Pertama, tidak memaki sesembahan atau Tuhan agama lain.
“Janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, maka (akibatnya) mereka akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.” (QS Al-An’am: 108)
Al-Imam Al-Baidhowi, dalam Tafsir Anwar At-Tanzil wa Asrooru At-Ta’wil, mengatakan bahwa janganlah kita menghina atau menyebut kejelekan Tuhan non-Muslim, karena akibatnya akan berbalik hinaan yang lebih parah akibat ketidaktahuan mereka terhadap Allah.
Secara naluriah manusia, suatu hal yang dicintainya pasti tidak senang jika diganggu atau dihina.
Maka, respons untuk melawan atau membalas dengan setara atau lebih dari itu hal yang spontan terjadi.
Walau umat Muslim menganggap buruk apa yang mereka lakukan, tetap saja setiap kelompok masyarakat memiliki pandangan dan aktivitas yang dianggapnya baik.
Pilihan mereka harus dihormati, setuju atau tidak, suka atau tidak (QS Al-Kafirun: 6).
Kedua, berbuat baik, berlaku adil dan menjaga batasan dalam pergaulan.
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang orang yang tidak memerangimu karena agamamu dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu.. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agamamu dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu orang lain untuk mengusirmu.” (QS Al-Mumtahanah: 8-9)
Allah tidak melarang kita berbuat baik dalam bentuk apapun bagi mereka dan juga tidak melarang berlaku adil --seperti pada riwayat di atas-- atau --sebagian ulama mengatakan-- memberi sebagian harta kita kepada mereka.
Demikian juga berteman dan bergaul secara simbiosis mutualisme tidak dilarang.
Kendati banyak ayat dan hadis yang mewanti-wanti agar tidak terlalu akrab, menyimpan rahasia padanya, dan terkadang berakibat meleburnya kepribadian Muslim dan mengabaikan batasan-batasan Allah dan Rasul-Nya.
Syaikh Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Quran Al-‘Adzim menukil riwayat tentang Asma’ binti Abu Bakar yg sempat menolak hadiah dari ibunya yang non-Muslim, kemudian Sayyidah Aisyah menanyakan hal tersebut kepada Nabi SAW.
Maka turunlah ayat di atas dan Rasulullah pun menyuruhnya untuk menerima hadiah dan mempersilahkan ibunya masuk rumah.
Riwayat ini pula sekaligus menjadi dalil atas bolehnya menerima hadiah dari non-Muslim.
Ketiga, menebarkan rasa aman dalam menyampaikan ajaran Islam.
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia dapat mendengar firman Allah, kemudian antarlah ia ketempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak mengetahui.” (QS At-Taubah: 6)
Syaikh Ibnu Katsir menjelaskan bahwa salah satu tujuan dan maksud ayat tersebut adalah menebarkan rasa aman dan menyampaikan dakwah Islam dengan santun.
Lebih lanjut dijelaskan, jika ada non-Muslim yang meminta pertolongan atau perlindungan, maka penuhilah.
Pada saat itu pula kita bacakan ayat Al-Quran atau menyampaikan tentang ajaran agama.
Sebab, boleh jadi dari apa yang kita bacakan atau sampaikan ada yang belum mereka ketahui, lantas bertambah pengetahuan mereka tentang Islam dan Allah SWT.
Boleh jadi, dewasa ini tidak lagi ditemukan kejadian yang serupa dalam ayat tersebut.
Namun, wujud akhlak mulia dan keramahan Muslim sejati sudah merepresentasikan tujuan yang dimaksud.
Perlu diingat pula betapa banyaknya mualaf yang luluh hatinya memeluk agama Islam karena keramahan dan sifat terpuji dari umat Nabi Muhammad SAW.
Sesungguhnya ajaran Islam tak pernah luput dalam segala hal.
Etika dan adab yang mulia terhadap non-Muslim merupakan hal yang penting demi keharmonisan antar-umat beragama.
Sesungguhnya, fikiran-fikiran yang radikal destruktif, juga ketakutan yang ada seperti “Islamofobia”, muncul karena sempitnya pengetahuan mereka akan ajaran-ajaran Islam dan citra yang tak elok dari muslim sendiri.
Maka dari itu, kita sebagai Muslim seharusnya menerapkan adab yang telah Allah dan Rasul-Nya ajarkan serta menjunjung tinggi toleransi beragama, tanpa kehilangan jati diri sebagai Muslim.
Keyakinan yang kuat terhadap kebenaran agama yang dianut menjadi mutlak (fanatik), dengan tetap menghargai agama orang lain.
Dengan demikian, tidak akan terjadi pengaburan nilai agama kita dan penistaan terhadap agama orang lain.
Itulah esensi tolaransi beragama dalam hidup yang penuh keberagaman.
Wallahua’lam bish-shawab. (Ihza Aulia Sururi Tanjung, Mahasiswa Islamic Legislation and Law Department of Al Azhar University, Mesir)-qnt
Artikel ini sudah tayang di Republika.co.id dengan judul “Adab terhadap Non-Muslim”. Klik untuk baca: https://www.republika.co.id/berita/qzk1eu374/adab-terhadap-non-muslim.