Namun, kata Krugman, negara industri baru Asia bermasalah dengan institusi dan struktur ekonomi yang tidak demokratis sehingga sulit untuk mendapatkan efisiensi dan mendorong teknologisasi selama bertentangan dengan kepentingan para diktator yang berkuasa di negara-negara Asia.
Uni Soviet berhasil memobilisasi modal, barang modal, dan tenaga kerja di dua dekade awal pascaperang dunia kedua.
Baca Juga:
Apindo Ungkap Penyebab Tutupnya Banyak Pabrik dan PHK di Jawa Barat
Namun, karena institusi dan struktur ekonomi politik yang korup dan monolitik, Uni Soviet gagal memperbaiki efisiensi ekonominya yang berakibat pada perlambatan pertumbuhan secara bertahap.
Sementara Jepang pasca-kekalahan berhasil memobilisasi berbagai sumber daya sembari melakukan terobosan-terobosan manajerial dan teknologikal, yang mendorong input tidak saja menjadi sangat produktif, tetapi juga dikelola dengan sangat kreatif.
Input besar yang digelontorkan ke dalam sistem ekonomi disambut dengan kreativitas teknologikal dan efisensi manajerial, lalu menghasilkan ”keberlanjutan” yang napasnya lebih panjang dibandingkan Uni Soviet.
Baca Juga:
Sejarah UMKM Nasional, Roda Penggerak Perekonomian Indonesia
Walhasil, Jepang berhasil mencapai pendapatan per kapita sekira 80 persen dibandingkan Amerika Serikat di era awal 1990-an sebelum dihadang resesi dan stagnasi.
Layaknya Jepang di era Meiji yang berhasil menyejajarkan diri dengan negara-negara industri di Eropa Barat dan Amerika Utara sebelum Perang Dunia I, Jepang pasca-Perang Dunia II pun menorehkan raihan yang sama dengan duduk sejajar bersama negara-negara maju di dalam komunitas G-7 dan OECD, satu-satunya dari Asia di tahun 1990-an.
Namun, negara industri baru Asia, seperti Singapura, Malaysia, Thailand, dan Indonesia, terus memobilisasi input dalam lingkungan yang otokratik-monolitik dengan manajemen yang sangat pro-diktator.