Oleh DJAYADI HANAN
Baca Juga:
Soal Hasil Pilpres 2024: PTUN Jakarta Tak Terima Gugatan PDIP, Ini Alasannya
MENJELANG Pemilu 2024, sejumlah partai baru bermunculan.
Ada Partai Gelora, Partai Ummat, Partai Masyumi Reborn, Partai Dakwah Rakyat Indonesia (PDRI), Partai Rakyat Adil Makmur (Prima), dan mungkin masih akan ada lagi.
Baca Juga:
KPU Labura Verifikasi Berkas Calon Bupati dan Wakil Bupati di Rantau Prapat: Pastikan Dokumen Sah
Dengan asumsi partai-partai ini didirikan untuk berkompetisi dalam pemilu dan memperoleh kursi di lembaga legislatif, bagaimanakah peluang mereka?
Tantangan yang harus dihadapi partai-partai baru dalam Pemilu 2024 akan lebih sulit.
Biasanya, tantangan itu ada dua.
Pertama, aturan yang berat untuk lolos menjadi peserta pemilu.
Kedua, perlunya kombinasi yang cukup antara memiliki tokoh yang kuat, basis organisasi yang baik, dan logistik yang memadai.
Kini, muncul tantangan ketiga, yaitu kecenderungan sistem kepartaian yang mulai stabil.
Tentu saja, ini harus didahului dengan kemampuan partai baru untuk menawarkan sesuatu yang baru ke publik, baik berupa kepemimpinan maupun narasi atau program.
Dengan kata lain, sungguh berat tantangan bagi partai-partai baru untuk masuk ke lembaga legislatif, terutama di tingkat nasional.
Tingginya "Entry Barrier"
Pertama, aturan di sistem pemilu menjadi penghalang masuk (entry barrier) yang tak mudah ditembus partai baru atau partai yang di pemilu sebelumnya tak lolos ambang batas parlemen.
Menurut UU Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu (Pasal 173) partai baru harus lolos dua tahapan proses untuk bisa jadi peserta pemilu, yaitu verifikasi administrasi dan verifikasi faktual.
Ada sembilan persyaratan yang harus dipenuhi. Beberapa yang tak mudah adalah memiliki kepengurusan di semua provinsi, memiliki kepengurusan di 75 persen kabupaten/kota di setiap provinsi, memiliki kepengurusan di 50 persen kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, dan memiliki anggota minimal 1.000 orang atau 1/1.000 dari jumlah penduduk di kabupaten/kota bersangkutan dengan bukti kartu anggota.
Juga tak mudah, syarat memiliki kantor tetap di semua tingkatan kepengurusan sampai tahap akhir pemilu selesai.
Menyiapkan semua ini tentu perlu waktu, SDM dan dana tak sedikit.
Semua persyaratan itu akan diverifikasi secara administrasi terlebih dahulu.
Bila lolos, baru bisa mengikuti proses verifikasi faktual.
Dua kegiatan ini juga akan sangat menguras waktu, tenaga, dan dana yang juga tak sedikit.
Pengalaman menunjukkan, bahkan partai lama yang tak lolos parlemen, beberapa kali gagal mengikuti proses ini.
PBB dan PKPI, mengalami kegagalan ini di Pemilu 2019 dan lolos menjadi peserta pemilu melalui proses gugatan pengadilan.
Proses hukum seperti ini, bila dilalui juga oleh partai baru, tentu menguras waktu, tenaga, dan dana lagi.
Kedua, ketika menjadi peserta pemilu, pengalaman empat kali pemilu sejak 2004 menunjukkan bahwa partai yang bisa bertahan adalah yang mampu mengombinasikan tiga kekuatan, yaitu ketokohan, basis organisasi, dan logistik yang cukup.
Setiap partai perlu ketokohan yang cukup di tingkat nasional, dan memiliki kemampuan menarik tokoh-tokoh yang berpengaruh dan punya pengikut di tingkat daerah/dapil.
Tingkat pengenalan publik terhadap partai bersangkutan juga harus cukup baik, paling tidak 50 persen lebih rata-rata nasional.
Untuk menjalankan dua hal ini perlu logistik yang tak sedikit dan waktu yang cukup.
Tahapan Pemilu 2024 akan segera dimulai sekitar Maret 2022.
Partai-partai baru hanya punya waktu kurang dari satu tahun dari sekarang sebelum tahapan pemilu dimulai.
Tantangan yang tidak mudah.
Partai baru, sesuai namanya, mestinya lebih mudah menarik pemilih jika betul-betul mampu menawarkan kebaruan.
Minimal dua kebaruan yang harus ditawarkan.
Pertama, kebaruan dari segi ketokohan atau kepemimpinan.
Kedua, kebaruan dari segi narasi dan program. Ini juga tak mudah.
Dari segi ketokohan, partai-partai baru yang ada belum menunjukkan kebaruannya.
Kebanyakan tokoh lama yang juga sudah dikenal sebagai politisi.
Demikian juga narasi dan program.
Belum terlihat apa yang baru.
Menawarkan kebaruan dengan hanya menawarkan baju baru tapi isinya lama, tak akan laku, karena pemilih kita memiliki informasi cukup memadai.
Stabilisasi Sistem Kepartaian
Tantangan berikutnya adalah adanya gejala stabilisasi sistem kepartaian.
Ini berarti, pola kompetisi antar partai mulai terbentuk dan pemilih mulai punya kebiasaan memilih partai-partai yang sudah dikenal dan memiliki kemampuan lolos ambang batas saja.
Gejala ini, antara lain, yang menjelaskan mengapa tak ada satupun partai baru lolos ke parlemen di Pemilu 2019.
Ini membuat tantangan bagi partai baru makin sulit.
