Oleh ASTRID AYU BESTARI
Baca Juga:
Banyak Mendapat Penolakan, UU Tapera Digugat ke MK
DEWASA ini, pekerja anak masih dan terus menjadi masalah yang tak kunjung terselesaikan di dunia.
Berdasarkan laporan terbaru dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) - Unicef, per awal 2020, sekitar 160 juta anak --63 juta anak perempuan dan 97 juta anak laki-laki-- menjadi pekerja anak.
Baca Juga:
Mimpi Indonesia Emas 2045 Terancam: 40 Juta Penduduk Terjebak Gaji Rendah
Secara kasar dapat disebut, hampir setiap satu dari sepuluh anak di seluruh dunia merupakan pekerja.
Sementara itu 79 juta anak, hampir setengah dari pekerja anak di dunia, berada dalam pekerjaan berbahaya yang secara langsung membahayakan kesehatan, keselamatan, dan perkembangan moral mereka.
Anak pada dasarnya memiliki hak asasi manusia yang sama dengan orang dewasa.
Setiap anak perempuan dan laki-laki memiliki kesempatan untuk berkembang secara fisik dan mental secara maksimal.
Sayangnya, karena kurangnya pengetahuan, pengalaman, dan perkembangan fisik serta kekuatan untuk membela kepentingan mereka sendiri di dunia orang dewasa, menjadikan anak juga memiliki satu hak yang berbeda, yaitu hak atas perlindungan.
Lebih detailnya yaitu hak perlindungan dari eksploitasi ekonomi dan dari pekerjaan yang berbahaya bagi kesehatan dan moral anak atau yang menghambat tumbuh kembang anak.
Pada dasarnya, anak bukannya dilarang bekerja sama sekali.
Standar perburuhan internasional pun telah membuat pembeda antara bentuk pekerjaan yang dapat diterima dan tidak dapat diterima untuk anak, sesuai usia dan tahap perkembangan mereka.
Perlakuan ini diterapkan mulai dari pekerjaan formal hingga informal, di mana sebagian besar bentuk-bentuk pekerja anak yang tidak dapat diterima, ditemukan.
Bentuk pekerjaan yang tak dapat diterima itu mencakup pekerjaan di perusahaan berbasis rumah tangga, usaha pertanian, jasa rumah tangga, dan pekerjaan tak dibayar lain yang dilakukan karena adat istiadat, di mana anak-anak bekerja sebagai imbalan atas makan dan minum mereka.
Anak mungkin terdorong untuk bekerja karena berbagai alasan.
Paling sering, anak terpaksa bekerja ketika keluarga menghadapi tantangan keuangan atau ketidakpastian, baik itu karena kemiskinan, orangtua yang mendadak sakit, maupun pencari nafkah utama kehilangan pekerjaan.
Pekerjaan Rumah Besar
Konsekuensi dari anak yang bekerja sangat mencengangkan.
Pekerjaan anak dapat mengakibatkan kerusakan fisik dan mental yang ekstrem bahkan kematian.
Ini bentuk dari praktik perbudakan dan eksploitasi seksual serta ekonomi.
Di hampir setiap kasus, keputusan untuk bekerja membuat anak berhenti bersekolah dan kehilangan hak atas pemenuhan kebutuhan kesehatan dasar, membatasi hak-hak dasar dan mengancam masa depan mereka.
Berbagai upaya telah dilakukan di seluruh pelosok negara untuk menghentikan praktik pekerja anak, sayangnya sampai saat ini pekerja anak masih dan terus ada bahkan dapat kita temui di lingkungan sekitar kita.
Coba berhenti sesaat dan renungkan, berapa banyak pekerja anak yang kita temui hari ini, yang bekerja sebagai loper koran, pemulung, atau pengamen?
Pekerja anak ini terus ada karena orang-orang menerimanya dan mencari-cari alasan untuk menormalkannya.
Hak-hak anak tidak dihormati, perjanjian dan konvensi internasional tidak dipatuhi, serta sistem pendidikan masih mengecualikan anak-anak miskin dan rentan.
Selain itu, konsumen menuntut produk murah sehingga digunakanlah pekerjaan anak yang murah untuk memangkas ongkos produksi, rumah tangga mempekerjakan anak sebagai asisten rumah tangga karena biaya jasa yang lebih murah, serta tidak tersedianya pekerjaan yang layak untuk orang dewasa mengharuskan anak untuk bekerja.
Tetapi yang paling utama, pekerja anak masih ada karena kita belum cukup berusaha untuk menghentikannya.
Pada dasarnya, anak bukannya dilarang bekerja sama sekali.
Berdasarkan data Sakernas pada Agustus 2020, diketahui 3,25 persen anak yang berusia 10-17 tahun merupakan pekerja anak (mencapai 1,4 juta anak), dengan proporsi anak perempuan berusia 10-17 tahun yang bekerja sebanyak 3,16 persen (lebih dari 600.000) dan proporsi anak laki-laki yang bekerja 3,34 persen (lebih dari 700.000).
Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan merupakan lima provinsi dengan jumlah pekerja terbanyak di Indonesia, yaitu dengan jumlah pekerja anak lebih dari 100.000 orang di setiap provinsi ini.
Pandemi Covid-19 turut berperan dalam peningkatan pekerja anak di seluruh dunia.
Unicef memperkirakan tambahan sekitar 9 juta pekerja anak di seluruh dunia sebagai akibat pandemi Covid-19.
Analisis terbaru dari ILO-Unicef menunjukkan 8,9 juta anak di dunia akan menjadi pekerja anak pada akhir 2022 sebagai akibat dari meningkatnya kemiskinan yang didorong oleh pandemi.
Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, terlihat peningkatan jumlah pekerja anak yang berusia 10-17 tahun antara tahun 2019 dan 2020, yaitu dari 2,25 persen menjadi 3,25 persen.
Peningkatan tertinggi terjadi pada pekerja anak perempuan, yaitu dari 1,96 persen meningkat menjadi 3,16 persen pada tahun 2020.
Apa pun alasannya, pekerja anak memperparah ketidaksetaraan dan diskriminasi sosial, serta merampas masa kanak- kanak anak perempuan dan laki-laki.
Berbeda dengan aktivitas- aktivitas yang membantu perkembangan anak, seperti berkontribusi pada pekerjaan rumah yang ringan atau mengambil pekerjaan selama liburan sekolah, pekerja anak membatasi akses ke pendidikan dan membahayakan pertumbuhan fisik, mental, dan sosial anak.
Pekerjaan rumah besar pemerintah untuk mengatasi kemelut pekerja anak di Indonesia. (Astrid Ayu Bestari, Koordinator Fungsi Seksi Statistik Sosial Badan Pusat Statistik Kabupaten Timor Tengah Selatan)-dhn
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul “Kemelut Pekerja Anak”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/22/kemelut-pekerja-anak/.