Di sinilah akar persoalannya. Selama kita masih membiarkan narasi bahwa perempuan harus bersaing, maka luka sosial ini akan terus diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Upaya memperbaikinya tak bisa hanya lewat ceramah moral, tetapi melalui pendidikan emosional yang konsisten sejak dini, di rumah, di sekolah, dan di ruang publik.
Baca Juga:
Empat Alasan Penting Perempuan Harus Berdaya dan Mandiri Secara Finansial
Jika kita sungguh ingin memutus siklus ini, maka kita perlu mulai mengajarkan anak perempuan bahwa mereka berharga tanpa harus bersaing dengan perempuan lain; bahwa harga diri bukanlah sebuah kompetisi.
Mereka perlu memahami bahwa kecerdasan dan integritas jauh lebih penting daripada penampilan yang sewaktu-waktu bisa memudar.
Kita juga perlu menanamkan bahwa mereka berhak berkata “tidak”, karena batasan adalah bentuk cinta pada diri sendiri.
Baca Juga:
Mengenal Lebih Dekat Kanker Payudara yang Diderita Mpok Alpa
Penting pula bagi mereka untuk mengetahui bahwa cinta yang sehat tidak menyakiti perempuan lain, dan hanya mereka yang benar-benar mengetahui nilai dirinya yang mampu memilih relasi yang sehat.
Pada akhirnya, mereka mesti diyakinkan bahwa validasi terbaik datang dari pencapaian, bukan dari relasi dengan seseorang yang sudah berpasangan; karena validasi eksternal hanyalah bonus, bukan fondasi.
Semuanya kembali pada prinsip yang amat sederhana: perempuan tidak harus saling menjatuhkan untuk menjadi berharga. Kita bisa menciptakan budaya yang lebih sehat, budaya yang merayakan integritas, menguatkan batasan pribadi, dan menegaskan bahwa relasi yang baik tak pernah lahir dari luka orang lain.