Alasannya tentu sangat bisa dipahami. Perdamaian Ukraina dan Rusia, dalam perspektif apapun, nyatanya ada di tangan Rusia dan Dunia Barat. Setidaknya begitulah hasil analisa dan diagnosa dari para pakar geopolitik dan geostrategi.
Artinya, secara prinsipil, kedatangan Jokowi sebenarnya bukanlah sebagai "game changer" atas perang yang sedang berlangsung, bahkan cenderung seremonial saja.
Baca Juga:
Usai Penetapan Presiden dan Wapres Terpilih Oleh KPU, Jokowi Minta Prabowo-Gibran Persiapkan Diri
Sangat sulit untuk dibayangkan kira-kira apa yang akan ditawarkan Jokowi kepada kedua pemimpin negara itu agar mereka berhenti baku hantam? Nampaknya tak ada, kecuali lampu hijau untuk hadir di KTT G20 nanti.
Sayangnya, dari perkembangan geopolitik di Eropa, pun preseden kehadiran Putin di acara serupa, kursi di KTT G20 ternyata bukanlah faktor penting, terutama bagi Vladimir Putin.
Putin pernah berada pada posisi canggung di acara G20 pada tahun 2014 lalu. Putin akhirnya duduk menghabiskan makanannya sendiri, tanpa ditemani pemimpin negara lain di KTT G20 Brisbane Australia.
Baca Juga:
Usai Disebut Bukan Kader PDIP Lagi, Gibran: Dipecat Juga Ngak Apa-apa
Sebabnya adalah invasi Rusia atas Crimea. Walhasil, Putin pulang lebih cepat dari jadwal yang telah ditetapkan.
KTT G20 di Australia tersebut tidak berhasil mengembalikan Crimea ke Ukraina dan tidak menghentikan Putin untuk menebar "little green army"-nya di daerah Luhanks dan Donbask.
Karena bagi Putin, persoalan dengan Ukraina adalah persoalan yang dibuat oleh dunia Barat, bukan persoalan yang dibuat oleh Rusia.