WahanaNews.co | Pembangunan infrastruktur yang digenjot habis-habisan pada era pemerintahan Presiden Jokowi pada akhirnya menggunakan model pembangunan infrastruktur dengan model KPBU (Kerjasama Publik dengan Badan Usaha) membuat BUMN yang terlibat tersengal-sengal dan mencari investor yang mau membeli hak konsesi pengelolaannya. Penjualan konsesi jalan tol marak dilakukan oleh Badan Usaha Jalan Tol (BUJT) dengan tujuan supaya dapat terus membangun jalan tol lain tanpa harus membebani APBN serta melunasi pinjaman yang terus membengkak.
Sebagai contoh, beberapa pengelolaan jalan tol sudah dan akan berpindah tangan ke pihak lain, termasuk beberapa ruas Jaringan Tol Trans Jawa (JTTJ) dan Jaringan Tol Trans Sumatera (JTTS) yang sedang dicarikan investor baru melalui skema dengan Indonesia Investment Authority (INA) yang merupakan sovereign wealth fund Indonesia. Melalui dana investasi yang nantinya dikelola oleh INA, diharapkan akan berkontribusi pada pembangunan ekonomi Indonesia yang berkelanjutan supaya dapat menciptakan kemakmuran bagi generasi mendatang.
Baca Juga:
Gubernur Sulteng Rusdy Mastura Tinjau Inseminasi Buatan Sapi di Kabupaten Banggai
Saat ini INA telah mendapatkan modal awal dan sudah disetorkan pemerintah sebesar Rp 75 triliun. Memang bentuknya tidak semua dana tunai tetapi ada inbreng sebagian saham seri B milik Negara Republik Indonesia di dua badan usaha milik negara (BUMN) senilai Rp 45 triliun. INA merupakan lembaga investasi RI yang langsung melapor kepada Presiden dan diberi kewenangan khusus (sui geneis). Pertanyaannya, bisakah INA berperan sebagai penyelamat pembangunan infrastruktur Indonesia ?
Dalam tulisan saya kali ini akan menggunakan contoh investasi jalan tol, khususnya penawaran tiga ruas JTTS oleh PT Hutama Karya (HK) ke INA yang sudah berproses lebih dari satu tahun, namun belum tuntas meskipun sudah pada tahap penandatanganan Head of Agreement antara INA dengan PT HK pada pertengahan April 2022 lalu. Proses berlanjut dengan due diligence (DD) oleh INA. Namun hingga artikel ini saya tulis belum ada keputusan dari INA. Disepakati atau tidak, pengambilalihan tiga ruas JTTS tersebut akan dilakukan. Belum adanya kepastian dari INA tentu menghambat gerakan PT HK untuk melanjutkan pembangunan JTTS.
Permasalahan Realisasi dan Peran
Baca Juga:
Optimalkan pada Inovasi: Semen Merah Putih Capai Prestasi di Tengah Tantangan Regional
Melalui Peraturan Presiden No. 100 Tahun 2014 yang kemudian direvisi menjadi Peraturan Presiden No. 117 Tahun 2015, pemerintah memberi amanat kepada PT HK untuk membangun dan mengembangkan JTTS. Jalan tol ini akan menghubungkan Lampung hingga Aceh melalui 24 ruas jalan berbeda yang panjang keseluruhannya mencapai 2.704 km. Pekerjaan telah dimulai pada 2015 dan diharapkan akan beroperasi penuh pada 2024, dengan nilai investasi sebesar Rp 206,40 triliun.
Dalam perjalanannya PT HK kekurangan dana investasi dan untuk itu PT HK telah menawarkan tiga ruas JTTS ke INA, yaitu ruas Bakauheni - Terbanggi Besar (140,4 Km), Terbanggi Besar - Kayu Agung (189,4 Km), dan Medan - Binjai (13 Km) yang telah beroperasi kepada INA untuk dicarikan investor sebagai pengelola. Ruas Bakauheni - Kayu Agung dibangun oleh PT Waskita Karya, dan PT HK sebagai pengelola konsesi. Proses bisnis terus berjalan dan saat ini PT HK sedang menunggu keputusan INA terkait pengalihan pengelolaan tiga ruas JTTS yang ditawarkan oleh PT HK.
