DI tengah dunia yang semakin modern, kita sering membanggakan pencapaian perempuan: tingkat pendidikan meningkat, akses pekerjaan lebih terbuka, ruang berpendapat makin luas.
Namun ada satu pola yang terus berulang, begitu halus hingga sering kita anggap wajar: perempuan diadu dengan perempuan lain.
Baca Juga:
Empat Alasan Penting Perempuan Harus Berdaya dan Mandiri Secara Finansial
Mulai dari sekolah, tempat kerja, hingga relasi romantis, perempuan seakan dibesarkan dalam atmosfer kompetisi yang melelahkan, bukan untuk meraih mimpi, tetapi untuk mengalahkan sesamanya.
Riset-riset sosial terkini menunjukkan bahwa dinamika ini bukan sekadar karakter atau “bawaan” perempuan, tetapi hasil konstruksi sosial yang sudah mengakar.
Lingkungan kita, baik budaya maupun media, sering kali meneguhkan narasi bahwa nilai seorang perempuan ditentukan oleh dua hal: penampilan dan relasi.
Baca Juga:
Mengenal Lebih Dekat Kanker Payudara yang Diderita Mpok Alpa
Akibatnya, banyak perempuan tumbuh tanpa kesempatan memahami nilai dirinya secara penuh, lalu mencari validasi dari sumber-sumber yang rapuh, termasuk dari relasi yang tidak sehat.
Salah satu manifestasi paling sunyi dari masalah ini adalah kecenderungan sebagian perempuan untuk terlibat dalam relasi dengan laki-laki yang sudah berpasangan.
Tidak semua kasus sama, tentu. Ada yang naïf, ada yang tersesat, ada yang terjebak dinamika manipulative. Tetapi di balik variasi itu, ada pola besar yang tak bisa kita abaikan: perempuan yang tidak pernah diajarkan bahwa mereka layak dicintai tanpa harus merebut posisi perempuan lain.