Sejumlah indikasi menunjukkan adanya gejala stabilisasi sistem kepartaian ini.
Pertama, volatilitas pemilu (electoral volatility/VP) cenderung mengalami penurunan tajam, terutama di tiga pemilu terakhir (2009, 2014, 2019).
VP adalah total besaran perubahan suara partai-partai (berkurang dan bertambah) dari pemilu ke pemilu.
Cara menghitung paling umum adalah menggunakan Indeks Pederson (1979).
Selisih suara dari satu partai dari satu pemilu ke pemilu berikutnya dihitung lalu dijumlahkan dengan partai-partai lain ditambah total suara partai baru, lalu dibagi dua.
Sejak Pemilu 1999, kita memiliki empat Indeks Pederson (IP: 1999-2004, 2004-2009, 2009-2014, dan 2014-2019).
Berturut-turut IP Indonesia adalah 25,3 persen; 29,5 persen; 19,9 persen; dan 12,7 persen.
IP ini menunjukkan terjadi tren penurunan VP di tiga pemilu terakhir.
Itu artinya, total jumlah perubahan suara antar partai dalam tiga pemilu terakhir makin sedikit.
Dengan kata lain, kompetisi antar partai menunjukkan gejala makin stabil.
Bila kompetisi makin stabil, sulit bagi partai baru masuk.
Angka VP di atas belum memperhitungkan ambang batas parlemen. Kalau dihitung juga, VP makin kecil.
Gejala stabilisasi ini konsisten dengan makin menurunnya total suara yang diperoleh partai baru dari pemilu ke pemilu.
Puncak daya tarik partai baru terjadi di Pemilu 2004.
Ketika itu total suara yang diperoleh partai baru 21,3 persen, hampir sama dengan perolehan suara pemenang pemilu, Golkar (21,6 persen).
Selanjutnya total perolehan suara partai baru terus turun: 17,3 persen (2009), 6,7 persen (2014), dan 7,2 persen (2019).
Suara untuk partai baru turun tajam dari 2009 ke 2014, dan relatif tak berubah dari 2014 ke 2019.
Kebanyakan pemilih menyalurkan suaranya ke partai-partai yang ada di parlemen.
Sedikit sekali yang melirik partai baru.
Gejala stabilisasi ini juga konsisten dengan jumlah partai efektif di parlemen (ENPP), yang relatif tak berubah banyak sekalipun ada peningkatan ambang batas parlemen dan selalu hadirnya partai baru di pemilu.
Hitungan ini menggunakan rumus Laakso dan Taagepera (1979): angka satu dibagi total kuadrat dari persentase jumlah kursi masing-masing partai di parlemen (DPR).
Secara berurutan, ENPP Indonesia sejak 2004 hingga 2019 adalah 7,08; 6,21; 8,16; dan 7,47.
Jadi ENPP kita, terlepas dari banyaknya partai yang ikut pemilu, cukup stabil di kisaran 6-8 saja.
Sistem kepartaian kita tak mengalami fluktuasi tajam dari pemilu ke pemilu, walaupun di setiap pemilu selalu ada partai baru.
Masih Adakah Peluang?
Gejala stabilisasi sistem kepartaian ini tampak tak konsisten dengan rendahnya tingkat identitas partai (party id) pemilih kita.
Tingkat identitas partai yang rendah bisa jadi indikasi cairnya pemilih dan bisa membuat sistem kepartaian tak stabil.
Ini tentu menarik bagi para ilmuwan politik.
Ada kemungkinan sistem kepartaian kita masuk kategori sistem kepartaian yang tak berakar tapi stabil (uprooted but stable party system) seperti di Cile (Luna dan Altman, 2011).
Bila melihat rendahnya identitas partai ini, maka, peluang partai baru sebetulnya masih ada.
Berbagai survei nasional sepuluh tahun terakhir menunjukkan sedikit sekali pemilih kita yang merasa memiliki ikatan emosional psikologis dengan satu partai.
Data LSI Januari 2021 menunjukkan identitas partai kita hanya sekitar 12 persen saja.
Artinya hampir 90 persen pemilih tak merasa punya keterikatan dengan satu partai apapun.
Pemilih tampaknya masih cukup terbuka untuk menerima kehadiran partai baru dalam pemilu.
Dengan kata lain, kehadiran partai baru belum menarik hati pemilih, mungkin karena sebetulnya partai-partai itu tak mampu menunjukkan apa yang benar-benar baru dari mereka.
Maka, tampaknya mereka perlu bukan hanya merumuskan dengan tepat kebaruan apa yang mereka tawarkan, tapi bagaimana mengomunikasikannya ke pemilih.
Pemilih dominan di Pemilu 2024 adalah pemilih muda, terutama generasi milenial (Y) dan pasca-milenial (Z).
Generasi seperti ini cenderung lebih terbuka dengan hal-hal baru, jika dikomunikasikan sesuai karakteristik mereka.
Peluang lain adalah menarik pemilih dari partai lama yang menjadi asal partai baru.
Misalnya Partai Ummat bisa saja fokus mengupayakan mengambil suara PAN.
Atau Partai Gelora, melakukan upaya maksimal untuk menarik pemilih PKS.
Tapi upaya semacam ini agak "berjudi".
Karena alih-alih sukses mendapat kursi DPR, upaya semacam ini dapat berakhir pada keduanya sama-sama tak lolos ambang batas parlemen yang besarnya empat persen. (Djayadi Hanan, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia - LSI, Dosen Ilmu Politik Universitas Paramadina)-dhn
Artikel ini sudah tayang di Kompas.id dengan judul "Peluang Partai Baru". Klik untuk baca: www.kompas.id/baca/opini/2021/08/30/peluang-partai-baru/.