WAHANANEWS.CO, Jakarta - Beberapa hari terakhir, isu gaji besar anggota DPR ramai dibicarakan publik hingga memicu aksi demonstrasi pada 25 Agustus 2025 yang menuntut pembubaran lembaga tersebut.
Sebelumnya, pada 27 Agustus 2025, saya menulis mengenai gaji dan tunjangan DPRD DKI Jakarta yang diperkirakan mencapai Rp130–139 juta per bulan. Angka ini sesungguhnya masih merupakan perkiraan minimal, sebab jika dirinci lebih detail jumlahnya bisa lebih tinggi lagi.
Baca Juga:
Antara Kemarahan Presiden Prabowo dan Kehati-hatian Gubernur Pramono terhadap BUMD PT FSTJ
Sebenarnya saya mampu melanjutkan analisis dan uraian rinci mengenai komponen gaji serta tunjangan dewan, khususnya DPRD DKI Jakarta. Hal itu mencakup gaji pokok, berbagai tunjangan, dana reses, kunjungan kerja, sosialisasi aturan, hingga fasilitas lain yang melekat pada jabatan. Namun saya memilih untuk tidak menuliskannya secara detail, sebab khawatir dianggap iri terhadap rezeki orang lain.
Sejatinya, dengan cara apa pun ditekan, pendapatan dewan akan tetap besar, karena mereka memegang fungsi anggaran. Pemerintah pun kerap berhati-hati berhadapan dengan fungsi strategis ini. Dari sini, berbagai aturan bisa disusun agar penghasilan mereka tetap besar secara legal. Oleh karena itu, sebaiknya sejak awal memang dilegalkan saja gaji besar dewan itu, agar tidak menimbulkan kesan seolah-olah ada permainan tersembunyi.
Sesungguhnya, tidak ada masalah jika DPR maupun DPRD menerima gaji sebesar itu. Pada hakikatnya, gaji merupakan hak yang sah dan bagian dari rezeki. Bahkan sebagian anggota dewan adalah sahabat saya sendiri. Akan tetapi, yang jauh lebih penting adalah memastikan bahwa besarnya gaji tersebut benar-benar sebanding dengan kinerja nyata yang memberikan manfaat langsung bagi rakyat.
Baca Juga:
Harap Rasional Bung, RPJMD DKI Jakarta Sedang Disusun!
Fungsi utama lembaga perwakilan rakyat sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 20A UUD 1945 serta diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), mencakup tiga fungsi utama, yaitu legislasi, anggaran, dan pengawasan. Di samping itu, dewan juga memiliki hak konstitusional berupa hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Semua fungsi dan hak ini wajib dijalankan secara konsisten, profesional, dan maksimal.
Sayangnya, banyak kegiatan dewan yang justru membuat fokus utama mereka terpecah. Kunjungan kerja, sosialisasi aturan, uu, perda, dan lainnya hingga reses memang memiliki alokasi anggaran yang besar, tetapi jika lebih menonjol daripada fungsi utama, maka substansi pengawasan dan legislasi menjadi lemah.
Bagaimana pengawasan dapat berjalan efektif apabila anggota dewan lebih banyak berada di lapangan untuk agenda yang belum tentu mendesak, sementara di kantor mereka hadir hanya pada hari-hari tertentu?