Oleh YUKIE H. RUSHDIE
Baca Juga:
Ketum PWI Pusat Hendry Ch Bangun: Pers Harus Berwawasan Kebangsaan dan Menjaga Integritas di Era Post-Truth
INI jelas bukan “barang” baru.
Tapi, dibilang basi pun ya tentu tidak.
Pasalnya, kompetisi antara industri pers dengan media sosial (medsos) ini sudah berjalan cukup lama, dan masih terus berlangsung --bahkan cenderung memanas-- hingga sekarang.
Baca Juga:
Bahaya Doxing: Ancaman terhadap Keselamatan Jurnalis dan Kualitas Informasi Publik
Perang berebut pengaruh dalam konteks penyebarluasan informasi di ranah publik itu sudah kian terbuka.
Dalam praktiknya, para pelaku media profesional sendiri mulai “mengamini” kekuatan medsos itu.
Faktanya, hampir semua pelaku industri media arus utama (mainstream) kini semakin merasa perlu membuka “lorong” ataupun kanalnya di berbagai platform medsos, mulai dari Facebook, Twitter, YouTube, hingga Instagram dan TikTok.
Langsung tidak langsung, hal itu bisa diklaim sebagai pembenaran dari pihak media profesional terhadap eksistensi “sang kompetitor”.
Jargon “waspada hoaks” dianggap tak cukup kuat kalau hanya ditebar di medianya sendiri, tanpa menyertakan saluran informasi yang “ramah netizen” di berbagai panggung medsos.
Ikutilah petikan dialog berikut ini:
“Ada informasi begini nih…”
“Di mana?”
“Medsos.”
“Wah, awas hoaks tuh, cek dulu ke media mainstream.”
Tapi, itu dialog di zaman dulu.
Sekarang:
“Ada informasi begini nih…”
“Di mana?”
“Akun medsosnya media mainstream!”
Nah, petikan dialog umum dari dua zaman yang tak terlalu berselang lama itu sudah bisa dijadikan sebagai barometer untuk mengukur “tensi” dan “posisi” konflik di antara industri pers dengan medsos.
Misteri “Trust”
Pada hakikatnya, praktik industri pers itu bermuara pada satu titik, yakni “dagang informasi”.
Produk utamanya adalah berita.
Maka, semua pelaku industri pers pun berlomba memburu trust atau kepercayaan publik.
Konsep sederhananya, kemajuan sebuah perusahaan pers sangat ditentukan oleh trust publik terhadap produk-produk pemberitaannya.
Faktor trust itu jualah yang kemudian membentuk “reputasi” sebuah media.
Nah, awalnya, konsep sederhana industri pers itu menjadi senjata yang sangat ampuh untuk membendung invasi medsos di ranah informasi publik.
Medsos sendiri, yang semula merupakan saluran informasi di ranah privat, sedikit demi sedikit mulai bergeser ke lapangan terbuka.
Tumbangnya pemerintahan “abadi” di Suriah dan Mesir lewat fenomena Arab Spring, yang ditandai dengan kekuatan penggalangan massa lewat jejaring medsos, seakan menjadi inspirasi.
Ujung-ujungnya, hampir semua narasumber primer dari industri pers pun ramai-ramai membuka akun resmi di aneka platform medsos.
Mereka cenderung mulai lebih berani mencuitkan statement-nya lewat sarana itu ketimbang menjawab pertanyaan wartawan.
Alhasil, makin hari kian pepaklah isi pemberitaan pers yang mengutip cuitan para narasumbernya dari akun medsos mereka.
Ditambah bumbu-bumbu “objektivitas” dengan mengutip juga komentar-komentar para netizen terhadap posting-an si narasumber primer tersebut.
Pada situasi semacam itu, muncul statement yang mulai umum menerpa telinga para pelaku industri pers dari sejumlah narasumbernya, seperti:
“Lihat saja statement yang saya posting di akun medsos.”
“Maaf, jawabannya nanti saya sampaikan lewat akun medsos resmi saya, ya.”
