Oleh AKNOLT KRISTIAN PAKPAHAN
Baca Juga:
Bom Truk Koyak Jembatan Krimea, Tiga Orang Tewas
MASUKNYA pasukan Rusia ke wilayah timur Ukraina pada Kamis, 24 Februari 2022, menandai dimulainya invasi Rusia ke Ukraina.
Ketegangan antara Rusia dan Ukraina terjadi setelah Rusia mengakui kemerdekaan dua wilayah timur Ukraina, yaitu Donetsk dan Luhansk yang dikuasai kelompok separatis pro-Rusia pada 21 Februari 2022.
Baca Juga:
Soal Dialog Damai, Zelensky Minta Rusia Ganti Presiden Dulu
Pemberian status kepada dua wilayah tersebut yang menjadi alasan Rusia mengerahkan pasukannya ke wilayah Ukraina dengan dalih menjaga stabbilitas dan perdamaian di dua wilayah tersebut.
Sejak pernyataan Rusia untuk masuk ke wilayah Ukraina, dunia mengecam sambil menerapkan sanksi yang akan diikuti pemberian sanksi lebih berat sekiranya Rusia benar-benar menginvansi Ukraina.
Sejumlah negara seperti Amerika Serikat (AS), Kanada, Inggris, Australia, dan Jepang mulai menekan Rusia dengan menerapkan sanksi tahap awal.
Uni Eropa menerapkan hal yang sama terhadap Rusia atas tindakannya kepada Ukraina.
Sanksi Ekonomi
Amerika Serikat bersikap keras atas pengakuan Rusia akan kemerdekaan Donetsk dan Luhansk.
Presiden AS, Joe Biden, mengeluarkan perintah eksekutifnya yang disebut sebagai tahap pertama pemberian sanksi kepada Rusia.
Sanksi yang diberikan AS di antaranya: pertama, penghentian kegiatan operasional dua institusi keuangan Rusia di AS, yaitu Corporation Bank for Development and Foreign Economic Affairs Vnesheconombank (VEB) dan Promsvyazbank Public Joint Stock Company (PSB) beserta 42 anak perusahaan mereka.
Dua institusi keuangan ini memainkan peranan penting bagi Rusia di mana VEB merupakan bank korporasi yang mengumpulkan dana bagi Rusia.
Sementara PSB dianggap penting terutama bagi pembiayaan sektor pertahanan Rusia.
Semua aset yang dimiliki VEB dan PSB di wilayah yurisdiksi AS akan segera dibekukan dan individu serta entitas AS dilarang melakukan aktivitas bisnis dengan lembaga-lembaga ini kecuali diizinkan oleh Kantor Pengawasan Aset Asing AS (OFAC).
Hal ini dianggap akan mengganggu kemampuan VEB dan PSB untuk menjalankan fungsi dasar dalam sistem keuangan internasional sekaligus membatasi kemampuan Rusia untuk membiayai kontrak terkait pertahanan dan mengumpulkan dana baru untuk membiayai kampanyenya melawan Ukraina.
Kedua, pembekuan semua properti dan investasi individual-individual yang dianggap “dekat” dengan Kremlin (Presiden Putin) di wilayah yurisdiksi AS.
Ketiga, OFAC juga meningkatkan pembatasan transaksi utang negara Rusia, yang ditujukan agar memotong Rusia dari sumber pendapatan untuk mendanai program-program prioritas pemerintah atau Presiden Putin, termasuk invasi lebih lanjut ke Ukraina.
Pembatasan ini secara signifikan memotong Rusia untuk mengumpulkan dana.
Tiga sanksi tersebut dilakukan untuk menekan Rusia sekaligus menekan Putin melalui “orang-orang terdekatnya” agar menghentikan invasi yang dilakukan dan kembali ke meja perundingan.
Inggris memberikan sanksi ekonomi tahap awal yang ditargetkan pada lima bank Rusia dan tiga miliader Rusia menyusul keputusan Presiden Vladimir Putin mengirim pasukan ke Ukraina Timur.
Sanksi yang diberikan pada lima bank Rusia, yaitu Rossiya, IS Bank, General Bank, Promsvyazbank, dan the Black Sea Bank.
Tujuannya membuat Rusia kekurangan akses pembiayaan untuk mengumpulkan uang atau membiayai kembali utangnya termasuk pembatasan akses ke pasar modal.
Selain lima bank Rusia, Inggris juga memberikan sanksi kepada tiga miliader Rusia, yaitu Gennady Timchenko, Boris Rotenberg dan Igor Rotenberg.
Aset tiga individual ini di Inggris akan dibekukan dan mereka dilarang masuk ke Inggris.
Warga negara (dan perusahaan) Inggris pun dilarang untuk berhubungan dan melakukan aktivitas bisnis dengan mereka.
Uni Eropa memberikan sanksi awal dengan pembekuan aset dan larangan perjalanan bagi 35 anggota Duma Rusia yang memberikan voting dukungan pengakuan untuk Donetsk dan Luhansk, 23 individual Rusia serta tiga bank Rusia.
Jerman melakukan penangguhan proses sertifikasi pipa gas Nord Stream 2 yang dirancang membawa gas alam dari Rusia langsung ke Eropa.
