Penulis: Eliyunus Waruwu, S.Pt., M.Si, Delipiter Lase, SE, M.Pd, dan Prof. Dr. Elisabet Siahaan, M.Ec
KEBERAGAMAN dalam berorganisasi telah menjadi salah satu kunci sukses bagi banyak organisasi modern. Keberagaman adalah variasi karakteristik individu dan kelompok yang mencakup aspek-aspek seperti jenis kelamin, ras, etnis, agama, usia, orientasi seksual, kemampuan fisik, latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, dan gaya komunikasi.
Baca Juga:
Menang Mutlak, Adhil Laksono Siap Pimpin HMI Cabang Bekasi Periode 2024-2025
Keragaman ini mencakup perbedaan cara berpikir, pandangan dunia, dan nilai-nilai yang membentuk sudut pandang unik setiap individu. Mengelola keberagaman berarti menghargai perbedaan-perbedaan tersebut dan menciptakan lingkungan kerja yang inklusif, yang memungkinkan terjadinya kolaborasi yang efektif dan kinerja yang tinggi.
Sementara inklusi adalah rasa memiliki, merasa dihormati, dihargai untuk setiap keunikan yang dimiliki seseorang, merasa mendapat dukungan dan komitmen dari orang lain atau lingkungan sehingga seseorang dapat memaksimalkan kapasitasnya. Inklusi melibatkan setiap individu dalam organisasi dan menempatkannya sebagai misi organisasi (Widhawati et al., 2020).
Melalui artikel ini, kami akan mengeksplorasi bagaimana meningkatkan keberagaman yang memperkuat dan inklusi yang membuka peluang dapat meningkatkan kinerja organisasi.
Baca Juga:
4 Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Paluta Capai Realisasi Target PAD TA 2023
Namun, sebelum melangkah lebih jauh, mari kita membahas implementasi UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di berbagai organisasi dan sejauh mana pemerintah dapat menegakkan pasal demi pasal yang ada untuk diimplementasikan oleh organisasi di lingkungan masyarakat.
Untuk diketahui, dalam survei yang dilakukan oleh BPS, penyandang disabilitas dikelompokkan menjadi 8 (delapan) jenis, yaitu kesulitan atau masalah dalam (i) melihat, (ii) berjalan, (iii) konsentrasi atau memori, (iv) pendengaran, (v) berkomunikasi, (vi) menggunakan tangan atau jari, (vii) mengurus diri sendiri, (viii) gangguan perilaku atau emosi.
Pada tahun 2020, jumlah mereka telah mencapai proporsi yang sangat tinggi, akan tetapi hal ini tidak serta merta membuat akses mereka terhadap pekerjaan di dunia kerja formal menjadi lebih mudah. Sebagian besar penyandang disabilitas fisik mungkin tidak dapat memperoleh pekerjaan karena berbagai kesulitan.
Dengan adanya UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas ini adalah merupakan upaya pemerintah Indonesia dalam melindungi dan memberikan hak yang sama kepada individu penyandang disabilitas.
Lebih lanjut dijelaskan secara eksplisit pada Pasal 11, pasal ini mengatur tentang jaminan dalam memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta tanpa diskriminasi dan mendapatkan upah yang sama dengan tenaga kerja nondisabilitas dalam jenis pekerjaan dan tanggung jawab yang sama.
Kemudian pada UU No. 4 Tahun 1997, Pasal 1 ayat (3) mengatur tentang kesamaan kesempatan bagi penyandang disabilitas, yaitu keadaan yang memberikan peluang bagi penyandang disabilitas untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.
Kesempatan yang sama yang dimaksud dalam UU tersebut antara lain adalah kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan pada semua jalur, jenis, dan jenjang sesuai dengan jenis dan derajat kecacatannya. Demikian pula, penyandang disabilitas juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pekerjaan.
Tapi dalam praktiknya penerapan UU ini di berbagai organisasi masih perlu ditingkatkan.
