Oleh INOSENTIUS MANSUR
Baca Juga:
Anggota DPD RI Komeng, Sebut Prabowo Betul-betul Ingin Menyatukan Semua Pihak
RUANG publik kita hari-hari belakangan ini disuguhkan dengan diskursus beberapa kandidat potensial calon presiden.
Tentu saja hal seperti ini amat baik karena membantu rakyat untuk mengenal bakal calon pemimpin.
Baca Juga:
Survei: Mayoritas Konsumen Indonesia Pilih Merek Berdasarkan Sikap Politik
Namun, satu hal yang agaknya kurang mendapatkan aksentuasi khusus dari diskursus itu adalah pentingnya etika berpolitik.
Bagi saya, diskursus calon pemimpin harus selalu terintegrasi dengan diskursus etika.
Hal seperti ini amat penting karena tak dapat disangkal lagi bahwa operasi politik para politikus kita acap kali nir-etika.
Akibatnya, menghancurkan keutamaan dan substansi politik, yaitu melayani kepentingan rakyat.
Etika dan Kesuksesan Berpolitik
Oscar Diego Bautista (selanjutnya Bautista) dalam Ética Y Política: Valores Para Un Buen Gobierno (2007) menandaskan bahwa memikirkan diri sendiri dan bukan orang lain adalah karakteristik individu modern.
Sebuah masyarakat tanpa sumber daya etis menghasilkan transformasi dalam perilaku anggotanya berdasarkan anti-nilai.
Apa yang tidak etis dan tidak bermoral, seperti yang menyebar dalam praktik sehari-hari, menjadi normal dan bahkan dipandang secara positif.
Hal seperti ini, tandasnya lagi, juga merasuk ke dalam wilayah politik, di mana praksis berpolitik kehilangan etika sebagai landasan utamanya.
Karena itu, kita perlu kembali ke akar politik, merevitalisasi lagi konsep dan praksis berpolitik agar dilandasi oleh etika.
Hal tersebut dianggap penting karena akan membantu mengarahkan politikus melihat jabatan politik sebagai panggilan jiwa untuk berbakti, bukannya sebagai posisi yang diperoleh dan dijalankan dengan mengorbankan etika dan substansi politik, yaitu kepentingan rakyat.
Etika dan politik berkorelasi secara komplementaris dan bergerak dalam dimensi yang sama.
Politik tidak dapat berjalan dengan sukses tanpa etika.
Mereka adalah mata dari wajah yang sama.
Karena itu, ketika salah satunya hilang, visi menjadi tidak lengkap, tidak bisa melihat cakrawala, menyebabkan badan politik tersandung dan kehilangan kredibilitas warga.
Karena itu, ketika di beberapa negara berkembang, praksis politik telah dan akan terus berpotensi menciptakan skandal publik, perlu dilakukan penyelamatan terhadap nilai-nilai etika.
Lebih dari itu, perlu dilakukan berbagai terobosan agar ketika menduduki posisi strategis dalam lembaga publik, politikus sadar bahwa kegiatan lembaga publik itu memiliki dimensi etis sejauh mereka memengaruhi orang secara baik dan melayani pembangunan manusia secara integral.
Kualitas publik lembaga politik akan tercipta jika yang ”mengadministrasi”-kannya memiliki perilaku etis: jujur, obyektif. dan transparan dalam pengelolaan urusan publik.
Pandangan Bautista ini relevan untuk konteks Indonesia.
Sebab, tak terelakkan lagi bahwa kebanyakan politikus kita memang menjadikan kedudukan politik untuk memperkuat posisi individu ataupun untuk meraup keuntungan jangka pendek sebesar-besarnya.
Mereka hanya mengejar kesuksesan belaka.
Memang, harus diakui, bahwa secara alami, seorang politisi pasti (akan) mencari kesuksesan.
Namun, sering kali motivasi seperti ini bergeser menjadi nir-esensial.
Keinginan untuk melayani kepentingan rakyat bermetamorfosis menjadi keinginan untuk mendapatkan keuntungan pragmatis.
Hal seperti inilah yang justru menjadi pintu masuk bagi adanya tindakan yang mendistorsi hukum, menghancurkan keadilan, dan mengabaikan kepentingan rakyat.
Di sini, kesuksesan kehilangan dimensi agregatif.
