"Joget Gemoy" dalam konteks ini, menjadi semacam antitesis terhadap politik yang steril dan mekanis. Ini adalah pemberontakan terhadap tradisi politik yang kaku, sebuah ajakan untuk memandang politik tidak hanya sebagai pertarungan ideologis tapi juga sebagai pesta demokrasi yang meriah, di mana setiap warga negara diajak untuk menjadi bagian dari perayaan tersebut. Kritik terhadap Prabowo karena mengedepankan "Joget Gemoy" menunjukkan paradoks dalam pemahaman kita tentang politik.
Di satu sisi, kita mendambakan politik yang berwajah manusiawi, yang dekat dengan rakyat. Namun, di sisi lain, kita cepat untuk mengkritik ketika politik dihadirkan dalam format yang tidak konvensional. Ini bukanlah tentang memilih antara serius dan hiburan, melainkan tentang memahami bahwa keduanya bisa berjalan beriringan dalam menciptakan politik yang inklusif dan dinamis.
Baca Juga:
Dugaan Korupsi di Blok Rokan, Hinca Antar Berkas Rahasia ke Kejati Riau
Saya ingin mengaitkan hal ini dengan tradisi atau budaya tarian tortor dalam suku Batak. Mengaitkan "Joget Gemoy" dengan tradisi tarian Tortor dalam budaya Batak membuka wawasan baru tentang bagaimana politik dan budaya dapat berjalan seiring. Dalam masyarakat Batak, Tortor bukan hanya sekedar tarian; ia adalah ekspresi kehidupan yang mendalam, yang merayakan momen-momen penting, dari kegembiraan pesta pernikahan hingga refleksi mendalam dalam upacara duka.
"Manortor" atau menari Tortor, adalah praktik yang mengakar kuat dalam tradisi Batak, menggambarkan bagaimana tarian bisa menjadi bahasa universal yang mengungkapkan spektrum emosi manusia, memperkuat ikatan sosial, dan merayakan keberagaman pengalaman hidup. Dalam konteks ini, pilihan Prabowo untuk mengadopsi "Joget Gemoy" dalam kampanyenya mendapatkan dimensi tambahan yang kaya.
Baca Juga:
Lolos ke Senayan di Pemilu 2024, Hinca Pandjaitan Sampaikan Terimakasih
Ini bukan hanya soal memilih sebuah metode kampanye yang meriah dan menarik, melainkan juga tentang menghormati dan merayakan keragaman budaya yang ada di Indonesia. Dengan memasukkan elemen tarian dalam kampanye politik, Prabowo tidak hanya berkomunikasi dalam bahasa politik yang konvensional, tetapi juga dalam bahasa budaya yang mendalam dan resonan dengan banyak orang Indonesia, mirip dengan bagaimana Tortor berbicara kepada hati orang Batak.
Mengkritik pendekatan ini tanpa mempertimbangkan konteks budaya yang lebih luas adalah mengabaikan warisan budaya yang kaya dan beragam dari Indonesia. Di banyak masyarakat di Indonesia, tarian lebih dari sekedar hiburan; ia adalah sarana komunikasi, ekspresi diri, dan pemersatu komunitas. Dengan demikian, memilih untuk "manortor" atau menari dalam konteks politik bukanlah sebuah kesalahan.
Sebaliknya, itu adalah pengakuan bahwa politik—seperti tarian—adalah tentang membuat koneksi, membangun jembatan antara individu dan komunitas, dan merayakan kemanusiaan kita yang bersama. Dalam spektrum politik, sering kali budaya tersingkirkan, seakan-akan ia merupakan sebuah afterthought, bukan prinsip dasar.