Berdasarkan penelitian sebelumnya, terdapat beberapa tantangan dalam menerapkan UU ini, seperti minimnya pemahaman dan kesadaran tentang hak-hak disabilitas, kurangnya aksesibilitas fisik dan informasi, serta diskriminasi yang masih terjadi di tempat kerja.
Hambatan Penerimaan Orang dengan Disabilitas Fisik di Tempat Kerja
Dalam upaya penerimaan yang dilakukan oleh tempat kerja sektor formal terhadap pekerja dengan disabilitas fisik, faktor internal dan eksternal juga menjadi masalah dalam menerima penyandang disabilitas (Widhawati et al., 2020).
Faktor internal yang sering dihadapi oleh penyandang disabilitas adalah masalah psikologis seperti rendahnya rasa percaya diri. Greenspan dalam Kauffman dan Hallahan (2006:11) mengemukakan bahwa penyandang disabilitas memiliki kekhawatiran terhadap citra tubuh, penerimaan dari teman, kebebasan, penerimaan diri, dan prestasi.
Akibatnya, mereka sensitif atau sangat mudah tersinggung pada orang lain dan bahkan pada diri mereka sendiri. Dengan keadaan faktor internal tersebut, orang-orang di sekitar penyandang disabilitas harus memiliki kesiapan untuk lebih peka, tidak mengucilkan dan mendiskriminasi, sejalan dengan hasil penelitian Machdan dan Hartini (2012) yang menemukan adanya hubungan negatif dan signifikan antara penerimaan diri dengan kecemasan.
Artinya semakin tinggi penerimaan diri terhadap keadaan dirinya dengan keterbatasan yang dimilikinya, maka akan semakin rendah kecemasan yang akan dialaminya dan sebaliknya.
Selanjutnya, faktor eksternal yang menjadi pertimbangan perusahaan untuk mempekerjakan penyandang disabilitas adalah stigma negatif yang berkembang di masyarakat.
Macy (1996) mengemukakan bahwa hal ini terjadi karena masyarakat cenderung menciptakan stereotip bahwa keterbatasan fisik yang dimiliki penyandang disabilitas berbanding lurus dengan tingkat kecerdasan mereka.
Mereka masih dianggap kurang berpendidikan dan tidak memiliki keterampilan kerja karena keterbatasannya. Arief Burhan Effendi (2017) dalam penelitiannya tentang 'Implementasi Program Keberagaman Tenaga Kerja Penyandang Disabilitas di PT Wangta Agung Kota Surabaya', menunjukkan hasil bahwa perusahaan telah memberikan kesempatan kerja bagi penyandang disabilitas untuk menjadi bagian dari tenaga kerja pada bagian produksi, namun belum disertai dengan pengawasan, fasilitas yang unik, program pelatihan khusus, perlindungan keselamatan khusus bagi tenaga kerja penyandang disabilitas agar mereka tetap dapat bekerja dengan nyaman.
Lalu, pada UU No. 8 Tahun 2016, Pasal 12 menegaskan bahwa organisasi harus memberikan kesempatan yang adil dan setara bagi penyandang disabilitas untuk bekerja dan berkembang.
Namun, masih banyak organisasi yang belum sepenuhnya memahami pentingnya inklusi dan keberagaman. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa organisasi yang merangkul keberagaman organisasi cenderung memiliki keunggulan kompetitif dan kinerja yang lebih baik.
Beberapa perusahaan teknologi terkemuka di dunia, seperti Google, Microsoft, dan IBM, telah meluncurkan program inklusi yang melibatkan penyandang disabilitas.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Carnegie Mellon University menemukan bahwa perusahaan yang menerapkan keberagaman dan inklusi dalam aktivitasnya memiliki tingkat kepuasan dan inovasi karyawan yang lebih tinggi dan dapat mencapai pertumbuhan bisnis yang lebih baik.
