Oleh AGUS SUDIBYO
Baca Juga:
Upaya Wujudkan Jurnalisme Berkualitas, Presiden Jokowi Teken Perpres Publisher Rights
PLATFORM sesungguhnya semacam selubung linguistik (linguistic cloak).
Istilah ini sengaja diciptakan untuk menyamarkan fakta di seputar operasionalisasi perusahaan teknologi digital global.
Baca Juga:
Mendag: Platform Digital Harus Bermanfaat dan Tak Rugikan UMKM
Para sarjana penganjur studi platform (platform studies) berpandangan istilah platform digunakan untuk mempropagandakan imparsialitas, netralitas, dan sikap non-intervensi perusahaan-perusahaan itu.
Dengan menyebut diri platform, mereka berusaha mengambil posisi “aman” di hadapan pengguna, rekanan, pengiklan, dan pembuat kebijakan.
Aman dalam pengertian terbebas dari tanggung jawab atas penyebaran konten dan percakapan sosial yang mereka fasilitasi, juga dalam pengertian tidak menjadi obyek kritik yang lazim ditujukan pada pihak yang memediasi arus informasi atau diskusi publik.
Seperti dijelaskan Tarleton Gillespie, istilah platform menyeruak perbincangan publik dengan suatu ambiguitas.
Di satu sisi, platform digital seperti Google dan Facebook menempatkan diri sebagai penyelenggara dan kurator ruang publik digital.
Di sisi lain, mereka merasa tak bertanggung-jawab atas konten yang menyebar atau didiskusikan di ruang publik itu.
Padahal, persebaran konten dan diskusi di ruang media sosial tidak sepenuhnya terjadi secara alamiah, alih-alih melalui intervensi algoritmis platform digital.
Algoritma ini menyeleksi, menata dan memberi prioritas atas konten pengguna, serta menentukan tipe percakapan yang direkomendasikan untuk diikuti pengguna.
Platform digital dalam hal ini secara arbitrer menerapkan parameter utama penyebaran konten pengguna: shareability.
Algoritma platform digital tanpa banyak disadari juga membentuk gelembung-gelembung isolatif yang mengurung pengguna untuk terus berasyik-masyuk dalam kerumunan orang-orang dengan kesamaan ideologis, identitas, orientasi ekonomi atau gaya hidup.
Maka, bagi peneliti studi platform seperti Gillespie, klaim imparsialitas dan netralitas platform digital itu tidak masuk akal dan cenderung menyesatkan.
Terlebih-lebih, semakin lama semakin terungkap platform digital memanfaatkan konten dan percakapan pengguna sebagai “umpan” untuk menjalankan surveilans dan penambangan data.
Bukan Sekadar Perantara
Platform digital dalam hal ini merujuk pengertian situs dan layanan internet yang menyelenggarakan ekspresi dan interaksi publik, menyajikannya secara terbuka, mendukungnya dengan teknologi cloud, memfasilitasi akses pengguna internet atasnya melalui mesin pencarian, sistem rekomendasi, atau melalui perangkat mobile.
Khususnya dalam konteks AS, platform memiliki persamaan kata, yakni perantara online (online intermediaries) dan layanan komputasi interaktif (interactive computing services).
Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mendefinisikan perantara online sebagai entitas yang memfasilitasi transaksi atau interaksi antar pihak lewat internet.
Perantara online menyediakan layanan dasar internet untuk pihak ketiga, juga secara aktif mengumpulkan, mengindeks, menyajikan dan menyebarkan konten, produk dan layanan milik ketiga melalui sistem internet yang mereka sediakan untuk dapat diakses secara terbuka oleh khalayak.
Pengertian platform atau perantara online di sini mencakup media sosial seperti Facebook, Youtube, Twitter, Tumblr, Blog, Instagram Pinterest, Google+, Snapchat, mesin pencari seperti Google search, Bing, Baidu, dan lain-lain.
Satu hal yang menyatukan berbagai jenis platform ini menurut Gillespie adalah mereka umumnya tidak memproduksi konten sendiri.
