Oleh AM SIDQI
Baca Juga:
Ketua DPRD Kabupaten OKI, Andriyanto: HUT RI Makna Berkorban demi Bangsa
KETIKA persepsi negatif tentang Islam di tingkat global menguat pascatragedi 9/11, Indonesia menawarkan alternatif dengan wajah Islam moderat (wasathiyah) yang menempatkan Islam, demokrasi, dan modernitas bergandengan tangan.
Indonesia tampil percaya diri sebagai negara mayoritas muslim terbesar di dunia, sekaligus demokrasi terbesar ketiga di dunia.
Baca Juga:
Pertemuan ke-3 SOM Komite Perundingan Perdagangan TPS-OIC: Indonesia Sampaikan Komitmen Selesaikan Proses Ratifikasi
Islam moderat telah menjadi identitas politik luar negeri (polugri) RI sejak pertama kali diperkenalkan Presiden SBY yang menempatkannya sebagai komponen formatif dalam kamus polugri RI.
Hasil kajian Anwar (2011) menemukan hubungan antara Islam dan demokrasi di Indonesia, serta konsekuensinya bagi politik luar negeri mendapat banyak perhatian.
Bahkan, Al Anshori (2016) menunjukkan polugri RI semakin terintegrasi dan mengakomodasi unsur-unsur Islam dan tujuan ormas Islam.
Senada dengan itu, Baihaqie (2017) memandang status sebagai negara mayoritas muslim terbesar telah menjelma menjadi sumber identitas internasional Indonesia.
Kedekatan negara dan Islam yang semakin meningkat, menghasilkan ikatan yang bersahabat dan produktif, memungkinkan Islam untuk memengaruhi kebijakan luar negeri.
Baik secara dialektis, melalui tekanan kelompok muslim terhadap pemerintah, maupun secara damai, melalui penerimaan sukarela negara atas tujuan kelompok muslim.
Namun demikian, efektivitas identitas luar negeri Islam moderat ala Indonesia ini akan terus diuji dan ditentukan kepemimpinan RI pada forum internasional.
Khususnya, pada Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), di samping sebagai proyeksi dan konsekuensi dari situasi domestik.
Pertanyaannya kini, apakah RI cukup optimal memanfaatkan kredensial dan kepemimpinannya pada organisasi internasional antarnegara muslim?
Maju-Mundur RI di OKI
Organisasi Kerja Sama Islam (dahulu bernama Organisasi Konferensi Islam/OKI) adalah organisasi terbesar kedua di dunia setelah PBB, dengan 57 negara anggota yang tersebar di 4 kawasan, yaitu Arab, Afrika, Asia, dan Amerika.
Berdiri atas reaksi pembakaran Masjid Al-Aqsa (1969), OKI menjadikan Al-Quds Al-Sharif, dan perjuangan kemerdekaan Palestina sebagai sebab musabab (raison d"etre), sekaligus kesepakatan dasar organisasi.
Secara umum, struktur OKI dapat dibagi menjadi tiga tingkatan.
Pada tingkat teratas, terdiri dari Islamic Summit (KTT), Council of Foreign Minister (CFM), dan Sekretariat Jenderal.
Adapun pada lapisan tengah terdiri dari komite-komite khusus, yang bertanggung jawab atas urusan Al-Quds, politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, pendidikan, budaya, dan keuangan, dan organ-organ khusus pada lapisan bawah.
Meskipun termasuk pendiri OKI sejak 1969, Indonesia menolak menandatangani Piagam OKI pada 1972, dengan alasan bukan negara Islam.
Situasi politik domestik menjadikan Indonesia berjarak dengan isu dunia Islam.
Baru pada 1991, RI secara resmi menjadi anggota penuh OKI dan Presiden Soeharto pertama kali hadir pada KTT OKI di Dakar, Senegal.
Pada 1996, RI bahkan menjadi tuan rumah CFM ke-24 OKI di Jakarta, dan otomatis menjadi anggota Executive Committee OKI.
Sejak itu, RI mulai sering hadir dan menjadi tuan rumah sejumlah forum OKI, antara lain pertemuan menteri urusan perempuan (2012), International Forum on Islamic Tourism (2014), dan pertemuan menteri urusan tenaga kerja (2015).
Semasa menjabat, Presiden SBY pun tercatat sebagai Kepala Negara RI yang paling sering menghadiri KTT OKI.
Puncaknya ialah penyelenggaraan KTT Luar Biasa OKI tentang Palestina dan Al-Quds Al-Sharif, yang digelar di Jakarta dan dipimpin Presiden Jokowi (2016).
