LEBIH dari tiga pekan berlalu terjadinya bencana ekologis Pulau Sumatra. Merenggut korban manusia lebih dari 1.022 orang, 250-an diantaranya dinyatakan hilang. Kerugian materi tak terperi, yang menurut CELIOS (Center for Economic and Law Studies) mencapai Rp 68,67 triliunan.
Namun hingga kini pemerintah masih bergeming, atas desakan menjadikan bencana ekologis tersebut sebagai bencana nasional. Akibatnya penanggulangan bencana masih tersendat.
Baca Juga:
Kasus MBG Makan Korban 6.452 Siswa, YLKI Buka Jalan Gugatan Hukum
Itu pun sudah banyak dibantu oleh kalangan masyarakat sipil. Sementara itu bendera putih di Aceh sudah dikibarkan, sebagai tanda menyerah, tidak mampu menanggulangi dampak bencana, dan kemudian berkirim surat permohonan bantuan ke lembaga PBB.
Kerugian masyarakat itu sejatinya tak bisa diukur dengan apa pun, apalagi kerugian jiwa manusia. Namun demikian, masyarakat sebagai korban bencana ekologis terbuka ruang yang sangat luas untuk meminta dan menuntut ganti rugi, baik secara personal, institusional, korporasi atau bahkan kepada negara.
Sebab pada hakikatnya, bencana ekologis di Pulau Sumatra jelas bukan bencana yang dipicu oleh cuaca yang ekstrim (semata) saja, tetapi sebuah bencana yang lebih dominan dipicu oleh faktor manusia (people made disaster).
Baca Juga:
Cemas Akan Kerusakan Lingkungan? Ayo, Ajukan Gugatan Class Action!
Mantan Kepala BMKG, Dwikora Karnawati, menegaskan, jika hanya karena masalah cuaca, bencana di Sumatra tidak akan separah itu.
Fakta menunjukkan dengan sangat kuat bahwa bencana ekologis di Pulau Sumatra adalah adanya deforestasi secara ugal-ugalan, terutama untuk perkebunan sawit, dan atau pertambangan. Perkebunan sawit di Indonesia terluas di dunia, dengan luas 6,5 juta hektar. Termasuk juga untuk perkebunan tanaman tembakau.
Oleh sebab itu, masyarakat sebagai korban bencana bisa melakukan tuntutan dan gugatan ganti rugi atas bencana tersebut.
Tuntutan atau gugatan ganti rugi bisa menggunakan instrumen hukum berupa gugatan publik (public litigation), baik melalui class action, gugatan legal standing (hak gugat LSM), dan gugatan citizens law suit (gugatan warga negara).
Aspek hukum gugatan publik tersebut sudah sangat kuat diatur, baik diatur dalam UU Perlindungan Konsumen, UU Lingkungan Hidup, bahkan UU Bangunan Gedung.
Bahkan untuk gugatan class action dan legal standing sudah mempunyai hukum acara secara khusus, yakni Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun 2003.
Lalu siapa saja yang layak digugat? Gugatan publik tersebut bisa diajukan secara tanggung renteng. Dari sisi kebijakan maka gugatan publik ditujukan kepada presiden, menteri, gubernur, bupati dst. Pejabat publik dari level Presiden layak digugat, karena kompetensinya dalam perizinan.
Bahkan mantan presiden/mantan menteri dan pejabat publik lainnya patut digugat. Dari sisi korporasi, gugatan publik bisa ditujukan kepada korporasi yang telah melakukan deforestasi, baik untuk keperluan perkebunan, pertambangan, pertanian, dll. Termasuk pada ormas yang melakukan tindakan serupa.
Lalu tujuannya apa dengan gugatan publik tersebut? Pertama, tentu untuk menuntut ganti rugi dan kompensasi atas terjadinya bencana ekologis tersebut, baik kerugian materiil maupun immateriil. Gugatan ini ditujukan atas dalil kebijakan/perizinan yang diberikan untuk merambah hutan, atau bahkan dalam hal managemen penanggulangan bencana yang dianggap lambat.