Mereka notabene mengorganisasikan dan menyajikan konten pihak lain untuk dikonsumsi publik.
Meskipun tak membuat konten, dalam praktiknya platform secara algoritmis menentukan konten mana yang akan didistribusikan dan mana yang tidak, kepada siapa konten didistribusikan, parameter apa yang mesti diperhitungkan si pembuat konten, serta bagaimana pembuat konten berinteraksi dengan pengguna konten.
Dalam perkembangannya kemudian terbukti bahwa perantara online juga memonetisasi konten pihak lain dan interaksi di seputar konten itu tanpa mekanisme pembagian keuntungan yang adil, transparan, dan proporsional.
Merebaknya istilah platform digital dalam perbincangan publik dewasa ini lebih jauh lagi mengindikasikan transformasi perusahaan teknologi internet global.
Dari sekadar penghasil perangkat keras atau lunak komputasi, penyedia layanan web, ISP atau percakapan sosial, Google, Facebook, Microsoft dan lain-lain kini telah menjadi regulator sekaligus episentrum ruang publik digital.
Inovasi teknologi digital yang terus bermunculan telah menempatkan diri mereka sebagai titik-hubung yang harus dilalui dalam lalu lintas informasi antara produsen dan konsumen informasi di seluruh dunia.
Pada awalnya, platform digital mungkin berperan sekadar sebagai pengumpul konten dari berbagai sumber dengan mengambil sedikit nilai tambah, atau menjadi penyedia layanan internet yang mendukung transmisi konten secara digital.
Namun dalam perkembangannya, mereka mengambil peran yang semakin menentukan dalam distribusi dan monetisasi konten.
Keberhasilan mempertemukan penawaran dan permintaan konten dalam skala mondial secara cepat, otomatis, dan interaktif, mendorong mereka beranjak dari sekadar menjadi pengepul dan penyaji konten.
Mereka adalah publisher konten par excellent!
Menggunakan istilah Nikos Smyrnaios, platform digital menjalankan fungsi news infomediation.
Dengan bersandar pada keunggulan teknologi dan keluasan jaringan yang umumnya tak dimiliki produsen konten, peran perantara dalam konteks news infomediation tidak sekadar merujuk pada fungsi agregator konten.
Dalam praktiknya, platform digital adalah pemain utama sekaligus wasit yang menentukan standar dan mekanisme pendistribusian konten berikut proses monetisasi konten dan periklanan digital yang menyertainya.
Melalui pengoperasian algoritma yang kompleks, sekali lagi dijelaskan platform digital melakukan kurasi dan seleksi atas konten, menyajikannya dalam suatu hierarki berdasarkan parameter yang mereka tetapkan sendiri, mengelola interaksi sosial di sekeliling konten.
Mereka memiliki pengaruh tak tertandingi pada aras produksi, distribusi dan konsumsi konten.
Meletakkan diri sebagai jantung jagat digital, mereka mampu menyerap bagian terbesar surplus ekonomi yang tercipta dan melahirkan hubungan kian timpang dengan penerbit media dan penghasil konten lain.
Peran platform atau perantara digital kian lebar, dalam dan sangat kuat menembus ruang privat maupun ruang bermasyarakat dewasa ini.
Mereka turut menentukan apa yang penting atau tak penting bagi publik.
Mereka secara determinatif menentukan konten jenis apa yang akan dikonsumsi pengguna, tipe percakapan mana yang perlu diikuti dan dengan siapa pengguna mesti bergunjing saban hari.
Mereka secara laten melakukan surveilens terhadap khalayak untuk menghasilkan data pengguna.
Disebut sebagai the new oil, data pengguna inilah sesungguhnya pamrih utama platform digital.
Data pengguna diolah untuk menghasilkan profil dan prediksi perilaku pengguna yang menjadi dasar dari praktik periklanan digital, propaganda komputasional dan proses machine learning.
Data pengguna yang tak pernah dimiliki lagi oleh si pengguna.
Dengan menguasai profil miliaran orang pengguna internet secara global, tak pelak lagi platform digital itulah penguasa dunia sesungguhnya.