Reputasi Multilevel RI di OKI
Meskipun sempat menjadi anggota "setengah hati", dewasa ini Indonesia semakin menunjukkan reputasi kepemimpinannya pada forum-forum OKI.
Terdapat beberapa level, ketika RI dipercaya dan dapat menunjukkan karakter Islam moderat ala Indonesia kepada dunia. Pertama, pada level individu.
Mantan Presiden SBY, sejak 2016, dipercaya Sekjen OKI untuk menjadi salah satu anggota Wise Persons Council (WPC) OKI.
Sebagaimana namanya, WPC merupakan dewan para pemimpin bijak dunia yang memiliki kredibilitas untuk meningkatkan peran OKI dalam penyelesaian sengketa secara damai dan pencegahan konflik melalui diplomasi preventif, promosi dialog, dan mediasi.
Anggota WPC terdiri, antara lain, dari mantan Kepala Negara RI (SBY), Turki (Abdullah Gul), dan Nigeria (Abdulsalami Abubakr), serta sejumlah menteri negara anggota OKI.
Pembentukan WPC ini berangkat dari kegelisahan bahwa menurut SESRIC (badan subsider OKI), sebanyak 61% konflik bersenjata 2016 terjadi di negara anggota OKI, baik yang dimotivasi ideologi maupun keinginan untuk membangun sistem politik baru, seperti Aljazair (AQIM), Nigeria (Boko Haram), Somalia (Al-Shabaab), Afghanistan dan Pakistan (Al-Qaeda dan Taliban), Yaman (AQAP dan Al-Houthis), Irak (IS), dan Suriah (IS dan Front Al-Nusra).
Para anggota WPC diharapkan dapat menggunakan pengalaman dan jasa baiknya, untuk melakukan diplomasi preventif dan mendukung dialog, mediasi, dan negosiasi di antara pihak-pihak yang berkonflik di dunia Muslim.
Keanggotaan WPC menguatkan pengakuan keberhasilan RI pada penanganan konflik dan deradikalisasi.
Indonesia sejak peristiwa Bom Bali (2002) telah menghadirkan suatu model deradikalisasi dengan tingkat keberhasilan yang baik, terlepas dari dukungan SDM dan pendanaan yang relatif rendah (Sheridan, 2008).
Indonesia telah mengubah pola pendekatan tindakan koersif menjadi pendekatan yang lebih humanis, deradikalisasi ideologi, dan moderasi Islam.
Kedua pada level kelompok di OKI, Indonesia memiliki peran dan jejak yang kuat dalam mendorong dialog dan perdamaian dengan mendirikan Contact Group on Peace and Dialogue (CGPD) sejak 2019.
Pada awalnya, CGPD ini dimaksudkan sebagai terobosan untuk membangun strategi solusi, atas masalah yang dihadapi negara-negara dunia Islam.
Namun, pada perkembangannya, ketika terjadi serangan teror terhadap masjid di Christchurch, Selandia Baru (2019), CGPD mendapat mandat untuk menguatkan upaya pencegahan diskriminasi agama, Islamofobia, intoleransi, dan kebencian terhadap umat Muslim.
Melalui wasilah CGPD pula, RI mendorong OKI bekerja sama dengan PBB dan Uni Eropa dalam pemantauan dan pelaksanaan dialog konstruktif terhadap isu Islamofobia.
Melalui CGPD ini, prinsip Islam moderat pada kepemimpinan RI diuji.
CGPD dengan cepat berkembang menjadi forum anggota OKI untuk membahas isu-isu nontradisional yang sulit mendapatkan tempat pada struktur formal OKI, dan menjadi forum pertemuan negara anggota OKI, untuk mencari titik temu pada isu sensitif tanpa hambatan politis.
Hasilnya, Indonesia berhasil memasukkan prinsip Islam moderat melalui dokumen keluaran CGPD yang disebut Plan of Action on Islamophobia, Religious Discrimination, Intolerance and Hatred Towards Muslims 2020-2023, yang kini menjadi patokan seluruh dunia.
Ketiga, pada level struktur kelembagaan, OKI memiliki badan subsider yang mengemban tugas menjadi think-tank rujukan fikih (yurisprudensi Islam), bagi komunitas-komunitas muslim di dunia, yaitu International Islamic Fiqh Academy (IIFA).
Dewan IIFA mewadahi 57 ulama wakil dari negara OKI merupakan organisasi fikih terbesar di dunia, yang secara periodik menyelenggarakan seminar mengenai fatwa dan pandangan terhadap isu-isu terkini, menerbitkan jurnal dan publikasi, serta proyek ilmiah seperti ensiklopedia hukum Islam.
