ELEKTABILITAS Anies Baswedan dalam survei terbaru menunjukkan tren positif yang signifikan. Dengan popularitas yang terus menanjak, Anies memiliki peluang besar untuk memenangkan Pilkada mendatang.
Fenomena ini mengingatkan kita pada kisah mantan Ketua Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI), Agum Gumelar, dalam Pilkada 2007. Meskipun populer, Agum tidak mendapatkan dukungan penuh dari partai politik (Parpol), namun tetap mampu menunjukkan performa kuat dalam pemilihan.
Baca Juga:
Ridwan Kamil Ucapkan Terima Kasih atas Dukungan Pemuda Pancasila di Pilkada DKI Jakarta
Sebagai mantan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) di era Presiden KH Abdurrahman Wahid, Agum adalah sosok yang cukup dihormati. Ia diprediksi bisa memenangkan Pilkada, namun kurangnya dukungan optimal dari Parpol menjadi kendala.
Anies Baswedan, dengan rekam jejak sebagai Gubernur DKI Jakarta yang dianggap sukses, berpotensi menghadapi situasi serupa jika Parpol lebih memilih mengusung kader internal.
Duet Kader Internal Parpol Tingkat Provinsi Jakarta dengan Putra Daerah
Baca Juga:
Debat Kedua Pilkada Jakarta Tanpa Kedip, PLN Jaga Pasokan Listriknya
Parpol harus mempertimbangkan strategi duet antara kader partai tingkat Provinsi Jakarta dan putra daerah. Untuk posisi calon gubernur (Cagub), diisi oleh kader internal Parpol, sementara calon wakil gubernur (Cawagub) dapat diusulkan dari putra daerah, seperti tokoh Betawi.
Dalam hal ini, setidaknya terdapat 3 (tiga) mamfaat menduetkan Kader Internal Parpol Jakarta dengan Putra Daerah.
Pertama, kader parpol dapat memastikan dukungan struktural dan logistik yang krusial dalam kampanye.
Kedua, putra daerah mampu meningkatkan keterhubungan emosional dengan pemilih lokal, memperkuat basis dukungan di berbagai wilayah.
Yang ke tiga, membangun koalisi solid. Kombinasi ini dapat memperkuat koalisi lintas partai, menciptakan dukungan yang lebih luas dan beragam.
Mengapa Strategi Tidak Mendukung Cagub yang Memiliki Elektabilitas Tinggi Penting!
Dalam dunia politik, keputusan Parpol untuk tidak mendukung calon gubernur (cagub) yang memiliki elektabilitas tinggi bisa jadi dipandang kontroversial dan penuh risiko. Meski demikian, ada beberapa alasan strategis dan pertimbangan yang mungkin mendasari langkah ini.
Setidaknya, ada 7 (Tujuh) strategi dan alasan mengapa parpol memilih untuk tidak mendukung cagub dengan elektabilitas tinggi.
Pertama, Parpol sering kali memiliki platform ideologis yang jelas dan tegas. Jika seorang Cagub, meskipun memiliki elektabilitas tinggi, tidak sejalan dengan nilai-nilai dan prinsip-prinsip ideologis partai, parpol mungkin memilih untuk tidak mendukungnya. Mempertahankan konsistensi ideologis dianggap lebih penting dalam jangka panjang untuk menjaga identitas dan integritas partai.
Kedua, Parpol yang kuat sering kali memiliki komitmen untuk mengembangkan dan mempromosikan kader internal mereka sendiri. Dengan mendukung calon dari dalam partai, meskipun elektabilitasnya belum setinggi calon eksternal, parpol dapat menunjukkan dukungannya terhadap pengembangan kepemimpinan internal dan memperkuat loyalitas kader.
Ketiga, mendukung cagub dengan elektabilitas tinggi bisa menimbulkan konflik kepentingan, terutama jika cagub tersebut memiliki afiliasi atau hubungan dengan partai lain atau kelompok tertentu yang bertentangan dengan kepentingan parpol. Dengan tidak mendukung cagub tersebut, parpol dapat menjaga independensi dan menghindari potensi konflik di masa depan.
Keempat, Parpol mungkin mempertimbangkan strategi jangka panjang dengan membentuk koalisi yang lebih solid dan berkelanjutan. Alih-alih mendukung calon populer yang mungkin hanya memberikan keuntungan jangka pendek, parpol bisa memilih untuk berinvestasi dalam aliansi strategis dengan partai lain yang memiliki visi dan misi yang lebih sejalan untuk mencapai tujuan politik yang lebih besar.
Kelima, memdukung cagub yang sangat populer bisa berarti menyerahkan sebagian besar kendali dan pengaruh kepada individu tersebut. Parpol yang ingin mempertahankan kendali atas agenda politik dan kebijakan mungkin lebih memilih calon yang lebih mudah dikendalikan dan lebih loyal terhadap partai.
Keenam, mengandalkan satu figur yang memiliki elektabilitas tinggi dapat berisiko jika figur tersebut gagal atau terlibat dalam skandal. Dengan tidak mendukung calon tersebut, parpol berupaya untuk mencegah ketergantungan yang berlebihan pada individu dan memastikan bahwa kekuatan partai tersebar merata di antara banyak kader.
Ketujuh, Cagub dengan elektabilitas tinggi sering kali menjadi sosok yang polarizing, menimbulkan perpecahan di kalangan pemilih dan internal partai. Parpol mungkin memilih untuk tidak mendukung calon semacam itu untuk menjaga harmoni internal dan menghindari kontroversi yang dapat merugikan citra partai.
Dengan demikian keputusan parpol untuk tidak mendukung cagub dengan elektabilitas tinggi memang tampak kontradiktif, namun bisa dimengerti jika dilihat dari perspektif strategis dan ideologis.
Mempertahankan konsistensi ideologis, membangun kader internal, menghindari konflik kepentingan, dan menjaga kendali serta pengaruh adalah beberapa alasan yang mendasari keputusan ini.
Dalam politik, keputusan semacam ini sering kali didasarkan pada pertimbangan jangka panjang dan kepentingan keseluruhan partai, bukan semata-mata pada popularitas individu.
Jika semua Parpol yang ada secara terbuka tidak menyebutkan nama-nama Cagub yang memilik elektabilitas tinggi melainkan nama-nama Cagub dari kader partai mereka, maka otomatis elektabilitas kader parpol akan melonjak tinggi seperti Cagub yang sebelumnya memiliki elektabilitas tinggi.
Dalan konteks ini artinya, tidak ada yang perlu dikawatirkan bagi Parpol untuk tidak mendukung Cagub yang memiliki elektabilitas tinggi.
Dengan beitu, rumus,”target yang penting menang Pilkada,” karena memilih Cagub dengan elektabilitas tinggi, bisa diganti dengan yang terpenting mendukung dan mengusulkan Cagub sendiri dari internal kader partai. Calon wakil guber (Cawagub)-nya, Parpol bisa memilih putra daeran atau tokoh masyarakat Betawi. Hal ini untuk menujukan penghormat terhadap penduduk asli Jakarta yaitu masyarakat Betawi.
[Redaktur: Alpredo Gultom]