“Daripada ucapan saya nanti di-plintir wartawan, mendingan saya bicara di medsos.”
Apakah ini sudah bisa menjadi barometer bahwa tingkat trust terhadap pers mulai merosot, sementara trust terhadap sarana medsos justru kian meningkat?
Di sinilah letak “misteri”-nya.
Karena, tak jarang, pers pun kini terjerat info bohong alias hoaks gegara ulah medsos.
Diketahui, kasus hoaks Ratna Sarumpaet pun bermula dari platform medsos.
Info hoaks itu menyerang publik secara berantai, tanpa sensor, tanpa check and recheck.
Ironisnya, sejumlah media arus utama pun ikut menelan bulat-bulat informasi medsos itu, sekaligus membuat hoaks tersebut seolah bergeser menjadi fakta.
Tidaklah mengherankan kalau kemudian sederet tokoh publik kenamaan, termasuk Prabowo Subianto yang kala itu berstatus Calon Presiden (Capres), ikut terkecoh.
Pada saat itu, muncul pengakuan bahwa tingkat kepercayaan para tokoh tersebut terhadap hoaks Ratna Sarumpaet tadi terutama karena sudah muncul pula informasinya di berbagai media mainstream!
Artinya, faktor trust terhadap pemberitaan pers relatif masih menjadi pijakan utama dari publik untuk bersikap.
Kasus-kasus hoaks yang muncul di medsos pun sebagian besar baru terungkap bila institusi pers sudah bertindak.
Kompak-kompaklah Kelen
Bertolak dari berbagai fenomena itu, muncullah fantasi saya soal sebuah kekuatan raksasa yang mungkin bakal sulit dilawan.
Kalaulah pers dan medsos sudah menciptakan sebuah sistem kolaborasi yang rapat, ketat, dan padat, bukankah itu akan sangat luar biasa?
Saya jadi ingat pada dialog antara sosok utama Kompas TV, Rosiana Silalahi, dan salah satu “penguasa” medsos di Indonesia, Deddy Corbuzier.
Rupanya, diam-diam, Rosi --panggilan akrab Rosiana Silalahi-- sudah lama “membenci” Deddy Corbuzier.
Hal itu, katanya, karena sang mentalis tersebut kerap menyatakan ketidakpercayaannya terhadap produk-produk pers.
Padahal, katanya, sedikit-banyak kebesaran Deddy juga tak bisa lepas dari peran pers.
Dan, menurut Rosi, koar-koarnya Deddy soal “perilaku aneh” pers itu sangat tidak membantu perkembangan industri media, bahkan cenderung menjadi ganjalan.
Karena, di mata Rosi, apapun yang disampaikan Deddy Corbuzier lewat podcast “Close The Door”-nya itu bisa sangat berpengaruh di ranah publik.
Ketika Deddy mengklarifikasi sikapnya itu gegara ulah beberapa media tertentu, akhirnya bersepakatlah mereka bahwa memang masih ada sederet persoalan yang harus dituntaskan, baik dalam industri pers maupun medsos.
“Kalau Lu tahu, Ded, hampir setiap hari Gue ini juga perang terus soal itu di dalam,” kata Rosi, seolah menyiratkan bahwa ia pun sebetulnya melakukan perjuangan yang sama dengan Deddy, tapi lewat cara berbeda.
Akhirnya, ketika melihat keduanya berpelukan, saya seakan menyaksikan hadirnya sebuah kekuatan raksasa.
Betapa bakal makin terpercayanya industri informasi publik di negeri ini.
Berhentinya upaya saling membusukkan, antara terminologi “medsos pabrik hoaks” versus “pers gudang info sesat”, juga stopnya aksi “merasa paling benar”, dan berganti dengan kolaborasi saling tambal, saling tutup lubang, saling melengkapi, dan kesaling-salingan bernuansa positif lainnya, tentu bakal menjadikan industri “dagang informasi” di Indonesia kian mengerikan.
Jadi, kompak-kompaklah kelen, ya… (Yukie H. Rushdie, Pemimpin Redaksi WahanaNews.co)