Dalam rangka mewujudkan keberagaman yang memperkuat dan inklusi yang membuka peluang, organisasi perlu mengadopsi pendekatan yang holistik yang meliputi:
a. Kesadaran dan Pemahaman. Organisasi harus meningkatkan kesadaran dan pemahaman tentang hak-hak individu dengan disabilitas, serta manfaat yang dapat diperoleh dari keberagaman dan inklusi. Pelatihan dan kampanye sosialisasi dapat membantu menciptakan lingkungan yang inklusif dan membangun kesadaran kolektif.
b. Kebijakan dan Prosedur. Organisasi perlu mengembangkan kebijakan dan prosedur yang mengakomodasi kebutuhan individu dengan disabilitas. Hal ini meliputi penyesuaian aksesibilitas fisik, teknologi, dan informasi, serta program pelatihan yang sesuai untuk memastikan keterlibatan dan perkembangan mereka dalam organisasi.
c. Budaya Organisasi. Penting bagi organisasi untuk menciptakan budaya yang inklusif, di mana semua anggota organisasi merasa diterima dan dihargai. Ini dapat dicapai melalui peningkatan kerjasama, kolaborasi, dan penghargaan terhadap keberagaman dan kontribusi setiap individu.
d. Kolaborasi dengan Pemerintah dan Masyarakat. Organisasi perlu bekerja sama dengan pemerintah, masyarakat, dan lembaga terkait lainnya untuk mempromosikan keberagaman dan inklusi di tingkat yang lebih luas. Ini dapat melibatkan partisipasi dalam program dan kampanye sosial yang bertujuan untuk memperkuat kesadaran dan pemahaman tentang hak-hak individu dengan disabilitas.
Selain itu, Pemerintah juga berperan penting dalam menegakkan UU No. 8/2016 tentang Penyandang Disabilitas, dan jika terjadi pelanggaran, pemerintah harus bertindak tegas dan memberikan sanksi yang sesuai kepada organisasi yang tidak patuh.
Keberagaman dan inklusi merupakan elemen penting bagi keberhasilan sebuah organisasi, dan PT Bank Mandiri Tbk dan Universitas Indonesia telah berhasil menerapkan keberagaman dan inklusi dengan baik.
McKinsey & Company menemukan bahwa perusahaan yang merangkul keberagaman dan inklusi memiliki peluang lebih besar untuk mencapai kinerja keuangan yang unggul.
Organisasi dapat menciptakan lingkungan yang beragam, inklusif, dan adil bagi semua individu, termasuk penyandang disabilitas, dengan menerapkan undang-undang yang relevan dan mengadopsi praktik-praktik inklusif.
Pemerintah harus terus mengawasi pelaksanaan UU No. 8/2016 tentang Disabilitas, dengan memberikan pedoman dan sanksi yang tegas bagi organisasi yang tidak mematuhi ketentuan-ketentuannya.
Semestinya, organisasi dapat menciptakan lingkungan yang beragam, inovatif dan berkembang dengan memanfaatkan potensi dan kontribusi semua individu, terlepas dari latar belakang atau disabilitas mereka.
Keberagaman dalam organisasi tidak hanya terbatas pada disabilitas, tetapi juga mencakup perbedaan gender, ras, budaya, orientasi seksual, dan lokasi.
Pada hakikatnya, UU No. 8 Tahun 2016 tentang Disabilitas memberikan kesempatan yang adil bagi penyandang disabilitas untuk bekerja dan berkembang di berbagai posisi. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa perusahaan dengan keragaman kepemimpinan memiliki pendapatan rata-rata yang lebih tinggi daripada perusahaan yang kurang inklusif.
Untuk memperkuat keberagaman dan inklusi, pemerintah dapat bertindak sebagai pengawas dan fasilitator, memberikan insentif dan dukungan kepada organisasi yang menerapkan keberagaman dan inklusi, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya inklusi.
Organisasi juga harus bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan memberdayakan penyandang disabilitas. Menerapkan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di setiap organisasi sangat penting untuk memastikan hak-hak penyandang disabilitas terlindungi dan kesempatan yang sama terbuka bagi mereka.