Sebagai contoh, mantan Menteri Kehutanan Zulkifli layak digugat karena telah memberikan izin HPH hingga 1,6 juta hektar selama beliau menjadi menteri kehutanan. Presiden Prabowo Soebianto pun layak digugat, karena misalnya enggan mencanangkan bahwa bencana Sumatera sebagai bencana nasional, sehingga berdampak tidak optimal dalam penanganan bencana.
Kedua, selain menuntut ganti rugi, gugatan publik dilakukan juga bertujuan untuk memberikan pelajaran yang keras pada semua pihak atas bencana ekologis yang timbul. Pemerintah digugat karena dengan dalih ugal-ugalan dalam memberikan perizinan perambahan hutab, nyaris tanpa kendali, sehingga hutan Sumatra menjadi lenyap, seperti headline Harian Kompas.
Sehingga harapannya pejabat publik berikutnya tidak akan memberikan izin serupa, alias ada dimensi pengendalian. Dan yang ketiga, gugatan publik juga untuk mendorong recovery terhadap kerusakan lingkungan, sehingga dituntut untuk mengembalikan fungsi hutan (reboisasi).
Sinyal untuk melakukan gugatan publik, sepertinya sudah diinisiasi oleh LBH Aceh, dengan instrumen gugatan citizen law suit. Sebuah inisiatif yang bagus, dan patut diendors oleh yang lain. Sebaiknya kelompok yang lain juga bisa melakukan gugatan publik, dengan instrumen gugatan class action, dan legal standing.
Apa yang harus dipersiapkan untuk melayangkan gugatan publik tersebut? Masyarakat sebagai korban, musti memformulasikan akumulasi kerugian yang dialami, baik kerugian materiil maupun imateriil.
Termasuk kerugian jangka panjang, misalnya kerugian kehilangan pekerjaan dan atau lahan atau alat produksi. Atau bahkan kehilangan sumber pencari nafkah, misalnya orang tua, yang menjadi korban.
Masyarakat juga harus menyiapkan wakil kelas (class representative), yang akan mewakili seluruh korban (class member). Wakil kelas bisa ditunjuk berdasar zona, misalnya kecamatan atau bahkan desa/kelurahan.
Jika dilihat karakter kasusnya, bencana ekologis di Pulau Sumatra sangat relevan jika konstruksi gugatannya adalah class action. Mengingat waktu kejadiannya bersamaan, kerugiannya juga sama, dan korbannya bersifat masal.
Gugatan publik semacam ini sudah sering dilakukan, baik dalam bentuk class action dan atau legal standing. Saat banjir Jakarta (2002) warga Jakarta juga melakukan class action. Untuk isu perlindungan konsumen, juga beberapa kali dilakukan gugatan class action, seperti gugatan class action kenaikan harga gas elpiji 12 kg, dan gugatan class action korban kecelakaan kereta api di Brebes-Jateng, yang menewaskan 33 orang.
Demikian juga dengan gugatan legal standing oleh LSM, beberapa kali dilakukan, seperti misalnya gugatan legal standing YLKI dkk terhadap Presiden SBY dan Ketua DPR RI, karena tidak meratifikasi/mengaksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Saat ini FCTC sudah menjadi hukum internasional, dan sudah diratifikasi/diaksesi oleh lebih dari 190 negara di dunia. Pemerintah Indonesia masih bergeming, hingga sekarang.
Belum ada kata terlambat, masih sangat aktual; jika publik sebagai korban bencana ekologis di Pulau Sumatera melakukan gugatan class action, atau mininal legal standing.
Gugatan ini dilayangkan bukan semata menuntut ganti rugi, bukan semata kalah menang; tetapi untuk memberikan pelajaran yang keras kepada pemerintah, korporasi, organisasi kemasyarakatan, bahkan masyarakat itu sendiri.
Diharapkan dengan adanya gugatan publik tersebut, pemerintah dan semua pelaku perambah hutan (HPH) melakukan "tobat ekologis", dengan melakukan recovery terhadap hutan yang rusak parah dan berhenti merambah hutan untuk keperluan apa pun.
Kerugian sosial, ekonomi dan lingkungan jauh lebih besar daripada manfaat yang diperolehnya. Dan yang utama adalah mengembalikan marwah hutan sebagai pilar utama paru Indonesia dan dunia. [*]
Penulis adalah Pegiat Perlindungan Konsumen, Ketua FKBI (Forum Konsumen Berdaya Indonesia).