Sebagai catatan, INA dibentuk melalui UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Ciptaker untuk menjawab persoalan struktural pembiayaan pembangunan di Tanah Air. Munculnya INA diharapkan dapat menjadi dewa penyelamat pembangunan infrastruktur di tengah cekaknya APBN dan target pembangunan yang sudah disepakati. Akibatnya banyak BUMN yang likuiditasnya bermasalah dalam pembangunan infrastruktur skema KPBU, tertarik untuk menjual pengelolaan asetnya ke INA. Sayang sampai hari ini masih banyak hambatan yang harus dihadapi dalam mencari investor yang tertarik kepada infrastruktur di Indonesia karena tidak semua proyek berpotensi ciamik.
Selain itu ada dua peraturan perundangan lain yang memayungi INA, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 73 Tahun 2020 tentang Modal Awal LPI dan PP No. 74 Tahun 2020 tentang LPI, INA atau LPI bertugas merencanakan, menyelenggarakan, mengawasi, mengendalikan, dan mengevaluasi investasi. Dalam menjalankan tugasnya, INA dapat menjalin kerja sama dengan mitra investasi, manajer investasi, BUMN, badan atau lembaga pemerintah, atau entitas lainnya, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
Setelah melalui pembahasan di DD yang cukup berliku terkait dengan asumsi trafik dan bangkitan ekonomi, pajak (PPh atau PPn) dan masa pengelolaan, di tiga ruas JTTS, DD selesai pada September 2022. Diharapkan setelah September 2022 atau paling lambat akhir 2022, tiga ruas yang ditawarkan oleh PT HK, pengelolaan atau konsesinya sudah bisa beralih ke investor INA termasuk seluruh penanganan pinjaman yang saat ini menjadi beban PT HK.
Namun disayangkan, menurut berita terakhir, calon investor INA yang terdiri dari Caisse de dépôt et placement du Québec (CDPQ), APG Asset Management (APG) dan anak usaha Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) yang semula berminat pada tiga ruas JTTS tersebut, diduga membatalkan investasinya karena hasil DD di dua ruas JTTS tidak sesuai dengan ekspektasi mereka. Tentu jika ini terjadi, kelangsungan pembangunan JTTS akan terganggu atau tertunda karena INA atau PT HK harus mencari investor baru. Selain dengan PT HK, INA juga sudah mengantongi HoA dengan BUMN lain, seperti PT Pelindo melalui Belawan New Container Terminal (BNCT) dan sudah melakukan HOA dengan DP World.
Kita semua berharap proyek-proyek yang sudah jadi pasien INA dapat segera memperoleh investor. Sehingga proyek KPBU yang sudah selesai pembangunannya, pengelolaan berikut kewajibannya pada lembaga keuangan atau perbankan dapat diambil alih oleh investor dalam kurun waktu, misalnya 50 tahun atau lebih, sebelum nantinya dikembalikan lagi ke pemerintah Indonesia.
Langkah Strategis
Untuk memperoleh keberhasilan sesuai dengan rencana memang tidak mudah. PT HK sebagai BUMN yang ditugasi membangun JTTS tentunya berharap besar pada INA supaya dapat segera menyelesaikan penugasan pemerintah tersebut. Jika terjadi hambatan (usulan ditolak karena hasil uji teknis aset atau DD tidak memenuhi hitungan komersial) ada baiknya Menteri PUPR, Menteri BUMN, dan Menteri Keuangan segera duduk bersama untuk dapat memberikan arahan kepada BUMN pemohon dan juga jajaran INA. Jalan yang ditempuh sudah panjang, namun jika gagal harus segera dicarikan solusinya supaya PT HK bisa melanjutkan pembangunan JTTS.
Langkah lain, segera INA bersama pemerintah (jika belum) membuat peta jalan (roadmap) investasi, menuntaskan konsolidasi internal, menerbitkan berbagai aturan turunan tentang INA, dan memastikan kelembagaan INA ke depan. Jika pemerintah memutuskan INA menjadi Kementerian Investasi, perubahan harus dilakukan secepatnya guna memberikan kepastian kepada investor. Patut diduga investor juga bingung membedakan peran INA dengan Kementerian Investasi, Kementerian Koordinator Maritim dan Investasi, dan lain-lain. Untuk itu diperlukan komunikasi yang baik dari INA ke banyak pihak terkait. Artikel ini telah terbit di Detiknews [ast]