Jangkauan Regulasi Media
Dengan latar persoalan seperti di atas, studi platform beranggapan platform digital semestinya mengemban tanggung jawab lebih besar dan nyata terkait operasi mereka sebagai perantara digital sekaligus kurator ruang publik digital.
Tanpa menihilkan kontribusi positif mereka, klaim netralitas, imparsialitas dan non-intervensi platform digital perlu terus dipersoalkan agar tak jadi mitos yang mengecoh masyarakat.
Seperti dinyatakan Gillespie, dalam memediasi serta memonetisasi arus informasi dan percakapan publik, platform digital sesungguhnya berada dalam kategori sama dengan media massa.
Mereka semestinya tunduk pada rezim regulasi media atau komunikasi massa, dan semakin kurang relevan berlindung di bawah prinsip safe harbor.
Seperti diatur dalam Seksi 230 UU Telekomunikasi AS tahun 1996, prinsip safe harbor menyatakan perantara digital tak dibebani tanggung jawab atas konten atau percakapan yang mereka fasilitasi penyebarannya.
Pertimbangannya, perantara digital hanya memerantai konten, tidak melakukan monetisasi dan tidak berperan sebagai publisher.
Ditegaskan Gillespie, regulasi safe harbor itu tak didesain untuk platform media sosial dengan lingkup operasi yang kompleks seperti belakangan ini.
Safe harbor dimaksudkan untuk mengatur perusahaan ISP, website amatir, desainer website, komunitas diskusi daring, dan mesin pencari format paling awal seperti Yahoo dan Altavista.
Saat safe harbor dilembagakan, Facebook, Twitter, Google Search belum mencapai tahap perkembangan yang memungkinkannya menjalankan kurasi algoritmis, monetisasi konten, surveilens, penambangan data yang sangat ekstensif sekaligus intensif seperti belakangan ini.
Saat itu, juga belum ada masalah penyebaran ujaran kebencian, kabar bohong dan berita palsu melalui platform medsos yang memecah belah masyarakat, khususnya dalam momentum pemilu, di berbagai negara seperti terjadi dewasa ini.
Juga belum ada komplikasi penggunaan platform medsos sebagai corong propaganda teroris, sarana penyebaran konten pornografi, rasialisme dan konten merusak lainnya.
Belum ada skandal Cambridge Analytica yang menghebohkan dunia itu!
Singkat kata, prinsip safe harbor tak memadai sebagai mekanisme perlindungan bagi platform digital dari tuntutan tanggung jawab atas dampak yang mereka timbulkan dewasa ini.
Namun, fakta menunjukkan, dalam berbagai kasus, mereka masih coba berlindung di balik prinsip safe harbor itu.
Mereka tetap berpretensi sebagai platform digital imparsial, netral, non-intervensi, meski fakta-fakta mengemuka justru berjalan ke arah sebaliknya.
Mereka selalu mempropagandakan diri sebagai kapitalisme baik hati yang semestinya terbebas dari tanggung jawab sebagai kurator ruang publik digital global sekaligus pengendali arus informasi daring.
Bahwa transformasi digital membawa gelombang demokratisasi dan deliberasi adalah fakta tak terbantahkan.
Bahwa platform digital membawa kemungkinan-kemungkinan perubahan tak bisa dimungkiri.
Namun, fakta juga menunjukkan sepak terjang mereka telah melahirkan masalah-masalah yang mengancam sendi-sendi demokrasi, keadaban publik, persaingan usaha yang sehat dan iklim good journalism.
Mereka pada galibnya entitas bisnis yang sangat menonjolkan kepentingan yang partikular.
Maka klaim-klaim tentang netralitas, imparsialitas dan non-intervensi itu mesti senantiasa diuji secara proporsional dan kontekstual. (Agus Sudibyo, Dosen ATVI Jakarta, Ketua Hubungan Antar-Lembaga dan Luar Negeri Dewan Pers)-dhn
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul “Mempersoalkan Imparsialitas Platform Digital”. Klik untuk baca: https://www.kompas.id/baca/opini/2021/09/23/demitologi-imparsialitas-platform-digital/.