Kesuksesan dalam berpolitik, tidak lagi dijadikan peluang merevitalisasi pelayanan publik agar semakin maksimal dan efektif, tetapi malah mencelakakan kehidupan bersama.
Dominasi agenda politik pribadi telah menghancurkan agenda luhur bersama, yaitu memperjuangkan keadilan sosial.
Politikus Beretika
Masih menurut Bautista, peningkatan kualitas pelayanan politik dan lembaga publik tidak dapat dipaksakan dari luar, tetapi harus lahir dari diri sendiri, berasal dari ”kebangkitan” seperti kata Aristoteles, atau dari ”meninggalkan goa” seperti kata Plato dan ”dari perubahan hati yang sebenarnya” seperti yang dikatakan Caiden.
Dengan kata lain, dari pikiran harus muncul kekuatan dinamis yang mengubahnya menjadi tindakan dan yang menjadi dasarnya adalah etika.
Etikalah yang menjadi instrumen dasar agar pengelolaan politik dan administrasi publik menjadi semakin lebih baik.
Ketika etika dijadikan fondasi praksis publik politikus, mereka akan sanggup mengendalikan diri dan bertanggung jawab atas segala tindakan mereka.
Karena itu, kita membutuhkan politikus berkarakter etis yang selalu mempersenjatai diri dengan aspek etika.
Politikus seperti ini tidak hanya mengandalkan pengetahuan dan kecakapan politik karena itu semua tidak akan cukup dan tidak akan efektif jika tidak dilandaskan pada etika.
Politikus seperti ini juga akan terus merefleksikan peran etika dalam praksis berpolitiknya.
Ia tidak sekadar taat pada kode etik tertentu yang terkesan formalitas, tetapi benar-benar sebuah operasi politik yang berada di bawah kendali prinsip-prinsip etika dan dikonstruksi dari kesadaran nurani.
Singkatnya, kita memerlukan politikus beretika.
Dengan demikian, krisis kredibilitas politik(us) tidak bertransformasi menjadi krisis kebangsaan yang merusak peradaban demokrasi dan menghancurkan pelayanan publik.
Sebab, jika kita memiliki politikus beretika, dia akan menjadi orang yang jujur, adil dan menghormati demokrasi.
Dan jika negara dikelola dengan kejujuran, keadilan dan dengan menghormati demokrasi, kita akan menjadi bangsa yang berkarakter dan bangsa yang kuat, bangsa yang percaya diri, bangsa yang mampu memperjuangkan kepentingan rakyat secara baik.
Etika akan membantu orang yang memiliki otoritas politik di ranah publik, menjalankan tugasnya dengan tulus disertai kolaborasi akal budi, hati nurani, dan rasa kewajiban untuk melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab.
Tanggung jawab dalam konteks etika politik selalu berkaitan dengan motivasi dan konsekuensi.
Motivasinya adalah melayani kepentingan rakyat dengan penuh dedikasi, tulus dan transparan.
Konsekuensinya adalah bersedia mengesampingkan ambisi dan kepentingan pribadi.
Juga bersedia untuk membangu komitmen etis atas segala tanggung jawab sosialnya.
Dengan begitu, (jabatan) politik dipandang sebagai medan mencari amal, merealisasikan kebaikan dan mengadvokasi segala kegalauan publik.
Adalah tugas negara untuk mencari skema dan format terbaik bagaimana agar etika menjadi pilar perjuangan politikus dan bagaimana agar lembaga politik mengagregasi kepentingan publik dengan preferensi etik.
Intinya adalah politikus harus mengeksplorasi potensi kemanusiaannya, demi masyarakat manusia, demi koeksistensi dan ekosistem yang utuh.
Untuk itulah amat diharapkan agar diskursus politik di ruang publik kita tidak sekadar tentang siapa calon pemimpin, tetapi bertransformasi menjadi diskursus kebangsaan yang mencari politikus beretika yang selalu mengutamakan etika dalam berpolitik. (Inosentius Mansur, Mahasiswa Program Pasca-Sarjana Universidad de Navarra, Pamplona, Spanyol)-yhr
Artikel ini telah tayang di Kompas.id dengan judul “Politikus Beretika dan Etika Berpolitik”. Klik untuk baca: Politikus Beretika dan Etika Berpolitik - Kompas.id.