Menariknya, IIFA tidak hanya berkutat pada kaidah fikih klasik, tetapi juga berperan strategis dalam penentuan kaidah fikih kontemporer, seperti zakat untuk pengungsi (UNHCR), pemberantasan terorisme dan ekstremisme, persaudaraan Sunni-Syiah, vaksin Covid-19, dan etika medis (transplantasi organ, kematian otak, dan puasa untuk orang diabetes).
Sayangnya, sudah dua dekade, RI tidak memiliki wakil pada Dewan IIFA.
Pada 1983, Indonesia sangat aktif di Dewan IIFA dengan wakil Dr Ahmad Azhar Basyir (pernah menjabat Ketum PP Muhammadiyah 1990-1995), lalu dilanjutkan Satria Effendi (1996-2000).
Padahal, kehadiran wakil Indonesia pada Dewan IIFA sangat bernilai strategis, mengingat dapat mewakili khazanah pemikiran mazhab Syafii dan Muslim Nusantara.
Yang tidak kalah penting, keaktifan kembali RI pada Dewan IIFA bernilai strategis, untuk mewarnai pemikiran negara anggota OKI dengan Islam moderat ala Indonesia, sekaligus menjadi lokomotif pemikiran fikih perihal instrumen keagamaan kontemporer, seperti Badan Wakaf, Gerakan Wakaf Uang, dan Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), sebagai sovereign welfare fund.
What"s Next?
Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia ialah natural leader dunia Muslim yang memiliki kewajiban moral untuk mengembangkan OKI.
Selain inisiatif existing, Indonesia direncanakan akan menggelar dua hajatan besar di OKI, yakni Donor Conference for East Jerusalem 2022 dan Keketuaan RI pada OKI 2024-2026.
Inisiatif penyelenggaraan Donor Conference for East Jerusalem dikemukakan RI pada CFM ke-47 OKI di Niger (2020), sebagai upaya menghimpun dana untuk mempersiapkan Jerusalem Timur sebagai ibu kota masa depan Palestina.
Jerusalem sebagai ibu kota masa depan negara Palestina terus mengalami perusakan dan Yahudisasi demografi, fisik, dan budaya oleh Israel melalui perluasan permukiman, evakuasi paksa, penghapusan hak tinggal, pembongkaran rumah, penyitaan properti, pencabutan kewarganegaraan warga Palestina, dan praktik kekerasan lainnya.
Kerusuhan Sheikh Jarrah (Mei 2021) hanya puncak gunung es dari protes kebijakan Yahudisasi Jerusalem.
Hajatan besar kedua, ialah pada 2024/2025, Indonesia untuk pertama kalinya akan menjadi tuan rumah KTT reguler ke-16 OKI.
Ini berarti RI akan menjadi Ketua Executive Committee OKI, hingga pelaksanaan KTT selanjutnya 2-3 tahun mendatang.
Sebagai Ketua OKI, RI akan memimpin dunia Muslim untuk merespons berbagai isu dunia dengan cepat dan solutif.
Dua hajatan akbar ini memerlukan persiapan infrastruktur, modalitas, dan substansi diplomasi, agar tidak berujung sekadar rutinitas seremonial.
Sebagai organisasi terbesar kedua, dengan sebaran anggota di empat kawasan, OKI merupakan grouping yang efektif untuk konsolidasi isu dunia Muslim di PBB, dan organ-organ lainnya, seperti isu Palestina, Afghanistan, atau pengungsi Rohingya.
Melalui dua hajatan ini, karakter Islam moderat, seperti inklusif, moderasi, dan eksternalisasi, yang telah mewarnai pola diplomasi RI di ASEAN dapat menjadi model baru untuk dibawa ke OKI.
Khusus pada Keketuaan RI di OKI, prinsip Islam moderat ala Indonesia akan mendapatkan panggung terbaik, sekaligus ujian terberatnya yang belum pernah dimiliki sebelumnya.
Apakah Islam moderat ala Indonesia dapat mendorong solusi bagi permasalahan dunia?
Atau hanya akan menjadi ajang pembuktian tesis Sukma (2004), bahwa isu Islam dalam polugri RI hanya bergumul pada aspek nonsubstansi dan kemelut dilema identitas ganda politik dalam negeri kita. (AM Sidqi, Diplomat di KBRI Riyadh, Arab Saudi)-qnt
Artikel ini sudah tayang di mediaindonesia.com dengan judul "Islam Moderat dan Kepemimpinan RI di OKI". Klik untuk baca: mediaindonesia.com/opini/430245/islam-moderat-dan-kepemimpinan-ri-di-oki.