FENOMENA menerobos palang pintu kereta yang semakin marak di berbagai wilayah Indonesia menjadi perhatian serius.
Meskipun sudah ada aturan ketat dan peringatan yang dipasang di setiap perlintasan, tak sedikit pengendara yang nekat menerobos, meskipun taruhannya adalah nyawa.
Baca Juga:
Korupsi Proyek Perkeretaapian, Anggota Pokja di Purwokerto Terima Sejumlah Uang
Apa yang sebenarnya menjadi pemicu dari perilaku berbahaya ini?
Dari kacamata sosiologi, fenomena ini tidak hanya bisa dilihat sebagai pelanggaran hukum semata, tetapi juga sebagai bagian dari dinamika sosial yang kompleks.
Dalam sosiologi, perilaku tersebut bisa dilihat dari perspektif anomie—suatu keadaan di mana norma sosial melemah atau tidak lagi dihormati oleh individu.
Baca Juga:
Dua Warga Serang Tertabrak Kereta Rangkasbitung-Merak Saat Terobos Palang Pintu di Serang
Para pengendara yang menerobos palang kereta cenderung melihat aturan lalu lintas sebagai sesuatu yang bisa diabaikan ketika mereka merasa ada urgensi yang lebih besar, seperti terburu-buru atau berusaha menghindari kemacetan panjang.
Di sinilah peran individualisme muncul; kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada keselamatan bersama.
Ketika banyak orang melakukan hal yang sama, tindakan ini lama-kelamaan dianggap biasa dan tidak lagi dianggap sebagai pelanggaran moral yang serius.
Budaya kepatuhan rendah juga berperan besar dalam fenomena ini. Menurut kajian sosiologi, masyarakat yang memiliki tingkat kepatuhan terhadap aturan rendah cenderung mengabaikan risiko yang sebenarnya bisa mengancam jiwa.
Ini terjadi bukan hanya karena lemahnya penegakan hukum, tetapi juga karena adanya persepsi bahwa aturan adalah sesuatu yang bisa dinegosiasikan.
Bagi sebagian besar pengendara, palang pintu kereta dianggap sekadar hambatan teknis yang bisa diatasi, bukan sistem keamanan yang melindungi mereka.
Selain itu, ada juga aspek subkultur yang terbentuk dari kebiasaan sehari-hari. Dalam masyarakat dengan tingkat disiplin yang rendah, tindakan melanggar aturan cenderung dilihat sebagai hal biasa.
Jika lingkungan sosial seseorang cenderung sering melakukan pelanggaran lalu lintas, perilaku itu pun menjadi bagian dari norma baru yang diterima.
Ketika perilaku ini terjadi berulang kali dan tidak mendapatkan sanksi yang tegas, akan terbentuk budaya 'terobos palang' yang sulit dihentikan.
Tekanan sosial juga menjadi salah satu faktor penting. Dalam situasi ramai dan macet, pengendara sering kali terjebak dalam tekanan sosial untuk ikut-ikutan menerobos.
Ketika satu atau dua kendaraan mulai menerobos palang, yang lain pun cenderung mengikuti. Rasa cemas dan takut tertinggal sering kali membuat pengendara memilih untuk mengambil risiko.
Kurangnya edukasi mengenai bahaya menerobos palang pintu kereta juga turut memperburuk situasi.
Sebagian besar masyarakat mungkin memahami bahwa menerobos adalah pelanggaran, tetapi tidak menyadari risiko fatal yang bisa terjadi.
Edukasi yang berkelanjutan mengenai pentingnya keselamatan di perlintasan kereta api perlu diperkuat agar masyarakat lebih memahami konsekuensi tindakannya.
Dari sudut pandang sosiologis, menyelesaikan masalah ini memerlukan pendekatan yang lebih komprehensif, bukan hanya penegakan hukum yang tegas.
Pemberdayaan masyarakat melalui kampanye kesadaran yang berkelanjutan, edukasi mengenai keselamatan lalu lintas, serta perbaikan sistem penegakan hukum adalah beberapa langkah penting yang perlu diambil.
Hanya dengan perubahan budaya dan pola pikir, budaya 'terobos palang' bisa diatasi, dan keselamatan di perlintasan kereta pun dapat ditingkatkan. [*]
Penulis adalah pemerhati masalah sosial