Dalam mengimplementasikan UU No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas di setiap organisasi dibutuhkan peran penting Pemerintah. Hal ini mencakup pengawasan dan penegakan hukum yang ketat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh organisasi dan memberikan panduan yang jelas kepada organisasi mengenai langkah-langkah untuk memastikan keberagaman dan inklusi di semua aspek operasi mereka.
Selain itu, perusahaan juga harus berkomitmen untuk menciptakan lingkungan yang inklusif dan memberdayakan bagi penyandang disabilitas, seperti menyediakan aksesibilitas fisik yang memadai, membangun budaya yang inklusif, dan mengadopsi kebijakan yang mendukung partisipasi yang setara.
Penelitian telah menunjukkan bahwa perusahaan yang mencapai tingkat keberagaman yang tinggi memiliki tingkat inovasi yang lebih tinggi dan kinerja keuangan yang lebih baik.
Microsoft merupakan salah satu perusahaan teknologi yang berkomitmen terhadap keberagaman dan inklusi, dan mereka telah meluncurkan berbagai program untuk meningkatkan inklusi penyandang disabilitas di lingkungan kerjanya.
Hal ini penting bagi organisasi untuk terus mengevaluasi dan meningkatkan implementasi kebijakan dan praktik yang mendukung keberagaman dan inklusi.
Organisasi dapat mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman mengenai keberagaman dan inklusi di kalangan pegawai.
Pelatihan dan sosialisasi yang tepat dapat membantu menghilangkan stereotip dan prasangka serta mendorong pemahaman yang lebih baik mengenai kebutuhan dan kontribusi penyandang disabilitas.
Aksesibilitas fisik dan teknologi harus memastikan penyandang disabilitas dapat berpartisipasi dan berkontribusi secara penuh. Organisasi harus mengadopsi kebijakan yang mendukung inklusi dan kesetaraan, seperti kebijakan upah yang adil, promosi kesempatan yang sama, dan dukungan bagi pengembangan karir penyandang disabilitas.
Contoh organisasi yang telah berhasil menerapkan keberagaman dan inklusi dalam konteks hukum disabilitas adalah PT Sinar Mas Agribusiness and Food, sebuah perusahaan kelapa sawit terkemuka di Indonesia.
Dengan mengambil contoh dari organisasi yang telah berhasil dan memanfaatkan penelitian sebelumnya, kita dapat memahami manfaat dan pentingnya keberagaman yang memperkuat dan inklusi yang membuka peluang.
Selain itu, berita viral mengenai karyawan difabel di Alfamart yang diunggah oleh akun Twitter @kgblgnunfaeh dengan caption 'Terharu!
Seorang pekerja difabel di sebuah mini market yang terlihat begitu bahagia dalam bekerja adalah contoh nyata penerapan keberagaman dan inklusi di tempat kerja. Karyawan tersebut bernama Sandi Nur Rohmat, seorang karyawan Alfamart penyandang disabilitas yang memiliki ribuan pengikut di TikTok.
Di sini dapat dinilai jika Alfamart telah menjadi perusahaan inklusi yang mendorong seluruh karyawannya untuk memahami, menerima, dan menghargai perbedaan, termasuk para penyandang disabilitas.
972 karyawan difabel di Alfamart berasal dari berbagai jenis disabilitas dan ditempatkan di berbagai pekerjaan sesuai dengan kemampuannya, dengan program Alfabillity dan komitmen Alfamart untuk menciptakan lingkungan yang inklusif, perusahaan berhasil menciptakan hubungan yang kolaboratif, suportif, dan saling menghargai antara karyawan difabel dengan karyawan lainnya.
Melalui contoh nyata tersebut, diharapkan organisasi lain dapat terinspirasi untuk meningkatkan inklusi dan memberikan kesempatan yang sama kepada semua individu, tanpa memandang latar belakang atau disabilitas mereka. []