Kanada melarang warga Kanada melakukan semua transaksi keuangan dengan Luhansk dan Donetsk termasuk juga dalam pemberian utang negara Rusia.
Sementara Jepang dan Australia memberikan sanksi kepada Rusia berupa larangan penerbitan obligasi Rusia di Jepang, membekukan aset individual-individual Rusia tertentu, dan membatasi perjalanan mereka ke Jepang.
Australia juga menargetkan anggota Dewan Keamanan Rusia dengan pemberian sanksi karena dianggap memiliki perilaku yang buruk.
Semua yang dilakukan oleh negara-negara di atas ditujukan untuk memaksa Rusia menghentikan invasinya ke Ukraina dan mengedepankan diplomasi damai di meja perundingan.
Dampak Perekonomian Global
Invasi Rusia ke Ukraina yang dimulai hari ini, tentu akan memberikan dampak berantai (multiplier effect) terhadap perekonomian global.
Dunia masih belum pulih dari pandemi Covid-19 yang memberikan pukulan telak pada perekonomian hampir seluruh negara di dunia.
Saat ini pun, aktivitas ekonomi global belum pulih akibat munculnya varian baru dari Covid-19.
Pembatasan mobilitas dan perjalanan global, produksi dan distribusi vaksin Covis-19 yang belum memberikan kesempatan setara untuk seluruh manusia, dan meningkatnya jumlah orang miskin membuat perekonomian global masih jauh dari pulih.
Sejak Presiden Putin mengeluarkan instruksi melakukan operasi militer (yang dianggap invasi oleh banyak negara), muncul ketidakpastian ekonomi di berbagai sektor.
Pertama, ancaman terhadap ketersediaan minyak dan gas bagi negara-negara Eropa.
Rusia menguasai 40 persen pasokan gas alam dan 25 persen pasokan minyak di Eropa.
Hal paling dekat yang akan terjadi adalah berkurangnya pasokan minyak dan gas untuk konsumen Eropa yang masih menghadapi musim dingin dalam setidaknya satu bulan ke depan.
Kekurangan pasokan minyak dan gas akan berakibat pada naiknya harga minyak dan gas.
Padahal dalam situasi normal beberapa waktu yang lalu, harga minyak dan gas sudah melonjak naik.
Kedua, naiknya harga minyak dan gas tentu juga akan berpengaruh kepada aktivitas produksi yang sangat mengandalkan minyak dan gas sebagai bahan baku produksi.
Kenaikan harga minyak global tentu akan memberikan pukulan bagi harga jual sektor industri, termasuk Indonesia, apalagi dunia masih berhadapan dengan pandemi Covid-19.
Harapan akan terjadi pemulihan ekonomi tahun 2022 bisa jadi berantakan seiring dengan kenaikan harga barang-barang dan ancaman inflasi.
Ancaman inflasi di Eropa ditakutkan akan memberikan dampak buruk pada pembelian produk-produk impor.
Pasar potensial Eropa akan terganggu karena masyarakat Eropa akan berhitung dengan cermat apa saja kebutuhan dasar mereka untuk dapat berhemat di situasi tidak pasti ini.
Dampaknya adalah pada negara-negara yang terbiasa mengekspor produk-produknya ke pasar Eropa.
Instabilitas kawasan dan ketidakpastian ekonomi akan menyebabkan turunnya pasokan produk ekspor ke wilayah Eropa dan tentu saja perekonomian domestik negara-negara pengekspor.
Walaupun wilayah Eropa bukan tujuan utama produk ekspor Indonesia, akan tetapi turunnya nilai ekspor ke Eropa tentu akan memengaruhi perekonomian domestik termasuk para produsen lokal Indonesia.
Hal ini tentu akan mengganggu proses pemulihan dan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan berbagai negara lain.
Ketiga, instabilitas politik yang terjadi di Eropa memberikan ketidakpastian terhadap sektor keuangan dunia.
Harga-harga saham dan obligasi di berbagai bursa global menunjukkan tren negatif.
Nilai tukar sebagian besar mata uang terdepresiasi jika dibandingkan dengan dollar AS.
Melemahnya nilai tukar tentu akan memberikan dampak serius pada perekonomian domestik, termasuk Indonesia.
Ketidakpastian di pasar sahan dan keuangan akan menyebabkan kehati-hatian investor global dalam menanamkan investasi.
Hal ini tentu berpengaruh pada negara-negara yang sedang menarik para investor untuk pembiayaan program-program pembangunan dan pemulihan ekonomi sebagai respons dari pandemi Covid-19 saat ini.
Invasi Rusia ke Ukraina harus menjadi perhatian semua negara saat ini.
Jika tidak disikapi dengan bijak, maka akan muncul instabilitas politik-ekonomi kawasan yang dapat memberikan dampak serius pada negara-negara di dunia termasuk Indonesia.
Jangan lupa, dunia masih berkutat dengan penyelesaian pandemi Covid-19, jangan pula sekarang dunia harus memecah fokusnya untuk bersiasat mengurangi dampak ketegangan Rusia-Ukraina. (Aknolt Kristian Pakpahan, Dosen Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Katolik Parahyangan)-gun